Diskursus “kesucian dan sufi perempuan” merupakan sebuah tema yang terlupakan dan terlenyapkan dalam sejarah kewalian para sufi. Dalam kitab-kitab yang mengulas sejarah para sufi, terlihat sangat didominasi oleh nama-nama sufi laki-laki. Sufi-sufi perempuan dalam buku-buku hagiografi dan perempuan salehah hanya menjadi pelengkap (sekadar catatan pinggir/hamisy). Padahal kewiraian, kehidupan keagamaan, dan pengalaman spiritual para sufi perempuan juga sangat kaya dan tak kalah mendalam. Bahkan tak sedikit di antara para sufi perempuan yang pengalaman-pengalaman sufistiknya sangat menggugah kesadaran masyarakat sebagaimana yang dapat kita saksikan dalam kisah kesufian Rabiah al-Adawiyyah melalui konsep kerinduan ilahi-nya (al-‘Isyq al-Ilahiy). ~Rahal Boubrik
Statemen ini menjadi salah satu alasan mengapa Rahal Boubrik menulis buku berjudul “Barakat an-Nisa’: Ad-Din Bishshighat al-Muannats” (Keberkahan Sufi Perempuan: Agama dalam Bentuk Feminim). Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Afriqiyya Al-Syarq, Dar Al-Baidha Maroko. Dalam buku setebal dua ratusan halaman ini Rahal mengulas perempuan-perempuan sufi di dunia Islam. Tak hanya ulasan mengenai tokoh-tokohnya, melainkan konsep-konsep sufi dari perspektif perempuan dan persoalan-persoalan perbedaan fisiologis antara laki-laki dan perempuan yang kerap dianggap menghalangi maqam kewalian perempuan seperti haidh dan nifas.
Dalam mukaddimahnya Rahal menulis bahwa kitab ini mengulas tentang salah satu konsep tajalli agama dalam perspektif sufi perempuan dalam sejarah masyarakat Islam baik di Timur maupun di Barat. Sebuah tulisan yang melengkapi karya yang telah ia tulis sebelumnya mengenai sufi laki-laki yang ia tulis dalam sebuah buku berjudul Saints et société en islam Saints et société en Islam: La confrérie ouest-saharienne Fâdiliyya. Buku ini terbit tahun 1999 dalam bahasa Prancis.
Buku ini bukan tentang tarajim (biografi) sufi-sufi perempuan. Melainkan penjelasan konsep-konsep kesufian perempuan sekaligus mengapa selama ini sufi perempuan hanya menjadi catatan pinggir dalam karya-karya yang ditulis oleh para ulama. Rahal menulis:
Sistem pendekatan dalam penulisan ini berdasarkan teks-teks manakib para sufi perempuan dari berbagai belahan dunia Islam. Penting saya uraikan di sini (mukaddimah) bahwa saya tidak menulis secara rinci tokoh-tokoh sufi perempuan di kitab ini. Selain hal itu (penulisan biografi) bukan hal yang baru, juga membuat jenuh para pembacanya. Namun, saya menggunakan pendekatan antropologis dengan menganalisa keunikan-keunikan konsep kewalian perempuan tentang tajalli yang dikomparasikan dengan konsep kesufian dan kewalian laki-laki (hal. 10).
Rahal Boubrik dan Kritiknya Terhadap Peminggiran Sufi Perempuan dalam Buku Hagiografi
Nama lengkap penulis buku ini adalah Rahal Boubrik. Saya belum mendapatkan informasi yang cukup lengkap mengenai biografi dan latar belakang pendidikan antropolog asal Maroko ini. Ia adalah seorang peneliti dan akademisi yang konsen di kajian Antropologi. Ia mengajar Antropologi di Universitas Muhammad V Rabat Maroko dan juga peneliti kajian Islam di Afrika. Memperoleh gelar doktor dari L’Université d’Aix-Marseille Prancis tahun 1996. Sedangkan jenjang Diplomanya ia tempuh di Sorbonne Université Paris.
Ia telah menulis banyak karya. Dalam sebuah akun di academia.edu miliknya, ia mengunggah sejumlah karya-karya yang telah ditulisnya baik berupa buku maupun artikel di jurnal. Selain buku yang diulas dalam tulisan ini, karya lain yang telah ditulisnya di antaranya: Zaman al-Qabilah As-Sulthah wa Tadbir al-Unf fil Mujtama’ As-Shahrawi, Bayna Allah wal Qabilah, Le Sahara. Lieux d’histoire et espaces d’échange, Centre des études sahariennes, Rabat, 2019, Livre : Entre Dieu et la tribu, Homme de religion et pouvoir politique En Mauritanie,Publications de la Faculté des Lettres et des Sciences Humaines, Rabat, 2011, De la tente à la ville. La société sahraouie et la fin du nomadisme, La Croisée des Chemins, Casablanca, 2017.
Dalam bagian pertama bukunya, Rahal melakukan Analisa dan mengajukan kritik terkait monopoli penulisan tokoh-tokoh sufi di buku-buku hagiografi. Ia memberi judul dalam bab pertamanya: Wilayah an-Nisa Wilayah ar-Rijal (kewalian perempuan dan kewalian laki-laki). Di bab ini, secara khusus ia mengkritik tradisi penulisan buku-buku hagiografi yang ditulis oleh para ulama masa lalu yang menempatkan perempuan di pinggir (hamisy). Ia menulis:
Sebagian penulis-penulis besar yang mengulas biografi para sufi hampir selalu menempatkan perempuan di belakang sufi laki-laki…. Perempuan ketika telah mencapai derajat kewalian dan menyamai kewiraian, religiusitas, dan kesalehannya maka unsur perempuannya akan lenyap dan “berubah” menjadi laki-laki. Fariduddin Al-Aththar misalnya, ketika ia menuliskan tentang Rabi’ah Al-Adawiyyah (yang jelas merupakan sosok wali perempuan) ditempatkan dalam pembahasan laki-laki sembari menyatakan bahwa perempuan yang tengah menuju jalan kepada Allah maka tidak mungkin ia dinamakan perempuan (hal.21).
Tradisi peminggiran penulisan tokoh-tokoh perempuan ini menurut Rahal tidak hanya terjadi di dunia literasi Islam, melainkan juga dalam tradisi tulis di kalangan Kristen. Jumlah perempuan-perempuan yang diakui kesalehannya oleh Gereja Katolik jauh lebih kecil dibanding dengan laki-laki. Hal ini juga berlaku di dalam tradisi agama samawi lainnya seperti Yahudi. Para tokoh laki-laki, baik secara langsung maupun tidak langsung, dianggap sebagai simbol kesempurnaan dalam beragama (hal.29).
Sebagaimana diulas sebelumnya bahwa tokoh-tokoh perempuan salehah dan peranannya jarang sekali ditulis dalam buku-buku tarajim para wali. Fariduddin Al-Aththar (w. 1212 M) hanya menyebut satu nama wali perempuan (Rabi’ah Al-Adawiyyah) di antara lebih dari lima puluh wali laki-laki. Abu Nu’aim Al-Ishfihani (w. 1038 M) menuliskan dua puluh delapan wali perempuan dari empat ratus nama wali yang ia tuliskan dalam karyanya Hilyah al-Awliya’.
Baru kemudian di tangan Abdurrahman bin Ali bin Ibn Jauzi (w. 1200 M) dalam kitabnya berjudul “Shifat al-Shafwah” yang menulis tokoh wali perempuan dengan porsi yang lebih besar. Sekitar dua ratus empat puluh nama wali perempuan atau kurang lebih seperempat dari keseluruhan nama wali yang ditulisnya. Apa yang dilakukan oleh Ibn Jauzi ini kemudian dilanjutkan oleh Taqiyyuddin al-Hishni (w. 1426 M). Ia mulai menulis secara khusus wali-wali perempuan yang ia beri judul Al-Mu’minat wa As-Sayr as-Salikat yang konon manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Nasional di Prancis.
Perempuan dan Derajat Kewalian
Kewalian dalam pandangan masyarakat menjadi payung peneduh bagi para peziarah makamnya. Keberkahan para wali tidak pernah terputus meski secara fisik ia telah wafat. Persemayaman dan kuburannya menjadi tempat untuk mengais berkah dan sarana (tawassul) bagi hajat hidup masyarakat yang menziarahinya. – Rahal Boubrik
Manusia menurut Ibnu Arabi tunggal. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama di hadapan Tuhan. Pandangan ini didasarkan pada filsafatnya sufistiknya Ibnu Arabi tentang “wihdatul wujud”. Dalam futuhat al-Makkiyyah ia menuturkan, “Ketahuilah -semoga Allah menguatkanmu- bahwa pada dasarnya hakikat manusia dilihat dari aspek kemanusiaannya adalah satu. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan”. Menurut pandangan Ibnu Arabi, perbedaan antara keduanya adalah sebab faktor eksternal “amrun ‘aridh“.
Dalam dunia sufisme, laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mencapai derajat wali quthb “qutbiyyah”: sebuah tingkat kewalian tertinggi. Ibnu Arabi menegaskan, “semua derajat kewalian adalah hak yang sama-sama dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, hatta derajat wali quthb”. Quthbiyyah, sebagaimana kita ketahui bersama, dalam tasawuf merupakan puncak tertinggi para arif dan akhir dari tingkatan spiritualitas manusia.
Ibnu Arabi kembali menegaskan, “setiap hak yang diperoleh laki-laki dalam derajat maqamat, maratib, dan sifat-sifat kesufian, juga sangat dimungkinkan dapat dicapai oleh perempuan bilamana Allah menghendakinya sebagaimana Dia menghendaki untuk mengangkat derajat kewalian laki-laki”. Apa yang disampaikan oleh Ibnu Arabi, dan disebut berulang kali ini, sepertinya ia sedang membantah argumen “musuh”-nya yang merujuk secara literal hadis nabi tentang kepemimpinan (wilayah) perempuan. Jangan bingung dengan sabda Nabi yang berbunyi: Tidak akan bahagia sebuah komunitas masyarakat jika dipimpin seorang perempuan. Sebab yang kami bicarakan di sini adalah konteks wali Allah, bukan wali (kepemimpinan) manusia. Sementara konteks hadis tersebut untuk merespons persoalan pemimpin manusia.
Salah satu pembahasan yang diulas oleh Rahal Boubrik yang menurut saya menarik adalah bab yang mengulas tentang fisik perempuan dalam sudut sufisme. Ia memberi judul babnya “al-Jasad al-Untsawi wal Muqaddas” (fisik perempuan dan kesucian). Ia membagi bab ini ke dalam sub-bab yang cukup menantang. Pertama, ia menggunakan diksi al-jasad al-musytaha (fisik yang diinginkan); kedua, al-jasad al-ghaib wal mu’adzab (fisik yang hilang dan tersiksa); ketiga, al-buka’ al-muththahhar lil jasad (tangisan yang menyucikan fisik); dan keempat, al-jasad al-mutasyawwaq ilal fana’ (fisik yang merindukan fana’).
fisik perempuan dalam pandangan mayoritas dan cukup mengakar kuat adalah sumber fitnah yang terberi kesan karena keindahan dan kecantikannya. Fisik perempuan, dalam pandangan ini, adalah sebuah penanda keburukan dimana setan yang terus menerus mengganggu laki-laki menempat pada fisik perempuan agar terus berbuat maksiat kepada Tuhan. Perempuan adalah fitnah bagi para Nabi dan Rasul.
Fisik perempuan yang selalu disifati sebagai sumber fitnah, kenikmatan, dan hasrat, yang pada gilirannya disebut sebagai aurat yang wajib ditutupi dan harus berada di belakang pasar, mewajibkannya untuk menjaga diri dari lingkungan dan interaksi sosial, membuat mereka sulit untuk keluar dari stigma ini. Dan ini terus terjadi di tengah kehidupan yang oleh banyak orang sebagai dunia modern.
Padahal dalam literatur-literatur tasawuf, cukup banyak ulasan yang menempatkan perempuan di posisi yang tinggi. Rahal Boubrik menulis bab kelima dalam bukunya ini dengan judul “al-Matsal al-A’la al-Walai”. Ia mengulas sosok perempuan ideal yang menjadi contoh utama bagi wali-wali perempuan. Fathimah Az-Zahra. Ya, puteri Rasulullah SAW ini, bagi Boubrik, merupakan sosok perempuan paripurna dan teladan dalam menggambarkan konsep kewalian perempuan.
Manusia menurut Ibnu Arabi tunggal. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama di hadapan Tuhan. Pandangan ini didasarkan pada filsafatnya sufistiknya Ibnu Arabi tentang “wihdatul wujud”. Dalam futuhat al-Makkiyyah ia menuturkan, “Ketahuilah -semoga Allah menguatkanmu- bahwa pada dasarnya hakikat manusia dilihat dari aspek kemanusiaannya adalah satu. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan”. Menurut pandangan Ibnu Arabi, perbedaan antara keduanya adalah sebab faktor eksternal “amrun ‘aridh“.
Dalam dunia sufisme, laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mencapai derajat wali quthb “qutbiyyah”: sebuah tingkat kewalian tertinggi. Ibnu Arabi menegaskan, “semua derajat kewalian adalah hak yang sama-sama dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, hatta derajat wali quthb”. Quthbiyyah, sebagaimana kita ketahui bersama, dalam tasawuf merupakan puncak tertinggi para arif dan akhir dari tingkatan spiritualitas manusia.
Ibnu Arabi kembali menegaskan, “setiap hak yang diperoleh laki-laki dalam derajat maqamat, maratib, dan sifat-sifat kesufian, juga sangat dimungkinkan dapat dicapai oleh perempuan bilamana Allah menghendakinya sebagaimana Dia menghendaki untuk mengangkat derajat kewalian laki-laki”. Apa yang disampaikan oleh Ibnu Arabi, dan disebut berulang kali ini, sepertinya ia sedang membantah argumen “musuh”-nya yang merujuk secara literal hadis nabi tentang kepemimpinan (wilayah) perempuan. Jangan bingung dengan sabda Nabi yang berbunyi: Tidak akan bahagia sebuah komunitas masyarakat jika dipimpin seorang perempuan. Sebab yang kami bicarakan di sini adalah konteks wali Allah, bukan wali (kepemimpinan) manusia. Sementara konteks hadis tersebut untuk merespons persoalan pemimpin manusia.
Salah satu pembahasan yang diulas oleh Rahal Boubrik yang menurut saya menarik adalah bab yang mengulas tentang fisik perempuan dalam sudut sufisme. Ia memberi judul babnya “al-Jasad al-Untsawi wal Muqaddas” (fisik perempuan dan kesucian). Ia membagi bab ini ke dalam sub-bab yang cukup menantang. Pertama, ia menggunakan diksi al-jasad al-musytaha (fisik yang diinginkan); kedua, al-jasad al-ghaib wal mu’adzab (fisik yang hilang dan tersiksa); ketiga, al-buka’ al-muththahhar lil jasad (tangisan yang menyucikan fisik); dan keempat, al-jasad al-mutasyawwaq ilal fana’ (fisik yang merindukan fana’).
fisik perempuan dalam pandangan mayoritas dan cukup mengakar kuat adalah sumber fitnah yang terberi kesan karena keindahan dan kecantikannya. Fisik perempuan, dalam pandangan ini, adalah sebuah penanda keburukan dimana setan yang terus menerus mengganggu laki-laki menempat pada fisik perempuan agar terus berbuat maksiat kepada Tuhan. Perempuan adalah fitnah bagi para Nabi dan Rasul.
Fisik perempuan yang selalu disifati sebagai sumber fitnah, kenikmatan, dan hasrat, yang pada gilirannya disebut sebagai aurat yang wajib ditutupi dan harus berada di belakang pasar, mewajibkannya untuk menjaga diri dari lingkungan dan interaksi sosial, membuat mereka sulit untuk keluar dari stigma ini. Dan ini terus terjadi di tengah kehidupan yang oleh banyak orang sebagai dunia modern.
Padahal dalam literatur-literatur tasawuf cukup banyak ulasan yang menempatkan perempuan di posisi yang tinggi. Rahal Boubrik menulis bab kelima dalam bukunya ini dengan judul “al-Matsal al-A’la al-Walai”. Ia mengulas sosok perempuan ideal yang menjadi contoh utama bagi wali-wali perempuan. Fathimah Az-Zahra. Ya, puteri Rasulullah SAW ini, bagi Boubrik, merupakan sosok perempuan paripurna dan teladan dalam menggambarkan konsep kewalian perempuan.
Wallahu A’lam bis-Shawab
Judul Buku: Barakat An-Nisa: Ad-Din Bis-Shigat al-Muannats (Keberkahan Sufi Perempuan: Agama dalam Perspektif Perempuan)
Penulis: Rahal Boubrik
Penerbit: Ifriqiyyah al-Syarq
Tahun Terbit: 2010
Jumlah Halaman: 212
*) artikel ini pernah dipublikasikan di islami.co, diterbitkan ulang atas izin dari penulisnya