
(dok. indonesia-heritage.net)
Penulis: Ngatawi AL-Zastrouw
Jejak bangsa Nusantara sebagai bangsa bahari tidak hanya terlihat pada lagu “nenek moyangku orang pelaut”, tetapi juga dalam beberapa naskah kuno yang tersbar di berbagai darah. Salah satu naskah kuno yang dapat menjadi petunjuk budaya bahari bangsa Nusantara adalah naskah Lontaraq Attoreng Toriolo. Naskah yang tersimpana dalam Arsip Nasional RI ini membahas pengetahuan tradisional ilmu pelayaran.
Pada tahun 1980 naskah ini pernah diterbitkan oleh Muh. Salim. Pada tahun 1936 ketika pemerintah kolonial menyelenggarakan program inventarisasi naskah lontaraq di Sulawesi Selatan, naskah ini menjadi salah satu yang diinventarisir (Horst Liebner dan Ahmad Rahman, tt; h. 2)..
Ada bebeapa bagian dalam naskah lontar Attoreng Roriolo ini, diantaranya mengenai Hukum Laut versi Ammana Gappa, tentang astronomi dan astrologi serta berbagai makna tanda-tanda alam di lautan yang terkait dengan ilmu pelayaran. Fathur Rahman dan Nur Aisyah, (2020, 95-97) mengutip beberapa teks bari lontaraq Attoreng Toriolo, terkait dengan masalah pelayaran tersebut sebagai berikut:
(52) Parakara 12 Naiya narekko sompekno puko anakoda lau / iseng madecengi angin musomperenge isseng toi pangolona / lopie esso wenni kuwamengimuleppe riparakaranaaka/nakodangeng nasaba ikoma riparessa narekko nakenna/ isukkara lopie ritenga dolangeng namasolang (Jika engkau telah berlayar sebagai nakhoda- hendaknya engkau memiliki pengetahuan yang baik tentang angin saat berlayar- ketahui juga arah perahu pada waktu siang dan malam- supaya engkau lepas dari masalah penakhodaan- karena engkaulah yang dieriksa kalau ditimpa pesusahan perahu di tengah pelayaran)
Teks ini menjelaskan tanggung jawab seorang nakhoda saat berlayar. Dia tidak harus bertanggung jawab kalau terjadi kerusakan kapal. Untuk, seorang nakhoda harus mengerti tentang arah angin, laju perjalanan perahu agar terhindar dari kerusakan. Artinya seorang nakhoda harus mengeri ilmu navogasi dan astrologi agar dapat melaksanakan tanggung jawab secara baik.
(54) Narekko mattengangi lari lopie namadeceng muwa /15/ anginge natakkitte-kitte larinna lopiye pappineddi/mu inappana makkuwa tasseddi tanra engka mencana ri/yolona lopiye atikeriwi mupadecengiwi jagamu / iko maneng rilaleng lopi [j] a takkennai matu lopimmu./ (Kalau dalam suatu perjalanan laju perahu dan angin baik-baik- kemudian tiba-tiba engkau merasakan berahu berjalan secara tersedat-sendat-maka itu merupakan pertanda ada daerah dangkal di depan perahu- berhati-hatilah tingkatkan kewaspadaan agar jangan kandas perahumu)
(55) Narekko sompokko namadeceng muwa la[o]lona lopimmu na/20/madeceng muto tenna anginge natakko mate manang anginge / tanra engka ritu mencana riyolona lopiye.−/22[kosong]/ (Kalau engkau berlayar dalam keadaan angin dan laju perahu yang baik-baik saja- tiba-tiba angin itu mati (tidak dapat menggerakkan perahu), itu merupakan tanda ada daerah dangkal di depan perahu.
Kedua teks ini berbicara tentang tanda-tanda alam yang dapat menjadi penyebab terganggunya laju perahu, yaitu adanya kedangkalan. Daerah dangkal akan dapat menghambat laju perahu sekalipun angin bertiup secara baik. Jika menghadapi kondisis demikian nakhoda diharapkan waspada. Teks ini seperi navigator yang memberi peringatan terhadap nakhoda melalui penjelasan terhadap tanda-tanda alam.
(56) Parakara 14 Naiya narekko muitai remmeng uwae maccela pe/ro wero-wero tanra engka pasi makawe takgi ri/25/yolona lopiye ajasana musompe masiappi./( Ketika engkau melihat air tenang dengan warna kemilai kemerah-merahan- itulah pertanda ada karang di dekat perahu- janganlah engkau meneruskan berlayar- tunggulah sampai siang hari)
Selain menjelaskan tentang kondisi laut yanag dipar dijadikan pegangan saat perhu sedang berlayar, naskah ini juga menjelaskan tentang perkiraan cuaca berdasarkan pada tanda-tanda dan fenomena alam. Misalnya dalam bait (62) Naskah Lontaraq menyebutkan tanda-tanda alam akan datangnya angin dan turunnya hujan di suatu bulan berdasarkan petunjuk matahari, bulan, awan dan bintang-bintang. Bunyi teks tersebut adalah:
“Patampenni ompona ulenge rilabuna essoe na/5/ macella cayana ulenge pada matanna essoe tanra / masseloi anginge rilalenna ulenge. Patampenni / ompona ulenge nasompa matanna ulenge rila/buna essoe tanra maeloi bosi rilalenna si/ulengeritu.− Patampennina a[o]mpo ulenge /10/ taitai macella cayana iyarege maridiwi rilabuna / essoe tanra maeloi mangiri anginge silao / jape.−/14”/ (Saat matahari terbenam dan terbit bulan dengan cahaya berwarna kemerah-merahan seperti matahari terbenam selama empat malam, maka itu pertanda akan terjadi banyak angin di bulan itu//Jika selama empat malam terbitnya bulan tertutup oleh terbenamnya matahari itu pertanda akan turun hujan selama bulan itu//Jika terlihat cahaya kemerahan atau kekuningan pada terbitnya bulan saat mata terbenam selama empat malam, maka itu pertanda angin akan bertiup secara bersamaan//Jika selama empat malam bulan terbit pada posisi celah, maka itu pertanda akan turun hujan di bulan itu)
Mengingat pentingnya mengetahui tanda-tanda alam dalam dunia pelayaran, maka naskah ini mengngatkan kepada para pelaut agar membacanya. Karena dengan membaca nasskah ini, para pelaut dapat membaca fenomena alam dan memhami sistem penanggalan Arab (hijriyah) dan Prancis (masehi) .Disebutkan dalam bait (71) Aga naharusuna [ditengahkan] / sininna passompe-sompe laoe dangkang-dangkang sitinajai /25/ iriko palopi-lopiye mmiseng madecengi adae/we rilalenna sure eweku kuwamengi ma[u]macca isseto/i paimeng paompoi takawinna parengkie ku/waetopa takaina area iya missengengngi pao/mpoi seppuloe duwa ulenna area.−/30 [kosng]// (Seharusnsya semua pelaut yang hilir mudik berdagang mengetahui dengan baik isi dari naskah ini, supaya kemu pintar dan dapat memahami penanggalan Masehi (Prancis) dan Hijriyah (Arab) beseerta bulan-bulan yang ada di dalamnya).
Sejalan dengan dengan munculnya tehnologi kompas, sonor, radar altimeter dan sejenisnya maka kitab ini menjadi tidak relevan. Karena kemampuan membaca dan menangkap tanda-tanda alam dan melakukan analisis terhadaap fenomena alam kemudian membuat prediksi telah digantikan oleh tehnologi, maka manusia menganggap tidak perlu lagi menguasai ilmu-ilmu tersebut. Manusia tinggal membaca data-data yang dihasilkan oleh tehnologi kemudian melakukan antisipasi dalam perayaran.
Namun demikian, naskah ini penting untuk dikaji dan dipejari, selain untuk menemukan dan mengetahui route peradaban bangsa Nusantara, juga untuk menggali kahazanah pengetahuan Nusantara serta berbagai metode yang ada di dalamnya.****