FIN UNUSIA
Perspektif Islam Nusantara

Islam, Minoritas dan Negara-Bangsa: Pergulatan Dunia Islam Merespons Perubahan Global *

Pendahuluan

Dalam dunia yang makin global dan manusia yang kian saling mendekat karena teknologi informasi dan transportasi maka diskusi tentang minoritas kian penting dalam kajian keislaman. Sementara banyak orang Islam menjadi native di atau berpindah ke negara-negara yang mayoritas non Muslim atau sekuler banyak pula penduduk non Muslim di negara-negara yang mayoritas Muslim atau negara yang mengklaim berideologi Islam. Dengan demikian, ada dua bentuk minoritas di dalam diskursus Islam, yaitu minoritas Muslim di negara non Muslim atau sekular dan minoritas non Muslim di negara-negara berideologi Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim. Pentingnya pembahasan kedua sisi minoritas dalam Islam ini tidak bisa dipisahkan dari mengglobalnya bentuk negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad XIX. Dominasi kolonialisme Barat ke Dunia Timur, khususnya Dunia Islam, membuat negara-negara mayoritas Muslim dan negara-negara berideologi Islam harus merespons perubahan-perubahan tersebut. Hal yang sama terjadi ketika seorang Muslim tergabung dengan negara yang mayoritas non Muslim atau negara sekuler.

Bisa dikatakan bahwa bentuk negara-bangsa adalah sekularisasi dan modernisasi yang paling konkret yang dibawa oleh Barat menyentuh dan mengubah nyaris seluruh dimensi umat manusia dan bangsa di seluruh dunia. Negara-negara yang kini masih mengklaim sebagai negara agama sekali pun seperti Vatikan, Israel, Iran dan Saudi Arabia mau tidak mau harus menarik batas negara berdasarkan geografis –salah satu ciri utama dari negara-bangsa— meskipun di dalamnya ada warna agama yang kental menyertainya. Di lain pihak, orang-orang Muslim yang tergabung dalam negara mayoritas non Muslim atau sekuler atau menjadi imigran di negara-negara tersebut harus menghadapi karakter dan watak masyarakat dan negara yang berbeda dengan negara asalnya. Umat Muslim yang menjadi imigran di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Eropa sudah banyak dikaji para sarjana dengan apa yang disebut Fiqh Aqalliyat (Al Qaradawi, 2001; Madood & Ahmad, 2001; Abou El Fadl, 1994). Namun, kasus di Prancis baru-baru ini menghentak kita tentang suatu problematik yang bersifat mendasar tentang komunitas Muslim di negara-negara maju, khususnya Prancis.  Yaitu suatu peristiwa pemenggalan kepala oleh warga negara Muslim Prancis terhadap seorang guru karena menggunakan contoh di dalam kelas pemuatan sketsa Nabi Muhammad SAW di Koran La Nouvelle Republique yang merupakan reproduksi dari Tabloid Charlie Hebdo sebagai contoh kebebasan berekspresi. Peristiwa itu kemudian juga mengundang reaksi dari presiden Prancis Emmanuel Macron yang tidak kalah kerasnya dengan menghujat Islam sebagai dalam keadaan  krisis di seluruh dunia.

Hal ini menunjukkan bahwa kajian tentang topik itu masih banyak yang harus dilakukan lebih lanjut. Namun, yang tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian dalam kajian keislaman, padahal sangat dekat dengan kita, adalah justru minoritas Muslim native atau pribumi yang tinggal di negara-negara non Muslim atau sekular seperti di Asia Tenggara, misalnya, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam, Kamboja, Filipina, Myanmar dan lainnya (Suaedy, 2012; Suaedy, 2018). Meski demikian, dengan mempertimbangkan keterbatasan dan urgensi masalah dalam konteks masyarakat dan negara Indonesia maka tulisan ini tidak akan memfokuskan pada topik di atas tadi melainkan hanya akan fokus pada pembahasan tentang minoritas non Muslim dan minoritas Muslim di negara mayoritas Muslim atau negara berideologi Islam.

Islam dan Negara-Bangsa/Nation-State

Beberapa ciri utama dari negara-bangsa adalah memiliki batas geografis yang jelas dan pasti sebagai suatu negara, kesetaraan warga negara dengan mengabaikan perbedaan agama, etnis, ras, gender serta didasarkan pada konstitusi (Mellor, 1989). Karena itu bentuk negara-bangsa pengaruh Barat tersebut menyentuh jantung dunia Islam yang sangat dalam dan mengharuskan perubahan-perubahan yang bersifat substantif baik dalam dataran doktrin teologis, hukum atau etika sosial dalam Islam dan tata kenegaraan, terutama berkaitan dengan kewarganegaraan atau kesetaraan warga negara dan kedudukan minoritas di dalam suatu negara. Pengaruh negara-bangsa tersebut diiringi dengan universalisasi hak-hak asasi manusia sejak Declaration of Universal Human Rights (DUHAM) 1948. Bagaimanakah respons dan dinamika dunia Islam terhadap perubahan-perubahan tersebut? Dan bagaimana kemungkinan jalan keluar atau solusi dari ‘dispute’ terebut?

Secara konvensional teoritik, sebagaimana masyarakat tradisional lainnya, Islam memiliki konsep dan tradisi yang kuat  tentang warga negara yang didasarkan pada primordialisme agama. Konsep itu didasarkan pada interpretasi atas sumber-sumber Islam baik nash maupun sejarah. Dalam rentang sejarah tersebut Islam juga memiliki cara atau metode sendiri dalam memecahkan berbagai masalah yang berbeda dengan di Barat terutama dalam hubungan agama dan negara. Di Barat, problematika mendasar hubungan agama dan negara dipecahkan dengan cara sekularisme atau sekularisasi karena trauma yang dialami oleh mereka. Sedangkan Islam secara historis tidak memiliki trauma yang sama sehingga nyaris tidak mungkin memaksakan sekularisme sebagaimana di Barat. Karenanya meskipun pengaruh Barat tersebut sangat kuat tetapi tidak berarti bisa diterapkan apa adanya. Yang terjadi kemudian adalah suatu proses tolak angsur dan sintesis. Di sini kita akan mencoba menelusuri dinamika itu yang mungkin hanya bisa meliput sebagian dari luas dan panjang rentang sejarah Islam itu sendiri.

Dalam tradisi dan sejarah Islam, pembelahan antara dar al-Islam dan dar al-Harb berimplikasi pada prinsip kewarganegaraan superioritas Muslim dan infeoritas atas non Muslim dengan apa yang secara doktrin disebut dhimmi (Q.S. At Taubah, 9/29) yang didudukkan sebagai ‘warga negara kelas dua’ (An-Na’im, 1987). Tidak sebagaimana di Barat, kewarganegaraan konvensional Islam tidak didasarkan pada penghormatan terhadap individu melainkan kolektif atau  ke-ummat-an eksklusif yang bersifat menyeluruh atau universal. Ketika prinsip nation-state dan ikutannya diperkenalkan kepada dunia Islam maka terjadi kegoncangan struktur sosial politik dan bahkan doktrin di satu pihak, dan di lain pihak menantang para sarjana Muslim untuk mencari jalan keluar secara intelektual dan politik.                            

Di Turki Utsmani atau Ottoman, kini Republik Turki, misalnya, sekularisasi radikal yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Atatürk tidak merealisasikan janji bagi prinsip nation-state itu sendiri melainkan justru mengukuhkan diskriminasi terhadap minoritas tertentu secara konstitusional. Intervensi Barat terhadap Turki Utsmani sejak abad XIX yang kemudian diradikalisasi oleh  Atatürk justru menghapuskan prinsip toleransi terhadap minoritas yang telah dibangun oleh Kekaisaran Turki Utsmani sebelumnya melalui undang-undang Millet atau pluralisme hukum tentang agama (Varol, 2015; Ulusoy, 2011; Senturk, 2005). Maka pada ujung nasib sekularisme radikal model Atatürk muncul gerakan idealisasi era Millet yang diusung oleh gerakan kelompok yang mengaspirasikan toleransi. Namun, kini beralihnya kekuasaan ke tangan populisme Islam di bawah Erdogan isu minoritas justru kian kompleks, tidak kembali ke era Millet melainkan mengikuti arus apa yang oleh Bruinessen disebut sebagai Conservative Turn (Bruinessen, 2013) yang justru lebih diskriminatif. Bedanya, jika era Atatürk diskriminasi didasarkan pada sekularisme maka kini didasarkan pada identitas agama Islam.

Sementara itu di Timur Tengah, yang secara geopolitik maupun intelektual sering ditempatkan sebagai representasi kawasan Islam, setidaknya oleh Barat,  meskipun sebagian besar negara-negara di kawasan ini mewarisi UU Millet Turki Utsmani karena menjadi bagian dari kekaisaran tersebut dalam waktu cukup lama tetapi doktrin tentang dhimmi sangat kuat sehingga terbentuknya negara-bangsa justru menetapkan diskriminasi yang bersifat formal konstitusional (Nazila, 2008). Memang ada sebab historis tidak bisa dipungkiri dimana di era kolonial pasca Turki Utsmani kelompok minoritas (hal yang sama juga terjadi di kawasan Islam lain) memperoleh keuntungan besar atas kebijakan-kebijakan dan berlakunya hukum kolonial Barat yang berpihak kepada mereka sementara mayoritas Muslim yang native di kawasan itu justru tertinggal dan terpinggirkan (Kuran, 2004). Hampir semua negara era modern di Timur Tengah kecuali Libanon menempatkan Islam sebagai agama resmi negara dan menjadikan kekuasaan utama presiden atau raja sebagai pengawal Islam dan tradisi Arab (Ibid). Maka bentuk negara modern di Timur Tengah umumnya diskriminatif terhadap minoritas, baik minoritas non Muslim maupun minoritas Muslim itu sendiri. Sementara itu pasca Arab Spring keadaan perlakuan terhadap minoritas cenderung tidak lebih baik jika tidak dikatakan lebih buruk. Menurut Gouda dan Gutmann (2019), sebagaimana kini banyak terjadi di Timur Tengah, makin suatu negara mengadopsi Islam secara formal makin diskriminatif terhadap minoritas agama sehingga keduanya berpendapat bahwa institusionalisasi nilai-nilai Islam formal cenderung berimplikasi makin diskriminatif. Itulah keadaan umum yang terjadi di Timur Tengah pasca Arab Spring. Lebih lanjut, munculnya gerakan-gerakan terorisme internasional memperburuk keadanaan di negara-negara di Timur Tengah (Garba, 2018) meskipun ada harapan perbaikan tertentu bagi keterbukaan sebagaimana sedang terjadi di Uni Emirat Arab dan Saudi Arabia yang masih kita tunggu ujung akhirnya kelak.

Di Asia Teggara, awal terbangunnya negara-bangsa menunjukkan variasi di negara-negara mayoritas Muslim yang tinggi tentang kedudukan agama dalam negara dan berkonsekuensi pada kedudukan minoritas. Memang negara-negara itu setidaknya Indonesia dan Malaysia –Brunei yang merupakan negara merdeka, Patani Thailand Selatan dan Mindanao Filipina Selatan memiliki polanya sendiri (Suaedy, 2012, 2018)– tidak mengedepankan konsep dhimmi dalam bangunan sistem konstitusi negara (Ali, 2019). Namun ada perbedaan di antara kedua negara tesebut. Malaysia menempatkan Yang di Pertuan Agong atau raja pusat sebagai pengawal (the guardian) Islam dan tradisi melayu (yang juga identik dengan Islam) dengan menempatkan Islam sebagai agama resmi negara. Malaysia secara eksplisit membedakan antara entitas Bumiputra (Melayu Muslim dan Melayu agama lokal khususnya di Sabah Sarawak memiliki kedudukan yang sama) dan etnis minoritas lainnya –yaitu Tionghoa yang mayoritas bergama Tao atau Kristen dan India yang mayoritas beragama Hindu– secara berbeda berdasarkan ras yang berimplikasi pada pengutamaan mayoritas dan diskriminasi terhadap minoritas (Suaedy, 2012). Sedangkan Indonesia secara konstitusi tidak menempatkan agama mayoritas Islam sebagai agama resmi negara dan tidak memberlakukan dhimmi sebagai minoritas yang didiskriminasi secara formal konstitusional (Suaedy, 2010). Namun, baik di Malaysia maupun di Indonesia diskriminasi masih berlangsung baik terhadap minoritas non Muslim maupun minoritas Muslim seperti Ahmadiyah dan Syiah (Al Khanif, 2021; Suaedy, 2010, 2016).     

Pencarian Sintesis

Pada umumnya bahwa kewarganegaraan dalam negara-bangsa konsekuensi dari prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) selalu menjadi standar atau ukuran bagi perlakuan dan kedudukan minoritas dalam negara-bangsa modern. Karena itu perlakuan dan kedudukan minoritas non Muslim dan juga minoritas Muslim di dalam negara mayoritas Muslim dan berideologi Islam juga akan diukur dari standar HAM tersebut (Ghanea, 2008; Arevalo, 2018; Al Khanif, 2021). Umum pula bahwa negara-negara mayoritas Muslim dan negara berideologi Islam berstandar rendah dalam kesetaraan warga negara, dan sebaliknya memiliki indeks tinggi dalam diskriminasi terhadap minoritas dan kekerasan agama (Pewforum.org, 2019; Marshall, 2018). Indonesia meskipun menduduki rating paling tinggi tingkat religiositas dan menganggap bahwa nilai agama paling penting dalam kehidupan masyarakat tetapi dalam diskriminasi dan kekerasan agama termasuk dalam deretan negara-negara berkadar tinggi sebaliknya memiliki kesetaraan warga negara rentan, demikian juga Turki dan negara-negara di Timur Tengah (Made Anthony Iswara, 2020; Pewforum.org, 2019.)

Jadi, dalam kemelut ini selalu terjadi tarik menarik antara mereka yang ingin kukuh pada doktrin Islam dan menerapkan secara formal kaidah-kaidah Islam konvensional seperti dhimmi atau sejenisnya dengan mereka yang ingin mengabsorsi doktrin HAM dan negara-bangsa ke dalam sistem kewarganegaraan. Sebagian lain ingin menggantinya sama sekali, baik ke sekularisme atau pun sebaliknya, teokrasi. Perdebatan itu masih berlangsung hingga kini (Suaedy, 2016a; Al Khanif, 2021). Iran dan Saudi Arabia adalah dua negara yang sejauh ini paling kekeh untuk menerapkan sistem teokrasi ke dalam negara itu (Garba, 2018) meskipun secara internasional mereka terpaksa mengadopsi batas wilayah berdasar geografis. Di semua kawasan Muslim tersebut (juga Afrika Islam) terjadi pergulatan di masing-masing: di satu pihak kekuatan politik dan intelektual yang hendak menerapkan konsep tradisional Islam bagi doktrin dhimmi atau sejenisnya atau supremasi Muslim (mayoritas) yang diskriminatif terhadap minoritas namun di sisi lain tidak sedikit juga usaha yang telah dan sedang dilakukan oleh sebagian masyarakat sipil dan kaum intelektual. Mereka yang disebut terakhir ini berusaha melakukannya mulai dari transformasi doktrin semacam dhimmi dan Millet (di Turki) da rekontesktualisasi Piagam Madinah (di Timur Tengah) maupun untuk menghapuskannya kemudian diubah menjadi standar prinsip HAM tersebut. Dalam hal ini kontribusi para sarjana Muslim di Barat juga tidak sedikit (Usama & Crawford, 2015).

Usaha yang bersifat global untuk melakukan reinterpretasi terhadap doktrin Islam historis yang diskriminatif itu memang sudah banyak dilakukan namun sejauh yang bisa dipantau belum sampai pada tingkat ijma atau konsensus yang luas di antara para ulama, intelektual dan para penguasa negara-negara berideologi Islam atau mayoritas Muslim tentang penghapusan diskriminasi terhadap minoritas. Dalam hampir setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda dan gradasi tentang perlakuan dan kedudukan minoritas ini. Bahkan dengan berkembangnya aliran-aliran pemikiran dan kelompok dalam Islam sendiri, minoritas internal Islam cenderung lebih banyak mengundang diskriminasi dan kekerasan. Usaha yang bisa dikatakan global dan regional mutakhir itu adalah suatu pertemuan besar yang melibatkan 300-an lebih dalam rentang sangat luas intelektual dan ulama serta diplomat di Maroko 2016. Pertemuan itu melahirkan suatu deklarasi sangat penting yang bisa sebagai rintisan untuk terbangunnya ijma global tentang penghapusan diskriminasi terhadap minoritas. Pertemuan itu diberi nama sesuai kota tempat pertemuan itu berlangsung, yaitu Marrakesh Declaration. Di dalam deklarasi ini para delegasi mengakui dan memprihatinkan masih terus berlangsungnya diskriminasi dan kekerasan yang meluas terhadap minoritas di negara-negara Muslim. Ini disebabkan karena belum adanya konsensus yang menyeluruh penghapusan status dhimmi atau minoritas non Muslim maupun minoritas internal Muslim yang masih ditempatkan sebagai warga negara kelas dua atau dengan kata lain belum diterapkanya kesetaraan warga negara secara tuntas (Garba, 2018; Valeria, ttp).

Meski demikian, lepas dari usaha itu sangat penting tetapi ada kelemahan yang sulit untuk bisa mengantarkan deklarasi itu menjadi ijma yang luas jika tidak ada langkah-langkah lanjutan yang kebih strategis, kontekstual dan menyeluruh.  Meski forum itu memiliki tujuan sangat baik dan mulia dan sejalan belaka dengan usaha penegakan HAM khusunya pelindungan terhadap minoritas tetapi tampaknya event itu terlalu ambisius dengan hendak mengambil inspirasi yang bersifat langsung dan menjadikan teks Piagam Madiah di era Nabi Muhammad SAW sebagai acuan langsung deklarasi tersebut. Terlalu jauhnya jarak waktu kedua event antara Piagam Madinah dan Marrakesh Declaration dan kurangnya perhatian dan kontekstualisasi terhadap peta politik dan geo-politik riil kontemporer menjadikan teks deklarasi itu tampak abstrak dan tidak cukup aplikatif untuk segera bisa diterapkan berupa kebijakan-kebijakan negara. Karena itu, suatu usaha yang sepadan tetapi lebih kontekstual masih ditunggu. Gerakan-gerakan civil society dan politik di berbagai negara mungkin harus berpartisipasi untuk memobilisasi dukungan sehingga memperoleh legitimasi atau ijma yang bersifat global (Arevalo, 2018; Valeria, ttt.). Dalam hukum internasional dan HAM tidak ada larangan tegas sebuah negara memiliki agama resmi (Varol, 2015) sebagaimana di Inggris hingga kini raja atau ratunya sesungguhnya adalah seorang Paus salah satu denominasi dalam Kekristenan, yaitu Anglikan. Namun siapa yang meragukan bahwa Inggris memiliki standar HAM yang tinggi terhadap kesetaraan minoritas. Dengan kata lain, agama resmi negara dan mayoritas agama dalam suatu negara tidak selalu menentukan sebuah negara diskriminatif terhadap minoritas serta tidak adanya jaminan terhadap  kebebasan beragama.

Eksperimentasi Intelektual dan Kolektif

Para intelektual di masing-masing kawasan juga menunjukkan pergulatan yang tidak henti baik secara sendiri sebagai komitmen dan bagian dari pergumulan intelektual maupun secara kolektif atau organisasional. Senturk (2005) di Turki telah mencoba melakukan reinterpretasi dan kontekstualisasi doktrin-doktrin Islam yang diskriminatif terhadap minoritas, mungkin menarik untuk dikembangkan. Tidak sebagaimana An-Naim, misalnya, yang menginginkan bahwa dalam hal kedudukan atau kesetaraan minoritas dan perempuan Islam harus mengadopsi bulat-bulat ideologi dan konsep HAM dan hukum internasional. Senturk melihat bahwa meskipun kata dan konsep dhimmi terus eksis di berbagai literatur klasik maupun modern Islam khususnya fiqh dan hukum Islam juga di dalam UU Millet tetapi sesungguhnya penerapan dhimmi itu secara bertahap terus berkurang dan akhirnya tidak diterapkan lagi. Pada saat diterapkan Millet di Turki Ustmani yang mulai diperkenalkan setidaknya sejak abad XV, meski masih ada kata dhimmi dalam UU Millet tersebut, namun penerapannya secara bertahap terus menurun dan akhirnya terhapus.

Kekaisaran Turki Utsmani memperlakukan secara sama minoritas dalam kesempatan bekerja di semua tingkatan sebagai warga negara dan dilindungi melalui Millet. Hanya jika terjadi dispute antara minoritas dengan Muslim atau negara maka hukum negara akan bekerja. Hanya saja memang Millet tidak sebagaimana konsep Barat bahwa jaminan kebebasan beragama itu bersifat individual, sedangkan Millet bersifat kolektif komunitas agama. Degan demikian, Milllet dilihat dari konsep baru sesunggunya sudah memberikan jaminan kepada minoritas secara hukum. Justru Barat dengan konsep Sekularisme yang sangat traumatik dan diskriminatif terhadap agama. Sejak Tukri Utsmani diintervensi oleh Barat pada abad XIX, justeru menghapuskan UU Millet dan menggantinya dengan sekularisme yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas tertentu hingga diakselerasi oleh Kemal Attaturk kemudian. Sekularisme telah menghancurkan tradisi toleransi dalam Islam di Turki Utsmani dan kemudian Republik Turki. Kini Turki justru menghadapi diskriminasi yang bersumber dari konservatisme Islam yang abai terhadap tradisi.

Menurut Senturk, kata dhimmi sendiri sesungguhnya berarti perlindungan. Jadi harusnya melindungi minoritas. Asal-usul historis dari dhimmi adalah perlindungan terhadap para pedagang Madinah ketika Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad sudah menjadi kafilah raksasa sehingga banyak kafilah-kafilah kecil yang meminta perlindungan dalam perjalanan perdagangan dari serangan musuh dan perampok di padang pasir. Imbalan dari perlindungan itu adalah berupa kontribusi dana yang kemudian disebut jizyah. Jadi, Jizyah adalah imbalan dari perlindungan keamanan tersebut dan tidak ada hubungannya dengan agama, Islam atau tidak Islam. Mereka yang meminta perlindungan dari Kafilah Nabi juga ada yang Muslim dan ada yang tidak Muslim. Jelaslah bahwa pada mulanya konsep dhimmi dan jizyah tidak ada hubungan dengan konsep negara dan identitas agama. Dengan demikian, dhimmi perlu dikembalikan ke arti aslinya, perlindungan dari yang kuat kepada yang lemah atau dari negara kepada rakyat yang minoritas. Senturk juga mengedepankan tentang metodologi yang dipakai dalam kebijakan-kebijakan tersebut melalui peran para ulama dalam metodologi ijtihad dan instinbath, yaitu Ush al-Fiqh dan Qawaid al- Fiqhiyah (topik ini tampaknya perlu pembahasan tersendiri).

Di Indonesia pergulatan itu cukup lama dan cukup keras. Kemerdekaan Indonesia meskipun secara konstitusi tidak ada secara eksplisit diskriminasi terhadap minoritas tetapi dalam prakteknya diskrimnasi dan kekerasan terhadap mereka masih terus berlangsung. Sekularisme yang diperkenalkan lolonial kepada Nusantara dan kemudian Indonesia memiliki andil besar bagi terbangunnya diskriminasi tersebut. Hingga kini bisa dikatakan negara masih dikendalikan oleh sebagian besar sekularis tetapi diskriminasi masih terus berlangsung dan cenderung makin marak. Paska kemerdekaan, di samping dilakukan oleh banyak tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid di masa lalu juga oleh Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah secara kolektif organisasional –untuk menunjuk sedikit sekali contoh (Al Khanif, 2021; Suaedy, 2016a ). Usaha yang boleh dibilang sungguh-sungguh dan radikal adalah apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional (MUNAS)-nya 2019 di Banjar Patoman, Jawa Barat 2019. Hasil Bahstul Masail itu merupakan kelanjutan dari deklarasi dan kebijakan organisasi NU kembali ke khittah 26 yang salah satu unsur terpentingnya adalah kesetaraan warga negara (Suaedy, 2018a, 2019). Dalam Bahstul Masail itu ditegaksan kembali tentang sikap yang harus dilakukan terhadap minoritas baik oleh masyarakat maupun oleh negara.  

Dalam Bahtsul Masail itu NU melarang untuk menjuluki atau menyapa minoritas non Muslim sebagai kafir. Mafhum mukhalafah-nya dari keputusan ini adalah larangan untuk melakukan diskriminasi apalagi kekerasan terhadap minoritas. Yang juga penting dan menarik adalah metode atau cara berpikir NU dalam pengambilan keputusan tersebut, bukan dengan mengacu langsung kepada prinsip-prinsip HAM dan Konstitusi melainkan justeru menengok kembali pada kahzanah inteletkaul dan wisdom dalam tradisi dan sejarah Islam itu sendiri (Suaedy, 2019). Paralel dengan yang diuraikan Senturk di Turki, peran Usu al-Fqih dan Qawaid al-Fiqhiyah di sini sangat besar dalam melakukan proses ijtihad dan istanbat oleh para kyai NU di MUNAS tersenut. Dalam pelacakan oleh para delegasi di Bahtsul Masail tersebut, dalam literatur Islam dikenal empat jenis kafir, yaitu 1) Kafir harbi, non-Muslim yang tinggal di negara musuh yang sedang terlibat perang; 2) Kafir dhimmi, non-Muslim yang dilindungi oleh negara dan harus membayar pajak khusus (jizyah); 3) Kafir mu’ahad, non-Muslim yang dalam perjanjian damai tanpa membayar pajak khusus; 4) serta, Kafir musta’man, non-Muslim bukan warga negara yang dijamin keamanannya. Dari empat jenis kafir tersebut tidak satu pun yang linier dengan kondisi minoritas non Muslim warga negara Indonesia. Mereka semua adalah penduduk asli dan dijamin secara konstitusi sebagai warga negara sejak Indonesia belum merdeka dan mereka ikut berjuang melawan penjajahan untuk mendirikan negara RI. Karena itu mereka tidak bisa disebut kafir dari empat jenis yang ada di dalam literatur keislaman tersebut. Bahtsul Masil itu memberi julukan kepada non Muslim sebagai warga negara (sic!) atau “muwathin (warga negara)” dalam bahasa Arab. Usaha seperti itu yang dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi dengan berangkat dari tradisi intelektual dan wisdom Islam sendiri ini sesungguhnya lebih penting karena berpotensi memiliki legitimasi yang tinggi untuk mendorong konsensus yang luas ke dalam Islam sendiri ketimbang alasan-alasan inelektual yang berangkat dari argumen sekularistik dan HAM, namun hasil akhirnya selaras belaka

Kesimpulan

Meskipun sekularisme Barat memberikan pengaruh besar ke duina Islam namun itu tidak berarti seluruh perubahan di dalam dunia dan masyarakat Islam semata dipengaruhi oleh Barat. Islam memiliki tradisinya sendii dan khanasah intelektual dan wisdom yang sangat luas namun usaha untuk melakukan kajian dan dorongan perubahan belum berhasil mencapai konsensus yang luas dan menyeluruh. Usaha itu dilakukan baik dengan mengadopsi nilai-nilai HAM dan negara-bangsa maupun dengan menggali kembali tradisi intelektual dan wisdom sendiri tersebut. Usaha menggali tradisi sendiri untuk kontekstualisasi dan menjawab tantangan perubahan seperti dilakukan oleh Senturk di Turki dan Nahdaltul Ulama di Indonesia sangat penting dan memiliki bobot yang tinggi serta memiliki prospek untuk mendorong terjadinya konsensus atau ijma lebih luas. Masalah berikutnya adalah bagaimama menindaklanjuti produk-produk itu menjadi ijma dunia Islam dan kemudian diadopsi oleh pemerintahan menjadi kebijakan yang implementatif. Namun, sebagai otokritik, saya belum melihat usaha yang sungguh-sungguh dan argumentatif dan berangkat dari khazanah pemikiran dan wisdom Islam sendiri yang dilakukan oleh perguruan tiggi Islam di Indonesia secara kolektif untuk membangun argumen dan mendesakkan ijma untuk kesetaraan minoritas seperti dilakukan oleh Nahdlatul Ulama tersebut.

Sebagai kata kahir, namun, topik bahasan dalam paper ini sesungguhnya belum menyentuh tantangan baru dalam implementasi HAM kontemporer, yaitu tuntutan bagi berlakunya HAM kolektif atau komunitas komunal yang sedang menjadi trend paska perang dingin. Ia mengharuskan suatu konsep kewarganegraan bineka (multicultural citizenship) (Suaedy, 2018a) dengan sikap pemerintah yang tidak lagi netral melainkan berpihak dan melindungi minoritas dan mereka yang lemah (Suaedy, 2020).

                                                                                                Rumbut Bawah, 23 November 2020.

  • Paper disampaikan pada Kuliah Umum Program Studi Magister Sejarah Peradaban Islam Fakulats Adab dan Ilmu Budaya – Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 November 2020.

REFERENSI:

Buku dan Jurnal

Abou El Fadl, Khaled. “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities From the Second/Eighth to the Eleventh/Seventeenth Centuries.” Islamic Law and Society 1 (2), 1994, pp. 141–187.

Al-Qaradawi, Yusuf. Fi Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslima—Hayat al-Muslimin Wasat al-Muitama’at al-Ukhra, 23 vols. Cairo: Dar al-Suruq, 2001.

Al-Qaradawi, Yusuf. Ghoir al-Muslimin fi al-Majtami’ al-Islami. Cairo: Maktabah Wahabah, 1992.

Ali, Muhamad. “The Conceptions of Sharia and Citizenship in Indonesia and Malaysia.” Journal of Asian Social Science Research, Vol. I, No. 12019: pp. 1-14.

Al Khanif. Religious Minorities, Islam and the Law: International Human Rights and Islamic Law in Indonesia. New York: Roudledge, 2021. Disertasi di SOAS, London.

An-Na’im, Abdullahi A. “Religious Minorities under Islamic Law and the Limits of Cultural Relativism.” Human Rights Quarterly, Vol. 9, No. 1 February, 1987, pp. 1-18.

Arevalo, Ana Ruiz. “The role of civil society organisations as advocates for religious minorities: An analysis of the discrepancies between the Islamic doctrine and International Human Rights System.“ Master of Arts in Human Rights, Universität Wien, Wina, 2018. Tidak diterbitkan.

Bruinessen, Martin van (ed.) Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the ‘Conservative Turn’. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2013.

Garba, Ahmed Salisu. “The Prospects and Problems of the Marrakesh Declaration on the Rights of Religious Minorities in Muslim Majority Communities.” Faith & International Affairs, 16:4, 2018, pp. 47-59.

Ghanea, Nazila. “Religious or Minority? Examining the Realisation of International Standards in Relation to Religious Minorities in the Middle East.” Religion, State & Society, Vol. 36, No. 3, September 2008, 303-325.

Gouda, Moamen and Jerg Gutmann. “Islamic Constitutions and Religious Minorities.”  Paper to be presented at the ERF 25th Annual Conference in Kuwait, March 2019. Iinstitute of Law and Economics, Working Paper 2018 No. 19 University of Hamburg, Germany.

Hasan, Usama & Justin Crawford. “Ḥurrīyah, Musāwāh, Ukhuwwah – Islam and Discourses of Integration.”Quilliam International, London, UK. 2015 [Paper presented at the SOAS-Nohoudh Conference on Muslim Integration, University of London, UK, November]. Tidak diterbitkan.

Kuran, Timur. “The Economic Ascent of the Middle East’s Religious Minorities: The Role of Islamic Legal Pluralism.” The Journal of Legal Studies, Vol. 33, No. 2 (June 2004), pp. 475-515.

Madood, Tariq and Fauzia Ahmad. “British Muslim Perspectives on Multiculturalism. Theory, Culture & Society (SAGE, London, Thousand Oaks and New Delhi), Vol. 24(2), 2007, pp 187–213.

Marshall, Paul. “The Ambiguities of Religious Freedom in Indonesia.” The Review of Faith & International Affairs, 16:1, 2018, pp. 85-96.

Mellor, Roy. E.H. Nation, State and Territory. NY.: Routledge, 1989.

Ulusoy, Kıvanç. “The European Impact on State–Religion Relations in Turkey: Political Islam, Alevis and Non-Muslim Minorities.” Australian Journal of Political Science, 46:3, 2011, PP. 407-423.

Senturk, Recep. “Minority Rights in Islam: From Dhimmi to Citizen” in Shireen T. Hunter and Huma Malik (eds.) Islam and Human Rights: Advancing a US-Muslim Dialogue. Washington, D.C.: Center for International and Strategic Studies (CSIS), Significant Issues Series, 2005, pp.67-99.

Suaedy, Ahmad. “Comteporary Human Rights Issues in Indonesia.” Dalam Norshahril Saat, Azhar Ibrahim (eds.). Alternative Voices in Muslim Southeast Asia: Discourses and Struggles. Singapore: ISEAS, 2020, pp. 183-198.

——–. Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001. Jakarta: Gramedia, 2018a.

——–. Islam, Minorities and Identity in Southeast Asia. Depok & Yogyakarta: Iklusif & ISAIs, 2018.

——–. “The Inter-Religious Harmony (KUB) Bill vs Guaranteeing Freedom of Religion and Belief in Indonesian Public Debate.” Dalam Tim LindseyHelen Pausacker (eds.). Religion, Law and Intolerance in Indonesia. Routledge, 2016a.

——–. “Islam and Minorities: Managing Identity in Malaysia.” Al-Jami‘ah, Vol. 48, No. 1, 2010 M/1431 H, pp. 1-44

——–. The Dynamics of Muslim Minorities in Finding The Way for Peace; The Role of Muslim Civil Society in Southern Thailand & Southern Phillipines. Jakarta: Ministry of Religious Affairs, 2016.

Valeria, Cunico. “The Creation of the Marrakesh Declaration and the Portrayal of Religious Minorities in the International Press.” Tesis Master di Universita’ degli Studi di Padova. Italia, Tanpa Tahun. Tidak diterbitkan.

Varol, Fatih. “Religious Freedom as A Practice of the Nation: Religious Minorities, Islamic Revival, and the Emergence of Defensive Inclusion in Turkey.” Disertasi di University of Illinois at Urbana-Champaign, 2015. Tidak diterbitkan.

Online:

Made Anthony Iswara, 2020. https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/30/indonesia-ranks-among-most-religious-countries-in-pew-study.html

Pewforum.org, 2019. https://www.pewforum.org/2019/07/15/a-closer-look-at-how-religious-restrictions-have-risen-around-the-world/

Suaedy, Ahmad. 2019. “Dari ‘kafir’ ke ‘non-Muslim’ dan ide kesetaraan di pesantren dan NU.” https://theconversation.com/dari-kafir-ke-non-muslim-dan-ide-kesetaraan-di-pesantren-dan-nu-113120.

Related posts

Pesantren Tua dan Makam Keramat di Bogor

Idris Masudi

Sintesis Nusantara: Islam, Kebinekaan dan Tantangan Global

Dr. Ahmad Suaedy MA. Hum.

Pertanian, Agraria, dan Perubahan Iklim dalam Perspektif Islam Nusantara

Ngatawi El-Zastrow