FIN UNUSIA
Esai

Islam Nusantara Melampaui Moderat dan Radikal

Amin Mudzakkir (LIPI/Unusia, Jakarta)

Pendahuluan

Selama ini perbincangan publik, demikian pula perdebatan akademis, tentang Islam Nusantara sering terjebak pada dikotomi moderat dan radikal. Seolah-olah pilihan menjadi Muslim hanya dua: kalau tidak moderat, maka berarti radikal. Benarkah demikian? Apakah Islam Nusantara yang merupakan agenda “resmi” Nahdlatul Ulama (NU) sejak 2015 itu hanya berasosasi dengan moderat dan, sebagai konsekuensinya, merupakan lawan radikal? Kalau demikian, apa maknanya dalam konteks kekuasaan ekonomi politik secara lebih luas?

Tulisan singkat ini mau mengelaborasi pembentukan wacana Islam Nusantara secara kritis. Setidaknya ada dua hal yang mau dipermasalahkan. Pertama, pengasosiasian Islam Nusantara sebagai Islam moderat yang dilawankan begitu saja dengan Islam radikal adalah bagian dari paradigma kulturalis dalam studi ilmu sosial dan humaniora. Kedua, pengasosiasian ini didukung oleh adanya pemahaman yang juga bercorak kulturalis mengenai peranan Gus Dur dalam perjuangan toleransi. Pada dua pokok masalah ini, pengertian tentang Islam Nusantara mengalami penyempitan, sehingga menghalangi potensinya sebagai wacana kritis dalam konteks kekuasaan ekonomi politik yang lebih luas.  

Mengkritik dikotomi moderat dan radikal

Dalam beragam istilahnya, Islam moderat dan Islam radikal adalah pewacanaan yang lahir dari rahim kolonialisme Barat. Keduanya digunakan sebagai instrumen kekuasaan untuk mengklasifikasikan umat Islam di negeri jajahan. Tentu saja Islam moderat akan diajak sebagai sekutu, sedangkan Islam radikal adalah acaman yang harus selalu diwaspadai dan kalau perlu dihabisi.

Di Indonesia, dikotomi antara moderat dan radikal telah digunakan sebagai kerangka untuk menghadapi umat Islam sejak era kolonial. Snouck Hurgronje menggunakan istlah “Islam ibadah” atau “Islam kultural” vs. “Islam politik” yang kurang lebih bermakna sama dengan moderat vs. radikal. Yang pertama dibiarkan, sementara yang kedua dihancurkan (Suminto, 1985).

Selepas era kolonial, pewacanaan moderat dan radikal di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat mengemuka dalam kebijakan migrasi dan integrasi terhadap para imigran yang berasal dari negara-negara Muslim. Ini menguat terutama setelah berakhirnya Perang Dingin di mana isu “politik identitas” secara perlahan menggantikan “politik kelas”. Jika sebelumnya para imigran dilihat dan diperlakukan semata sebagai pekerja yang terkait dengan status sosial ekonomi, maka sejak akhir 1980-an mereka dilihat dan diperlakukan sebagai Muslim yang perlu ditandai keberadaannya di tengah masyarakat setempat (Kaya, 2009).

Sejajar dengan itu, dikotomi moderat dan radikal di negeri bekas jajahan seperti Indonesia pada dekade-dekade awal pasca-Perang tertutupi oleh isu-isu pembangunan dan keterbelakangan ekonomi. Kondisi ini berjalan hingga akhir 1980-an ketika aspirasi politik identitas Islam menyeruak ke permukaan. Pengusunganya adalah proponen Muslim modernis yang digambarkan oleh Hefner (2001) sebagai kalangan yang menyimpan dendam atas kekalahan politis mereka di masa lalu dan lalu dimanfaatkan oleh Soeharto sebagai sekutu politiknya. Sementara itu, pada saat yang sama, kekuatan Islam moderat justru menikmati kesempatan membangun basis “Islam sipil” yang kelak dianggap berguna bagi demokratisasi.

Selesainya Perang Dingin pada akhir 1980-an mesti dilihat sebagai konteks yang membuat dikotomi radikal dan moderat menemukan momentumnya kembali. Isu kelas yang terkait dengan pembangunan dan keterbelakanan ekonomi terpinggirkan diganti oleh isu identitas yang terfokus pada kebangkitan aspirasi keagamaan, khususnya Islam, di ruang publik. Akan tetapi, terutama lagi sejak peristiwa 9/11, dikotomi radikal dan moderat mendominasi cara mengklasifikasi dan mengkategorisasi Islam dan masyarakat Muslim. Dampaknya sangat mendalam. Islam radikal dianggap secara etis adalah “Muslim yang buruk”, sedangkan Islam moderat adalah “”Muslim yang baik” (Mamdani, 2004).

Problematik utama pada pewacanaan dikotomi radikal dan moderat adalah pembobotan yang berlebihan pada masalah kultural. Seolah-olah masalah umat Islam, khususnya Islam radikal, adalah ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan nilai-nilai yang selama ini identik dengan Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, dan sebagainya. Sebaliknya, Islam moderat adalah Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai tersebut. Mengikuti Huntington (1993), sejak berakhirnya Perang Dingin tidak ada lagi masalah ideologi karena liberalisme sudah dianggap menang, tidak ada lagi masalah ekonomi karena kapitalisme (neoliberal) sudah dianggap menang.

            … that the fundamental source of conflict in this new world will not be primarily ideological or primarily economic. The great divisions among humankind and the dominating source of conflict will be cultural. Nation-states will remain the most powerful actors in world affairs, but the principal conflicts of global politics will occur between nations and groups of different civilizations. The clash of civilizations will dominate global politics. The fault lines between civilizations will be the battle lines of the future

Karena menekankan pembobotan yang berlebihan pada masalah kultural, manipulasi politis terhadap apa yang disebut moderat dan radikal kerap terabaikan. Kenyataannya, dikotomi tersebut sering digunakan oleh para politisi baik yang religius maupun sekuler untuk melakukan mobilisasi. Terlebih lagi di era “post-truth” sekarang di mana algoritma kultural menjadu sangat sentral, penggunaan istilah moderat dan radikal bahkan sering melampau tujuan awalnya sendiri sebagai strategi untuk mencegah terorisme yang memang sangat berbahaya. Tidak jarang istilah moderat dan radikal malah dipakai untuk menujuk pihak-pihak yang mendukung atau mencela pemerintah. Mereka yang mendukung pemerintah dianggap moderat, sedangkan yang mencelanya disebut radikal.

Memaknai ulang warisan Gus Dur

Dapat dikatakan wajah NU yang kita kenal sekarang ini, termasuk wacana Islam Nusantara, adalah warisan Gus Dur. Tanpa bermaksud mengecilkan peran tokoh-tokoh lainnya, Gus Dur harus diakui berhasil mentransformasikan NU dari organisasi sosial keagamaan yang sebelumnya dianggap kolot menjadi lebih liberal. Tentu saja istilah liberal ini lebih merupakan penamaan pihak luar daripada pengakuan diri. Sependek pengetahuan saya, Gus Dur tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang liberal, meski pemikirannya memang mempunyai kecenderungan liberal sebagaimana dipahami dalam wacana intelektual dan politik Barat (Bdk. Barton, 1999)

Di antara warisan Gus Dur yang paling berpengaruh adalah gagasannya tentang toleransi. Sejak awal dia menyuarakan sebentuk Islam yang menghargai perbedaan agama dan kultural di masyarakat Indonesia yang multikultural. Suara ini tidak hanya dikumandangkan di menara gading akademis, tetapi juga dijalankan dalam aksi politik kongkret. Terutama sejak awal 1990-an, Gus Dur menentang kecenderungan sektarian dalam komposisi pemerintahan Orde Baru di mana sejumlah elemen kelompok tertentu terlihat lebih diistimewakan daripada kelompok yang lain. Tidak heran saat itu Gus Dur menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dinilainya lebih merupakan kepanjangan tangan kekuasaan daripada aspirasi nyata keagamaan.

Akan tetapi, jarang disadari konteks kritik Gus Dur saat itu persis  bersamaan dengan peralihan orientasi teori-teori sosial dari isu kelas ke identitas sebagaimana disinggung di atas. Akibatnya, gaung dari kritik Gus Dur lebih bercorak kultural daripada struktural. Seolah-olah yang dipromosikan Gus Dur hanyalah penghargaan terhadap perbedaan agama dan kultural. Seakan-akan kita diminta taken for granted untuk melindungi kaum minoritas.Yang lebih ditangkap oleh publik lebih sekadar sektarianisme kultural kalangan Muslim modernis, daripada konstelasi politiknya. Kenyataan bahwa Soeharto memanfaatkan sentimen kebangkitan politik identitas tersebut untuk kepentingan yang sesungguhnya bersifat sekuler kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian. Konteks ekonomi politik kekuasaan Orde Baru yang menjadi sasaran kritik Gus Dur kurang atau bahkan tidak dimunculkan. Isu politik kelas tidak lagi mampir di kelas-kelas pemikiran Gusdurian.

Pelepasan warisan Gus Dur dari konteks ekonomi politik tersebut menyebabkan wacana Islam Nusantara yang lahir darinya menjadi cenderung chauvinis. Bagi sebagian kalangan, sebagaimana disinggung oleh Ulil Abshar-Abdalla (2021) menjadi seperti wacana anti-Arab. Dalam hal ini kita perlu menimbang lagi apa yang dulu oleh Gus Dur dikatakan sebagai “pribumisasi Islam”. Yang dimaksud tentu saja bukan sekadar kontekstualisasi Islam global di ranah lokal, tetapi juga interaksi dan bahkan kontribusi Islam lokal terhadap global.

Related posts

Perempuan dan Islam Nusantara: Reclaiming Her Story

Admin FIN

Fikih Sukuti Menurut Ulil Abshar Abdallah

admin

Otoritas Agama VS Republik Gawai: Tantangan bagi Islam Nusantara*

admin