Ulil Abshar-Abdalla
I
SEJAK istilah “Islam nusantara” dideklarasikan pada 2015 dan menimbulkan perdebatan luas, sudah ratusan tulisan berupa buku dan artikel, baik yang ditulis secara akademis atau populer, terbit dan menggarap tema ini. Secara umum, ini mengindikasikan bahwa gagasan Islam nusantara “hit the mark,” mengenai sasaran yang hendak dituju. Jika tidak “kena sasaran,” pastilah tidak akan menjadi perdebatan. Saya akan memulai tulisan ini dengan survei bibliografis kecil mengenai sejumlah buku dan tulisan yang berkaitan dengan istilah ini. Tentu saja ini bukan survei yang diniatkan “exhaustive,” mencakup semua yang pernah ditulis tentang tema tersebut, melainkan hanya menunjukkan beberapa buku dan tulisan yang layak disorot. Tentu saja kelayakan di sini sifatnya subyektif: sesuai “preferensi” persomal saya. Saya terbuka pada kritik jika ada yang terlewat. Selain survei yang bersifat selintas, di sana-sini saya juga akan mengemukakan amatan, mungkin juga sedikit penilaian, terhadap buku atau tulisan yang pernah diproduksi oleh sarjana Indonesia mengenai tema itu. Dengan kata lain, ini adalah survei bibliografis (kadang-kadang disertai dengan sedikit anotasi) dan sekaligus juga “evaluasi” kecil.
Ada dua buku yang perlu saya “highlight” pertama-tama, karena saya anggap sebagai karya paling awal yang dengan sungguh-sungguh mencoba memberikan “isi” dan memproblematisir istilah Islam nusantara secara konseptual. Pertama adalah buku yang diedit oleh Akhmad Sahal dan Munawir Aziz, Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (2015). Yang kedua adalah buku yang ditulis oleh Syafiq Hasyim, Islam Nusantara Dalam Konteks (2018). Buku yang terakhir ini ditulis secara khusus sebagai upaya konseptualisasi yang lumayan utuh dan komprehensif mengenai Islam nusantara. Tiga intelektual Muslim ini sadar benar bahwa ide Islam nusantara mengandung banyak problem, baik sebagai konsep, metodologi, maupun substani/isi. Pengantar yang ditulis Akhmad Sahal dalam buku tersebut lumayan membantu dalam memberikan klarifikasi tentang apa itu Islam nusantara dan “concern” apa yang hendak
dijawab olehnya. Sementara itu, Syafiq Hasyim secara khsusus menggarap problem metodologi Islam nusantara dalam bab pertama bukunya.
Buku lain yang menurut saya layak disebut adalah karya A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip, dan Korespondensi Ulama Nusantara (2017). Buku ini lahir jauh setelah Muktamar NU di Jombang pada 2015 di mana untuk pertama kali istilah ini dikenalkan. Konteks ini menguntungkan bagi penulisnya. Buku ditulis setelah “debat panas” mengenai Islam nusantara sudah sedikit mereda, sehingga memberikan ruang yang lebih banyak bagi penulisnya untuk bekerja secara lebih “tenang,” tidak dibebani oleh keperluan untuk menjawab sebuah kontroversi secara langsung. Karena itu, perbedaan mendasar antara buku ini dan dua karya sebelumnya adalah dalam hal “the pressure of the present,” tekanan menjawab masalah yang ada sekarang. Sebagian besar buku-buku yang memuat istilah Islam nusantara dalam judulnya dan terbit setelah Muktamar NU di Jombang itu, cenderung “apologetik,” dalam pengertian membela istilah itu dari serangan lawan-lawan. Juga tampak sekali dalam tulisan-tulisan tersebut kehendak kuat untuk menampilkan aspek yang satu ini: Bahwa Islam nusantara adalah “solusi” bagi persoalan bangsa dan agama. Bagi saya, buku Sya’ban terbebas dari pretensi apologetis dan tidak terbebani dengan tendensi “solusi” semacam itu. Jika gagasan Islam nusantara hendak dikembangkan dalam jangka panjang sebagai “academic enterprise,” saya melihat buku ini amat menjanjikan sebagai landasan lebih lanjut untuk kajian tentang Islam nusantara, terutama jika dilihat sebagai tradisi keilmuan yang berkembang di sebuah kawasan yang dikenal sebagai “negeri Jawa” (bilād Jāwā) itu. Dalam konteks akademis, buku inilah yang saya pandang paling serius menggarap tema Islam nusantara sebagai konsep akademis, bukan sebagai “konstruk ideologis.” Buku ini berisi anotasi hampir sebagian besar karya-karya ulama nusantara, baik yang sudah terbit atau masih berupa manuskrip.
Tampaknya buku paling awal yang memuat istilah “Islam nusantara” ditulis oleh Azyumardi Azra dengan judul Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (2002). Buku ini tidak mencoba menelaah dan memproblematisir istilah tersebut sebagai konsep. Ini bisa dimaklumi karena ia terbit sebelum gagasan Islam nusantara menjadi pusat perdebatan. Azra, karena kesarjanaannya selama ini mengenai “jaringan ulama” di tanah haramain dan nusantara, bisa dianggap sebagai salah satu sarjana Indonesia yang secara akademis paling otoritatif berbicara mengenai tema ini. Buku Azra itu berisi bunga rampai makalah yang menggambarkan “academic concern” dia tentang jaringan ulama sebagaimana kita baca dalam karyanya yang lain yang sudah classic, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia (2004).
Sejumlah buku lain tentang tema ini mungkin luput dari perhatian
saya, tetapi dua buku pertama saya anggap sebagai penjelajahan
yang lumayan serius ke dalam gagasan Islam nusantara. Sementara
itu puluhan, mungkin bahkan ratusan artikel, baik yang akademis
atau non-akademis, ditulis mengenai tema ini. SEbagaimana saya tunjukkan sebelumnya, ada watak yang menonjol dalam sebagian besar tulisan mengenai
Islam nusantara hingga
sejauh ini, yaitu kecenderuangan yang sangat kuat untuk menekankan gagasan Islam nusantara sebagai respon; dalam hal ini: respon atas masalah-masalah kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Ini tampak sekali dalam dua buku pertama yang dikerjakan oleh Akhmad Sahal, Munawir Aziz, dan Syafiq Hasyim. Dalam dua buku ini, kita sangat merasakan adanya tekanan untuk menjawab masalah saat ini. Tentu saja, ini sangat bisa dipahami. Konsep itu lahir sebagai reaksi atas maraknya gejala radikalisme agama, baik di Indonesia maupun di kawasan lain. Islam nusantara adalah “jawaban.” Islam nusantara adalah, dalam kalimat Zainul Milal Bizawie [ia menulis buku penting berjudul Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945 (2016)], “Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.” Garis bawah harus diletakkan pada kata “solusi.” Menggaungkan nada serupa, Ahmad Najib Burhani, dalam artikelnya yang terbit di Trends in Southeast Asia (no. 21, 2018), memandang Islam nusantara sebagai “a promising response to religious intolerance and radicalism.”
Beberapa kepustakaan lain yang pantas disebut adalah beberapa buku berikut ini. Yang pertama disunting oleh Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, dkk, berjudul Ragam Ekspresi Islam Nusantara (2015). Yang kedua adalah buku yang ditulis oleh Nor Huda dengan judul Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (2008).
Sementara itu Aksin Wijaya, seorang pemikir Muslim yang cukup prolifik dari IAIN Ponorogo, menulis buku berjudul Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang Tak Kunjung Usai di Nusantara (2011). Pada 2015, sejumlah santri Lirboyo, Kediri, menerbitkan buku yang lumayan menarik dengan judul Ijtihad Politik Islam Nusantara: Membumikan Fiqih Siyasah Melalui Pendekatan Maqashid asy-Syari’ah (sic). Meskipun ini adalah sebuah “karya percobaan,” karena dikerjakan secara kolektif (ada sembilan santri yang terlibat dalam tim penulisan) sebagai bagian dari tugas akhir kelas di tingkat aliyah, ia tetap layak dipandang sebagai sebuah kontribusi yang penting. Buku ini bahkan mendapatkan “endorsement” dari Kiai Said Aqil Siraj (ia juga lulusan dari pesantren Lirboyo) dalam bentuk kata pengantar.
Yang
menarik, bunga rampai karangan tersiar yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid aka Gus Dur yang terbit pada 2006 (disunting oleh Ahmad Suaedy, dkk, dengan judul Islamku, Islam
Anda, Islam Kita), tidak memuat satu artikel pun
dengan judul Islam Nusantara. Ini bisa dimaklumi, karena seluruh esei-esei
yang terkumpul di sana ditulis jauh sebelum istilah
Islam nusantara menjadi perdebatan. Tentu saja, banyak esei Gus Dur yang terkumpul
dalam buku itu membahas tema yang belakangan
“dijuduli” dengan nama Islam nusantara. Misalnya lima seri tulisan dengan judul “Islam: Ideologis ataukah
Kultural?” Atau dua artikel lain dengan judul: “Islam: Perjuangan Etis atau Ideologis?” dan “Negara Islam: Adakah Konsepnya?” Gagasan Gus Dur mengenai tema-tema
ini menjadi landasan
konseptual bagi sejumlah
pemikir nahdliyyin yang mencoba memberikan
“isi” terhadap ide Islam nusantara.
Sebagaimana kita lihat dalam buku yang dikerjakan
oleh santri Lirboyo di atas, problem fiqh siyasah atau hubungan Islam dan negara menjadi salah satu isu penting dalam rumusan Islam nusantara. Mengenai
tema penting ini, Kiai
Afifuddin Muhajir, sosok yang oleh Abdul Moqsith Ghazali disebut sebagai “seorang faqih-ushuli dari Timur,” menulis buku yang cukup mendalam berjudul Fiqh Tata Negara (2017). Meskipun judulnya tidak memuat kata Islam nusantara, tetapi buku ini berisi beberapa fasal mengenai Islam nusantara. Sebagai “kiai-pemikir” yang penting di NU saat ini, kontribusi Muhajir ini sangatlah penting.2
Di luar buku-buku yang sudah disebut di atas, ada buku lain yang ditulis oleh Mukhsin Jamil, Musahadi, Choirul Anwar, dan Abdul Kholiq dari UIN Walisongo, Semarang, dengan judul: Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU (2008). Tetapi buku ini sama sekali tidak memproblematisir Islam nusantara sendiri sebagai konsep. Tampaknya judul “Islam nusantara” dalam buku ini dengan sengaja dipakai sebagai semacam “penarik” bagi pembaca belaka, meski secara isi, ia menampilkan aspek yang menarik. “Sub-text” atau pesan tersirat dalam buku ini hendak menunjukkan bahwa Islam nusantara, sebagai gagasan, tidak bisa dibatasi pada ekspresi Islam sebagaimana ditunjukkan oleh komunitas Islam tradisional seperti NU. Gagasan ini juga mencakup corak Islam lain yang lebih “reformis” seperti tampak dalam ormas seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persis. Jika asumsi saya ini benar, jelas sekali hal ini layak dieksplorasi lebih jauh. Selama ini, istilah Islam nusantara selalu dikaitkan secara terbatas dengan Islam ala NU di Jawa, dan inilah yang tampaknya menimbulkan semacam ketersinggungan pada kalangan Islam lain, serta menimbulkan kesan bahwa Islam nusantara cenderung Jawa-sentris. Poin terakhir ini dikemukakan olah sarjana Jepang Okamoto Masaaki dalam artikelnya yang terbit diedisi perdana jurnal Islam Nusantara pada Juli 2020.ß
Tulisan ini tidak akan menggarap aspek Islam nusantara sebagai “solusi”, betapapun pentingnya hal itu. Saya mencoba untuk melakukan problematisasi atas konsep ini, serta menunjukkan beberapa “kelemahan” yang perlu dipikirkan dalam jangka panjang. Jika gagasan Islam nusantara hendak bertahan lama sebagai sebuah konsep, maka, menurut saya, hanya ada satu jalan yang terbuka ke depan: yaitu bergulat secara sungguh- sungguh (dan inilah yang saya sebut dengan “memproblematisir”) dengan konsep ini pada dua tingkat sekaligus: pendekatan/metodologi dan subtansi. Kita harus bergerak mundur sedikit untuk tidak terburu-buru membicarakan konsep ini sebagai “solusi” serta terperangkap dalam “the pressure of the present.” Sebaliknya, kita mesti mencoba pelan- pelan memproblematisir istilah ini sebagai konsep.
Aspek lain yang pantas dipertimbangkan adalah membedakan antara Islam nusantara sebagai konstruk ideologis dan alat analisis. Sebagai konstruk ideologis, ia adalah “alat”
2 Al
Makin, rektor UIN Yogyakarta, menulis buku yang amat menarik: Nabi-Nabi Nusantara (2017).
Buku ini adalah versi Indonesia dari bukunya yang terbit sebelumnya
dalam bahasa Inggris: Challenging Orthodoxy (2016), dan berisi telaah
menarik atas gerakan
Lia Aminudin (w. 2021), seorang
perempuan yang mengkleim sebagai “nabi.” Saya menduga, pemakaian
kata “nusantara” dalam judul itu adalah semacam cara untuk menarik pembaca.
Sejumlah buku yang terbit setelah
Muktamar NU di Jombang pada 2005 membubuhkan kata “Islam nusantara”
dalam judulnya, menandakan
betapa istilah ini, di mata para penerbit,
memang mengandung “magnet pasar” yang cukup besar.
untuk memenangkan pertarungan antara apa yang oleh Mamood Mamdani (lihat elaborasi lebih lanjut mengenai hal ini di bawah) disebut sebagai “good Muslim” dan “bad Muslim.” Meski penggunaan gagasan ini sebagai konstruk ideologis memang penting, tetapi masa depan Islam nusantara sebagai konsep akan lebih menjanjikan jika ia ditelaah sebagai alat analisis. Sebagai alat analisis, dia harus terus-menerus diproblematisir.
Sebagaimana dikemukakan oleh Okamoto Masaaki, Islam nusantara perlu dikaji secara kritis sebagai sebuah konsep. Riset-riset tentang Islam nusantara, menurut Masaaki, sudah selayaknya dihadapkan pada apa yang ia sebut sebagai “pengalaman keterasingan.” Kata Masaaki, dan saya setuju, “The experience of strangeness makes all your senses much more sensitive than normal, and your attachment to comparison grows deeper.” Pengalaman keterasingan inilah yang akan mempertajam dan memperjelas isi gagasan Islam nusantara. Selama ini, ekplorasi tentang gagasan ini baru sebatas pada wilayah yang sudah “obvious,” jelas, meski hal ini juga memiliki kepentingannya sendiri. Gagasan ini juga akan menjadi lebih jelas jika ditelaah dengan kaca-mata komaparatif, perbandingan. Pengalaman-pengalaman keislaman dan tradisi-tradisi kultural yang dicakup dalam istilah ini sudah selayaknya dilihat sebagai, dalam istilah Daud Ali (seorang profesor ahli sejara Asia Selatan di era pra-Mughal dan mengajar di SOAS, London), “sejarah-sejarah yang terhubung” (connected histories), dan karena itu layak dibandingkan satu dengan yang lain.
II
Salah satu sarjana yang secara konseptual memproblematisir istilah Islam nusantara dan patut dipertimbangkan adalah Ismail Fajri Alatas, sarjana Indonesia yang mengajar di New York University, AS. Dalam bukunya yang akan terbit oleh Princeton University Press pada akhir Juni 2021, What Is Religious Authority?, Alatas mencoba menarik istilah ini dalam konteks percakapan global mengenai apa yang oleh Mamood Mamdani disebut sebagai “good Muslim” dan “bad Muslim.” Dalam artikelnya yang terbit di American Anthropologist pada 2002 dengan judul “Good Muslim, Bad Muslim: A political perspective on culture and terrorism,” Mamdani mengemukakan analisis yang menarik.
Setelah peristiwa
9/11 di Amerika Serikat, mendadak
dunia menyaksikan apa yang dia sebut sebagai “culture talk,” yaitu menerangkan segala peristiwa politik seperti serangan
terorisme atas Menara Kembar
WTC di New York dari sudut kebudayaan. Tindakan teror kaum Islamis,
misalnya, dalam ulasan para pandit di Amerika cenderung dijelaskan
sebabai akibat “logis” saja dari kebudayaan Islam. Serangan kaum teroris Muslim itu, dalam padangan sebagian
para pengamat di Barat, disebabkan oleh “sesuatu” yang secara
intrinsik dan esensial ada dalam
ajaran dan teologi Islam. Sementara
itu, kesuksesan Barat sebagai “peradaban” juga dijelaskan secara kultural sebagai
hasil yang masuk akal belaka dari watak kebudayaan Barat itu sendiri — kebudayaan
yang berasal dari Tradisi Pencerahan
yang mengandung sejumlah “cultural cores” seperti: ide tentang “progress,” kemajuan, rasionalitas, pandangan
yang linier tentang waktu, dll. Ini adalah jalan Weberian
yang sudah kita kenal selama
ini. Max Weber,
pemikir besar Jerman
itu,
menjelaskan lahirnya kapitalisme di dunia Barat melalui apa yang ia sebut sebagai “etika Protestan.” Penjelasan yang bersifat kebudayaan ini, dalam pandangan Mamdani, mengandung kelemahan mendasar. Ia tidak melihat sejarah yang panjang dan faktor- faktor yang lebih material yang juga berperan dalam formasi sebuah nilai. Penjelasan kebudayaan cenderung esensialistik dan tidak melihat dialektik yang bersifat material dalam pengalaman yang nyata. Gagasan Islam nusantara, dalam pandangan Alatas, kurang lebih terjebak dalam bahaya “culture talk” semacam ini. Gagasan ini kemudiam memicu lahirnya polarisasi biner yang bermasalah: antara “global Islam” vs “local Islam,” “scriptural” vs “vernacular,” “central” vs “peripheral,” “Arab” vs “Archipelagic.” Dalam polarisasi ini, sisi yang kedua cenderung dianggap sebagai “good Muslim,” sementara yang pertama cenderung dilihat sebagai mewakili “bad Muslim.”
Alatas mendeteksi masalah yang serius dalam polarisasi semacam ini. Dia menegaskan bahwa polarisasi seperti itu, secara implisit, mengandaikan asumsi berikut ini: Agar apa yang disebut Islam nusantara ada, ia membutuhkan “the other” yang akan menjadi sarana untuk memperjelas dirinya melalui proses differensiasi atau pembedaan. Polarisasi ini mengandaikan adanya (ini istilah Alatas) “pre-cultural Islam,” yaitu Islam yang masih “asli” yang belum tercampur dengan budaya apapun. Islam pra-budaya ini akan datang ke pelbagai kawasan di dunia, berjumpa dengan konteks kebudayan yang beragam, lalu melahirkan Islam plus ini atau itu. Ketika Islam pra-budaya itu datang ke kawasan nusantara, ia akan melahirkan Islam nusantara, di India melahirkan “Islam India,” dan demikian seterusnya. Islam yang pra-budaya ini umumnya diandaikan sebagai Islam yang “legalistik,” sangat sharia-oriented — asumsi yang juga sering kita lihat pada kaum salfi, misalnya. Sementara Islam yang sudah “membudaya” ini dipandang “less legalistic,” tidak terlalu kaku dan formalistik. Yang diproblematisir oleh Alatas adalah: apakah ada yang disebut dengan “pre-cultural Islam” semacam itu, bahkan di negeri asalnya sendiri? Alatas menegaskan bahwa, “… culture and religion ought to be understood as composite products of historical interactions.” Apa yang disebut dengan Islam pra-budaya, dengan demikian, nyaris tidak sama sekali. Sebab, sejak awal setiap agama akan berkelindan dengan proses-proses kultural yang memungkinkan dirinya hadir dan hadir kembali (production/reproduction). Dengan demikian, tidak ada yang disebut sebagai “pre-cultural Islam,” sebab budaya adalah konteks yang sejak awal sudah “tertanam” dalam proses kehadirannya (its contextually embedded (re)production). Sebagai konstruk yang pada akhirnya harus diterjemahkan dalam “social practice,” agama akan selalu hadir melalui tiga proses ini: hybridity, translation, transculturation. Inilah proses yang oleh Alatas disebut dengan “instansiasi,” proses lahirnya “sesuatu” yang semula berada di “alam ide” (apapun itu) ke dalam tindakan sosial.
Saya tidak sedang dalam posisi memberikan tanggapan
balik atas kritik semacam ini. Saya
hanya ingin menegaskan hal sederhana: bahwa kritik semacam ini amat
valid dan patut menjadi
bahan diskusi di antara para intelektual dan sarjana yang selama ini mempromosikan gagasan ini sebagai sebuah “solusi.”
Diskusi yang lebih akademis patut dilakukan secara terus menerus untuk dan menjadikan kritik-kritik semacam ini sebagai
bahan refleksi. Sebagaimana dikatakan Masaaki, Islam nusantara sebagai konsep justru akan diperkaya karena dihadapkan pada “pengalaman keterasingan.” Kritik terhadap sebuah konsep, bagi saya, adalah momen ketika ia bertemu dengan sesuatu yang semula tidak ia kenali, terasing. Kritik adalah tahap ketika sebuah gagasan dihadapkan pada semacam “conceptual blind-spot,” daerah yang semula tidak dilihat oleh seorang produsen gagasan. Dengan mengenali titik-titik yang semula tak terlihat ini, sebuah gagasan akan makin jelas dalam mendefinisikan dirinya vis-a-vis “yang lain.” Kritik adalah momen klarifikasi. Jika ditelaah lebih saksama, kritik Alatas di atas, bagi saya, bukan malah “membatalkan” gagasan Islam nusantara, tetapi justru membantu dengan memberikan peralatan analitik untuk melihat bagaimana sebuah “tradisi agama” terbentuk, termasuk tradisi Islam nusantara itu sendiri. Alatas telah membantu dengan menjelaskan bagaimana bagaimana “social practice” terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana ia mengalami proses produksi dan re-produksi terus-menerus. Ini tanggapan saya secara selintas saja. Selebihnya, saya kira harus ada percakapan yang lebih khusus dan mendalam mengenai pokok soal ini.
III
Perkambangan menarik berlangsung sekitar sepuluh hingga dua puluh terakhir dalam percakapan Islam di Indonesia. Yaitu munculnya kesadaran tentang pentingnya identitas keislaman yang khas di kawasan ini vis-a-vis Islam yang dibentuk oleh budaya Arab atau Timur Tengah. Kesadaran ini, dugaan saya, adalah bagian dari bangkitnya gejala “politik identitas” dalam arti luas di seluruh dunia dalam periode pasca-Perang Dingin.
Perkembangan ini semacam “echo” dari perkembangan serupa di dunia luar. Dengan mengatakan ini, bukan berarti saya menolak aspek “organis” di dalamnya. Artinya, saya tetap mengakui bahwa perkembangan ini toh ditentukan juga oleh dinamik kebudayaan yang berlangsung di kawasan Indonesia sendiri, tidak semata-mata didikte oleh “echo” atau pengaruh dari luar. Mungkin pandangan yang lebih adil adalah melihat perkembangan ini sebagai hasil dari “jadaliyyah,” dialektik, hubungan timbal-balik dan dua arah antara pengaruh luar dan dinamik dari dalam negeri sendiri.
Sebagai catatan selingan:
Secara “epistemologis”, saya memang kurang menggemari cara pandang yang melihat semua hal yang berlangsung di “dalam” negeri sebagai semata-mata “gaung” saja dari pengaruh “luar,” seolah-olah (sebut saja) “bangsa pribumi” tidak punya “agency,” kendali, dan otonomi dalam “menciptakan” sejarahnya sendiri. Setiap peristiwa
sejarah, di manapun, pastilah merupakan
hasil dari pertemuan
antara “kehendak subyektif” dan “kenyataan obyektif”
yang berdiri di luar sana. “Die Menschen machen ihre eigene Geschichte, aber sie machen sie nicht aus freien Stücken unter selbstgerählten,” kata Karl Marx. Manusia tentu bebas membikin sejarah mereka sendiri,
tetapi mereka tidak bisa membikin sejarah semaunya.
Ada keadaan di “dalam,”
dan ada situasi yang sudah ada di “sana,” di luar kontrol manusia. Keduanya saling berinteraksi. Saya kira kita bisa bersepakat dengan observasi Marx yang cukup obyektif ini.
Kembali kepada pokok soal tadi: munculnya kesadaran tentang pentingnya menegaskan identitas keislaman yang khas Indonesia/Melayu ini, antara lain melalui wacana tentang “Islam nusantara,” misalnya, jelas ada kaitannya dengan perkembangan dalam negeri kita sendiri, meskipun tidak bisa dipisahkan dari keadaan global. Banyak perkembangan domestik yang bisa disebut, tetapi salah satu yang penting adalah ini: munculnya kelompok-kelompok Islam baru, umumnya setelah era reformasi, di bawah pimpinan sosok-sosok “habaib” (tentu saja keturunan Arab). Mereka membawa pemahaman Islam yang cenderung “keras” dan kontradiktif dengan corak Islam yang sudah mapan dan mengakar di Indonesia. Corak Islam yang telah berkembang dan mengakar di Indonesia dipandang sebagai bentuk yang lebih mempribumi — mampu beradaptasi, bahkan berasimilasi dengan kebudayaan lokal. Islam semacam ini lebih “rooted,” menghunjam dalam di dalam pengalaman setempat, bukan Islam yang “dipaksakan” dari luar.
Munculnya kelompok-kelomok Islam “baru” yang cenderung keras itu dipandang sebagai “bentuk asing” yang tidak bersahabat dengan kultur lokal. Karena itu, ia cenderung dilihat sebagai “ancaman” atas Islam yang khas Indonesia. Polarisasi Islam Arab vs Islam non- Arab yang muncul dalam percakapan publik belakangan adalah gambaran saja dari perkembangan ini. Kehendak menegaskan “identitas setempat” kemudian menciptakan “yang lain” yang dipandang sebagai ancaman.
Bagian ini akan mencoba mengetengahkan tinjauan
kritis atas perkembangan tersebut, sambil mengingatkan bahwa apa yang disebut “Islam lokal” jelas tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih mendunia.
Saya hendak menegaskan
bahwa selokal-lokalnya Islam yang berkembang
di Indonesia, ia jelas menjadi bagian dari peradaban besar yang oleh Marshall Hodgson disebut “Islamicate.” Teks-teks Islam lokal yang ditulis dalam bahasa daerah oleh para ulama Islam nusantara
jelas tidak bisa dipisahkan dari teks-teks “besar”
yang berasal dari ulama Islam yang bekerja dalam ruang peradaban Arab. Contoh sederhana: Kitab pendek berjudul
Fasolatan, teks tuntutan salat dalam bahasa Jawa yang ditulis
oleh Kiai Asnawi Kudus, jelas memiliki “silsilah
intelektual” dan hubungan dengan “tradisi
tekstual” yang lebih besar. Tradisi ini tercermin
dalam kitab-kitab fikih berbahasa Arab yang diproduksi
di Timur Tengah oleh para ulama yang hidup pada masa formatif
atau klasik/skolastik Islam. Demikian pula, tafsir berbahasa
Jawa karya Kiai Bisri Mustofa Rembang berjudul
Al-Ibriz, jelas merupakan
bagian dari tradisi tafsir yang begitu panjang
yang dimulai oleh generasi al-Tabari, al-Razi, al-Zammakhshari,
al-Baidawi, al-Khazin, dll. Membaca tafsir Al-Azhar karya Hamka atau Al-Mishbah karya Quraish Shihab jelas tidak mungkin tanpa mengandikan tradisi tafsir yang panjang dalam peradaban Islam/Arab
sebelumnya. Teks “kecil” (jika boleh menggunakan istilah ini) tidak bisa bermakna
secara penuh tanpa dibaca dalam kaitannya dengan “teks besar.” Meskipun teks besar juga tidak bisa diterima secara penuh dalam konteks lokal yang beragam tanpa wasilah atau mediasi
teks-teks kecil yang diproduksi oleh para ulama di “tanah Jawa.” misalnya.
Silsilah dan konteks kosmopolitan semacam ini jelas penting dipertimbangkan dalam setiap kajian dan telaah tentang Islam nusantara. Saya melihat semacam kecenderungan untuk melupakan dimensi kosmopolitan ini dalam percakapan mengenai Islam nusantara dalam beberapa tahun terakhir. Kehendak mencari akar-akar di bumi sendiri membuat sebagian kalangan agak lupa bahwa tradisi yang berkembang di kawasan nusantara adalah bagian dari “tradisi besar” yang berasal dari dunia lain. Saya tak ingin percakapan tentang Islam nusantara atau Islam pribumi dilepaskan dari tradisi besar ini. Meskipun saya tahu bahwa pengalaman lokal harus menjadi fondasi penting dalam sistem berpikir Islam nusantara, tetapi pengalaman “tempatan” ini memiliki makna justru dalam dialog dan interaksinya dengan sebuah tradisi besar yang ada di luarnya. Sementara itu, tradisi besar itu juga diperkaya horison makna dan tafsirnya dalam “perbenturannya” dengan pengalaman-pengalaman lokal yang berasal dari pelbagai negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Kata kunci yang hendak saya pakai dalam tulisan ini adalah “pergulatan” dalam pengertian dialog, negosiasi, argumentasi-kontra-argumentasi, serta pengayaan-silang antara tradisi pengetahuan besar yang berasal dari “Islamicate” dan tradisi pengetahuan yang berasal dari pengalaman pribumi. Saya mengandaikan ada gerak wira-wiri antara teks Arab/Persia/Turki yang berasal dari “bumi Arab” dan teks-teks Melayu/Jawa/Sunda/Aceh/Madura/Sasak yang berasal dari “negeri-negeri bawah angin.” Dalam gerak wira-wiri ini corak pengetahuan “baru” akan muncul dan menjadi landasan kerja kesarjanaan dalam kerangka ide Islam nusantara itu.
Yang menarik, apa yang saya sebut dengan gerak wira-wiri itu, secara praktis, sudah dikerjakan oleh para ulama kita sejak dahulu. Abdurrauf Singkel (w. 1693), misalnya, menulis tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid dalam bahasa Melayu di abad ke-17. Arsyad al-Banjari (w. 1812) menulis kitab fikih berjudul Sabil al-Muhtadin di abad ke-19.
Sementara itu, Kiai Soleh Darat (w. 1903) menulis tafsir berbahasa Jawa Faid al-Rahman di ujung abad ke-19. Mereka ini sejatinya telah terlibat dalam dialog “wira-wiri” antara tradisi besar berbahasa Arab dan tradisi lokal yang beragam. Tentu saja patut diduga bahwa saat menuliskan karya-karya ini, para ulama itu tidaklah secara “eksplisit” berniat untuk melakukan (sebut saja) “vernakularisasi” atas tradisi besar dari tanah Arab, dan mencoba menegosiasikan antara dua tradisi itu. Sangat mungkin bahwa dorongan yang dominan pada mereka bukanlah “negosiasi” semacam ini, melainkan sekedar menerjemahkan, mengalih-bahasakan teks-teks besar dalam bahasa Arab ke dalam bahasa lokal untuk kebutuhan pendidikan orang-orang awam. Bagi mereka, kedudukan penting boleh jadi tetap diberikan kepada teks-teks berbahasa Arab tersebut. Teks-teks lokal yang mereka produksi itu tetap dipandang sebagai “teks sekunder.”
En toch demikian, kita tetap bisa mengatakan bahwa secara praktis para ulama itu telah terlibat dalam proses dialog antara tradisi
besar dari Arab dan konteks lokal yang berada di kawasan nusantara. Hanya saja, fakta-fakta semacam ini, dalam pandangan saya, belum dikonseptualisasikan sebagai kerangka analisis
dalam telah tentang Islam nusantara. Teks-teks nusantara, dalam kajian-kajian yang berwatak filologis,
misalnya,
masih ditempatkan sebagai “unit tekstual” yang berdiri sendiri, dan kurang digali aspek “intertekstualitas” dan keterhubungannya dengan teks-teks “Islamicate.” Baik teks yang diproduksi oleh ulama di Timur Tengah atau ulama yang ada di kawasan-kawasan di luarnya terikat dalam “hubungan kekeluargaan” yang saling berkait-berkelindan. Tradisi pengetahuan yang diproduksi oleh para ulama lokal juga terikat oleh jaringan kekeluargaan dengan tradisi pengetahuan yang lebih luas yang berkembang melintasi Laut Jawa, Hindia, hingga ke Jazirah Arab dan kawasan “Islamicate” yang lain.
Azyumardi Azra sudah menunjukkan dengan amat baik fenomena “kejejaringan” semacam ini dalam karyanya yang sudah menjadi classic tentang jaringan ulama nusantara di abad ke-17 dan 18. Meskipun ia menggarap tema ini dalam konteks lain, yaitu transmisi gagasan reformisme. Saya hendak mendorong agar konsep kejejaringan ini dikembangkan lebih jauh lagi di luar tema yang menjadi perhatian Azra. Dalam cara yang berbeda, Saiful Umam, seorang sarjana dari UIN Jakarta yang menulis disertasi khusus mengenai karya-karya Kiai Soleh Darat, juga menunjukkan fenomena serupa. Ia menggambarkan proses penulisan teks Jawa ala Kiai Soleh ini sebagai “localizing Islamic orthodoxy,” suatu proses penerjemahan Islam ortodoks dalam konteks Jawa di abad
ke-19. Yang menarik, fakta tentang kejejaringan ini telah dieloborasi (walau masih dalam bentuk yang sangat awal) oleh Gus Dur dalam tulisannya di jurnal Pesantren dalam nomor perdana yang terbit pada 1984. Tulisan itu bertitel “Asal-Usul Tradisi Keilmuan Pesantren.” Di sana, Gus Dur mencoba menggambarkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama adalah “gelombang pengislaman” dalam pengertian luas, yaitu proses diperkenalkannya Islam sebagai sebuah akidah dan kepercayaan kepada penduduk pribumi. Yang kedua adalah “gelombang pengilmuan,” yaitu Islam yang dikenalkan dalam perkembangan belakangan bukan sekedar sebagai kepercayaan dan akidah, tetapi juga sebagai “tradisi pengetahuan.”
Tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren, dalam pandangan Gus Dur, menjadi bagian dari fenomena gelombang kedua tersebut. Ini terjadi pada saat para “santri” dari negeri di bawah angin, yaitu Tanah Jawi, mulai menempuh pendidikan di pusat-pusat keilmuan di Timur Tengah, terutama Mekah, Madinah, dan Kairo. Gelombang kedua inilah yang mengenalkan apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai “fiqh sufistik” yang bersumber dari ajaran al-Ghazali, terutama dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din. Fiqh sufistik ini kemudian dilanjutkan dengan “corak” fiqh lain yang lebih “ortodoks” dan cenderung formalistik.
Oleh Gus Dur, corak ini digambarkan sebagai “cakrawala baru” yang mulai muncul di horison nusantara sejak dibukanya kapitalisme perkebunan di Hindia Belanda oleh pemerintah koloniah Belanda pada abad ke-19. Kapitalisme perkebunan ini melahirkan “ekonomi uang” yang memungkinkan sebagian kelas menengah pribumi, terutama di daerah perkebunan di Sumatera, untuk mengirim anak-anak mereka ke haramain.
Generasi
Kiai Mahfudz Termas (w. 1920), misalnya, adalah bagian dari generasi ulama yang tumbuh dalam tradisi “cakrawala baru” sebagaimana digambarkan oleh Gus Dur itu.
Gelombang pengilmuan ini, bagi saya, merupakan fase yang amat penting dalam proses pembentukan tradisi pengetahuan Islam lokal di kawasan nusantara. Hanya saja, proses “pengilmuan” ini, sejauh ini, belum pernah dilihat secara mendalam dan dikonseptualisasikan sebagai suatu alat analisis tersendiri. Sejauh ini, kita telah akrab dengan apa yang disebut sebagai “islamisasi” kawasan nusantara sebagaimana kita baca dalam riset-riset M.C. Ricklefs. Tetapi riset yang tak kalah penting masih menunggu untuk dijelajahi, yaitu proses pengilmuan nusantara. Dengan kata lain, kita masih belum dengan sungguh-sungguh menganalsis proses terbentuknya “the Islamic intellectual tradition” dan bagaimana tradisi ini menyebar ke seluruh kawasan nusantara. Riset dalam tema ini sudah dikerjakan oleh sejumlah sarjana, tetapi masih terbatas. Apa yang disebut sebagai sejarah ide sebagaimana dikenal dalam tradisi akademis Barat, dalam pandangan saya (boleh jadi saya keliru!), agak kurang dikembangkan dalam menelaah formasi intelektual Islam di tanah nusantara. Islam hadir di nusantara bukan sekadar dalam bentuk akidah, ekspresi kultural tertentu, melainkan juga dalam bentuk tradisi pengetahuan. Sangat menarik bahwa ormas besar Islam di Indonesia yang lahir di paroh pertama abad ke-20 menyebut dirinya Nahdlatul Ulama, “kebangkitan ulama.” Ini jelas menggambarkan suatu komunitas dengan tradisi keilmuan tertentu yang amat kuat. Tradisi ini jelas memiliki hubungan kekeluargaan yang rapat dengan tradisi pengetahuan di “negeri atas angin,” alias di kawasan Arab. Dengan kata lain, di sini kita melihat kejejaringan dan fenomena kosmopolitanisme.
IV
Mungkin ada sedikit manfaatnya jika dilakukan sedikit telaah atas kata “kosmopolitanisme” itu sendiri. Secara umum, sebagaimana digambarkan dalam sebuah entri di Stanford Enclopedia of Philosophy, kosmapolitanisme adalah “the idea that all human beings, regardless of their political affiliation, are (or can and should be) citizens in a single community” — gagasan bahwa manusia, apapun afiliasi politiknya dan di manapun mereka tinggal, adalah bagian dari “masyarakat yang satu.” Martha Nussbaum, seorang filsuf Amerika, dalam nada yang kurang lebih serupa, mendefinisikan kosmopolitanisme sebagai sikap moral tercerahkan yang mendahulukan “cinta kemanusiaan” di atas “cinta tanah air.” Dengan kata lain, seorang kosmopolitan, dalam wawasan Nussbaumian ini, ialah mereka yang mendahulukan sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” di atas sila “persatuan Indonesia.” Dalam hal ini, urut-urutan Pancasila sebagaimana kita kenal selama ini sudah berwatak kosmopolitan.
Tetapi ide lain yang jauh lebih menarik, menurut saya, dikemukakan oleh
filsuf asal Selandia Baru, Jeremy
Waldron. Ia melihat kosmopolitanisme sebagai hal yang berhubungan dengan “hybridity” (kecampur-adukan) dan “fluidity” (kemencairan). Dalam pandangan Waldron, karakter dasar diri manusia cenderung “retak” (fractured) dan “terbelah” (riven). Karakter ini juga tercermin
dalam diri-bangsa secara umum. Apa yang disebut
“bangsa,” dalam pandangan
Waldron, bukanlah entitas yang memiliki
aspirasi yang “solid,” dan sepenuhnya
terarah “ke dalam” — aspirasi yang beroperasi
dalam
sebuah ruang sosial bernama “patria” atau tanah air. Setiap bangsa memiliki dua aspirasi sekaligus dan karena itu cenderung terbelah: aspirasi “ke dalam,” dan ini ditandai dengan momen ketika seseorang menyanyikan lagu kebangsaan; aspirasi kedua terarah “ke luar” untuk menjalin hubungan “kemanusiaan” dengan bangsa-bangsa lain. Aspirasi ini tergambar dalam momen ketika seseorang menonton pertandingan sepak bola di negeri lain, misalnya. Dua aspirasi inilah yang membuat setiap warga negara tidak bisa dipaksa hanya mencintai tanah air sendiri saja, karena ia juga hendak “mengulurkan tangan” untuk mengenal tanah-tanah air yang lain. Aspirasi kedua inilah yang biasa kita sebut kosmopolitanisme.
Tetapi bagaimana kita bisa berbicara tentang kosmopolitanisme pada era Kiai Mahfudz Termas atau Syekh Nawari al-Bantani, atau malahan lebih awal lagi di era Abdurrauf Singkel atau Hamzah Fansuri, ketika batas-batas nasional dalam ranah “nation state” belum terbentuk? Bagaimana kosmopolitanisme mesti dikonseptualisasikan pada era pra-patria, zaman ketika konsep “patria”/“wathan”/tanah air dalam pengertian yang sempit belum dikenal?
Di sini, saya akan mencoba menggunakan konsep “connections” atau “hubungan- hubungan” yang dipakai oleh Michael Feener untuk menganalisis wilayah “Islamicate” yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Dalam bukunya yang ia edit bersama Terenjit Sevea, Muslim Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia (2009), ia menggunakan konsep “koneksi” atau hubungan di mana Islam sebagaimana berkembang di Asia Selatan dan Asia Tenggara terhubung dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Hubungan ini berlangsung bukan melalui proses “difusi,” di mana Islam “menyebar” dari pusat ke pinggiran secara sepihak, tetapi melalui sebuah “koneksi.” Dalam koneksi ini varian-varian Islam yang kompleks dan berkembang di tingkat lokal terhubung bukan saja dengan “pusat” di negeri Arab, melainkan juga saling terhubung satu dengan yang lain secara “multi-directional.” Istilah “koneksi,” dan bukan “difusi,” saya kira cukup baik dan relatif tepat menggambarkan model hubungan antara Islam yang berkembang di pelbagai lokasi dan kawasan. Dengan demikian, apa yang disebut dengan “sejarah Islam” yang berkembang di kawasan “pinggiran” ini bukanlah sejarah yang saling terpisah satu dari yang lain, melainkan (memakai istilah Daud Ali) “connected histories,” sejarah-sejarah yang saling terhubung. Konsep koneksi, sebagaimana dipahami oleh Feener, memang sengaja dipakai untuk menghindari adanya kesan “pusat,” entah di Arab atau di luarnya. Koneksi lebih mengungkapkan pengertian yang “inklusif,” mencakup pelbagai wilayah di mana kawasan yang satu dan yang lainnya saling terhubung bukan melalui “kaitan yang hirarkis,” melainkan hubungan-hubungan yang sejajar.
Saya kira, istilah
kosmopolitanisme bisa dipahami
dalam pengertian koneksi
semacam ini. Kosmopolitanisme, dengan demikian, adalah kesadaran pada masyarakat Islam yang hidup di pelbagai
wilayah bahwa mereka terikat satu dengan yang lain dalam hubungan- hubungan
kompleks yang melintasi
batas-batas tempatan. Hubungan
ini tidak saja bersifat doktrinal
atau teologis, yakni sebagai bagian dari “the community
of believers”
yang disebut “umat,” melainkan, dan lebih-lebih lagi hubungan yang bersifat kebudayaan, keilmuan, sosial, ekonomi, politik, dll. Bahkan hubungan-hubungan yang non-doktrinal ini kerapkali memiliki kedudukan yang lebih penting karena karakternya yang cenderung “visceral,” masuk ke dalam perasaan yang paling dalam.
Apa yang disebut koneksi ini juga difasilitas oleh adanya kaitan-kaitan pada tingkat yang lebih “intelektual” dalam bentuk penyebaran tradisi pengetahuan sebagaimana dielaborasi oleh Gus Dur dalam artikelnya di atas. Di sini, mungkin ada baiknya jika kita telaah sebuah konsep yang dipakai oleh Ronit Ricci, sarjana Israel yang mengajar di Hebrew University, Yerusalem; yaitu apa yang ia sebut “Arabic comopolis.” Ricci memakai istilah ini dalam bukunya, Islam Translated (2011), untuk mendeskripsikan “koneksi” kultural dan kesejarahan yang berlangsung melalui penerjemahan sebuah teks dalam bahasa Arab berjudul Kitab Masa’il Sayyidi Abdillah ibn Salam li al-Nabi. Abdullah ibn Salam adalah tokoh Yahudi dari daerah Khaibar (sebuah kawasan di luar Madinah). Kisah masuk Islamnya sosok ini menjadi “legenda” populer di banyak negara. Ia diingat melalui berbagai tuturan dan kisah-kisah yang memikat. Kisah inilah yang direkam dalam risalah Kitab Masa’il tersebut. Teks ini kemudian membentuk semacam “semesta kisah” tersendiri yang berkembang di Jawa, Melayu, dan Srilangka. Melalui teks sederhana ini, Ricci melihat bagaimana Islam sebagai sebuah kebudayaan berkembang di pelbagai kawasan dan bagaimana kawasan-kawasan yang beragam ini terhubung satu dengan yang lain melalui “koneksi tekstual” yang ia sebut “Arabic cosmopolis” itu.
Jika kosmopolitanisme adalah hubungan dalam ranah yang lebih luas, “Arabic cosmopolis” adalah semacam semesta kebudayaan yang ditandai dengan peminjaman istilah dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Hubungan ini kemudian membentuk persilangan antara budaya dari “luar” dan budaya setempat. Fenomena “Arabic cosmopolis” bisa kita lihat secara gamblang dalam penetrasi istilah-istilah Arab yang berasal dari “pusat” di Timur Tengah ke dalam bahasa-bahasa lokal di semua kawasan yang memiliki penduduk Muslim, entah di nusantara atau kawasan lain. Kawasan- kawasan ini terhubung satu dengan yang lain melalui pengalaman bersama dalam sebuah “semesta kebahasaan.” Sekali lagi, di sini kita melihat gejala kosmopolitanisme dalam bentuknya yang paling gamblang.
Mengambil kembali
contoh teks tuntutan
salat berbahasa Jawa yang ditulis
oleh Kiai Asnawi Kudus, di sini kita akan bisa melihat sebuah “koneksi” antara teks yang lahir di Jawa dengan teks-teks dalam tema serupa di kawasan-kawasan lain di dunia Islam. Yang menghubungkan
semuanya bukan saja kesamaan iman, melainkan tradisi literer yang dibentuk
oleh teks-teks fikih bermazhab Syafi’i dan ditulis dalam bahasa Arab. Teks tafsir berbahasa
Jawa karya Kiai Bisri Mustofa,
Al-Ibriz, juga mewakili gejala “kosmopolitanisme” serupa. Meskipun ia adalah tafsir yang ditulis di pesisi utara-timur Jawa, di Rembang,
pada paroh kedua abad ke-20, ia terhubung
dalam “Arabic cosmopolis” dengan teks-teks tafsir berbahasa Arab yang ditulis oleh penafsir
lain seperti seperti
al-Razi, al-Baidawi, dan al-Khazin, sebagaimana bisa kita baca dalam mukadimah
tafsir itu. Demikian pula tafsir berbahasa Jawa karya Kiai Soleh Darat, Faid al-Rahman: ia juga terikat dalam “koneksi tekstual” serupa dengan tafsir mistikal (isyari) yang ditulis oleh Imam Ghazali. Sarjana lain, Mahmood Kooria, melihat fenomena serupa dalam literatur fikih yang berkembang di Asia Selatan. Teks-teks kitab fiqh yang berkembang di kawasan ini saling terhubung dengan teks-teks lain di kawasan Timur Tengah melalui apa yang ia sebut dengan “cosmpolis of law.” Riset-riset dalam kerangka Islam nusantara, menurut saya, perlu diarahkan ke sini: ke suatu “cosmopolis” dalam bentuknya yang beragam, yang menghubungkan sejumlah kawasan-kawasan Islam melalui sebuah “koneksi.”
Meskipun, bagi saya, sekedar menunjukkan adanya koneksi saja kuranglah memadai. Koneksi dan jaringan-jaringan kosmopolitanisme ini hanyalah “gerbang pembuka” saja. Setelah itu, haruslah ada usaha untuk memperlihatkan bagaimana kosmopolitanisme ini memfasilitasi proses negosiasi antara teks besar dan teks kecil, bagaimana sebuah teks dari kawasan lain diterima dan dikembangkan lebih lanjut, dan dalam konteks apa proses pengembangan-lebih-lanjut atau reproduksi itu terjadi. Istilah “ortodoksi” yang dipakai oleh Saiful Umam, dengan demikian, menjadi bermasalah. Sebab, apa yang disebut ortodoksi mengandaikan adanya “status otoritatif” yang dilekatkan pada gagasan, doktrin, atau teks tertentu. Dengan adanya proses reproduksi ini, gagasan tentang ortodoksi mengalami resistensi, walaupun dalam bentuknya yang paling lembut sekalipun. Yang perlu kita lihat adalah: bagaimana resistensi ini dilegitimasi oleh para ulama lokal; apa dasar-dasar tekstual dan normatif yang mereka pakai, dst. Fakta-fakta seperti ini akan memperlihatkan kepada kita semua bahwa apa yang disebut Islam nusantara adalah realitas yang bagi saya amat menarik justru karena memiliki sifat “fluidity” sebagaimana digambarkan Waldron. Islam nusantara adalah “cosmopolis” tersendiri yang terhubung dengan “cosmopolis” yang lain dalam sebuah ruang peradaban yang oleh Hodgson disebut “Islamicate” itu.
V
Bagian terakhir ini akan menyorot aspek pinggiran dalam diskursus Islam nusantara, tetapi layak diungkap
ke permukaan. Aspek ini berkaitan
dengan semacam perasaan
“kurang senang” dengan apa yang disebut Arab. Walau tidak dinyatakan secara terbuka, tetapi perasaan ini bisa kita rasakan dan bahkan baca “between the lines.” Di satu pihak, saya menyambut
baik munculnya kesadaran
tentang identitas Islam yang khas Indonesia. Tetapi di pihak lain, saya agak kurang “sreg” dengan sentimen yang cenderung anti-Arab
yang tampaknya merupakan
ekses dari bangkitnya kesadaran semacam itu. Saya menyambut
positif yang pertama,
seraya kurang menyetujui yang kedua. Sentimen
anti- Arab jelas bukanlah
perasaan yang sehat. Sebab, hal ini tak lain adalah sebentuk prasangka
sosial yang “derisive,” merendahkan kelompok lain. Ini adalah bentuk dari sikap “otherizing,” melainkan
yang-lain yang pernah dikritik keras oleh intelektual besar asal Palestina, Edward Said, dalam karyanya yang masyhur, “Orientalism.”
Bangkitnya kesadaran tentang identitas Islam yang khas Indonesia, bagi saya, perlu disambut dengan baik sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, ada kecenderungan selama ini untuk melihat Islam yang “murni” adalah Islam sebagaimana hadir dalam “bungkus” kebudayaan Arab. Bentuk-bentuk Islam yang lain dianggap kurang “murni,” tidak otentik, dan karena itu dipandang “less Islamic.” Praktek-praktek Islam yang ada di dan khas Indonesia dianggap kurang sesuai dengan ajaran ortodoks Islam. Lebih jauh lagi ada asumsi “tersembunyi” bahwa Islam yang layak “diamati” dan diperhartikan ya hanya Islam yang ada di Timur Tengah. Islam yang ada di kawasan nusantara adalah “Islam pinggiran” yang secara ontologis memiliki kedudukan yang lebih “rendah.” Pandangan semacam ini bahkan juga ada di kalangan sarjana Barat yang mengkaji Islam (biasa disebut sebagai “Islamisis”). Hingga sekarang ini, masih sulit kita jumpai pusat kajian tentang ekspresi Islam di kawasan nusantara di dunia akademi di Barat; kalau pun ada, jumlahnya masih kalah jauh dibandingkan dengan pusat-pusat kajian yang mengkaji corak Islam di dunia Arab. Departemen yang mengkaji pokok ini biasa disebut NELC, Near Eastern Languages and Civilizations.
Di dunia Arab, pusat kajian semacam ini nyaris nihil, seolah-olah di mata sarjana Arab, Islam yang ada di Indonesia dianggap “non-existent,” tidak ada sama sekali. Saya sebenarnya memendam kejengkelan yang mendalam atas absennnya perhatian pada corak Islam yang berkembang di Indonesia atau Asia Tenggara di kalangan para sarjana Arab ini. Bagi saya, ini menandakan adanya “problem epistemologis” dalam praktek keilmuan dan kesarjanaan mereka. Sementara sarjana Muslim Indonesia sangat bersemangat mengkaji Islam Arab, perhatian serupa tak ada dari pihak sarjana-sarjana Timur Tengah. Tidak ada minat yang resiprokal; ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan!
Hadirnya wacana Islam nusantara, bagi saya, memiliki kedudukan penting dari aspek penegasan “agency,” kemandirian umat Islam yang hidup di luar “ruang pengalaman” non-Arab untuk mendefinisikan keislaman mereka sendiri. Selama ini, pengalaman semacam ini cenderung dinihilkan, atau diremehkan. Kesadaran tentang identitas Islam yang khas Indonesia (atau Asia Tenggara) adalah semacam manifesto: bahwa ada lho corak Islam yang lain. Dan yang lebih penting lagi adalah kesadaran bahwa corak Islam yang demikian itu juga tidak kalah validnya dengan corak Islam di negeri asalnya sendiri. Munculnya penolakan keras atas apa yang disebut “ideologi Islam trans-nasional” yang digaungkan oleh intelektual nahdliyyin dan lain-lain dalam sepuluh terakhir, bagi saya, adalah ungkapan saja dari sebuah aspirasi: bahwa Islam yang berasal dari pengalaman “pribumi,” setempat adalah valid, sah.
Tetapi, segala sesuatu
cenderung memiliki ekses.
Ini kecenderungan yang saya pandang
alamiah dan manusiawi; tetapi, karena mengandung bahaya, tetap harus dikritik. Ekses itu ialah munculnya semacam “rasisme tersembunyi” terhadap bangsa Arab dan segala ekspresi kultural yang berwarna Arab. Saya kira,
salah satu sebabnya adalah ini:
wacana
Islam lokal ini hadir ke tengah-tengah publik sebagai bagian dari kontestasi politik, sebagai (sebut saja) salah satu “kubu” dalam pertarungan antara apa yang disebut “kubu kebhinnekaan” dan “kubu pro-Pancasila.” Dalam hal ini, kita menyaksikan betapa toksik dan beracunnya politik elektoral dalam membentuk opini publik. Menurut saya, ini racun yang harus segera dihentikan dan dicari antidote-nya. Saya setuju dengan hadirnya wacana Islam dengan warna budaya lokal, tetapi saya tidak bisa mengamini sentimen anti-Arab yang menyertainya. Saya mulai melihat, sentimen ini muncul ke tengah-tengah percakapan publik, baik dalam konteks yang populer di media sosial atau yang serius di dunia akademia. Sentimen semacam ini jelas sangat tidak sehat.
Menarik garis demarkasi yang terlalu tegas antara “Islam domestik” dan “Islam impor” sebagaimana kita baca dalam seloroh-seloroh populer, harus dipandang dengan sikap kritis. Mula-mula garis ini dibuat dengan niat yang boleh jadi valid: untuk menegaskan validitas identitas Islam lokal. Tetapi jika penggarisan ini melewati batas, lalu menimbulkan sentimen negatif untuk melakukan “demonisasi,” penghantuan atas segala hal yang berasal dari “luar” (Islam atau agama impor, misalnya), jelas berbahaya.
Bagaimanapun, Islam, baik sebagai doktrin atau peradaban, tidak bisa dipisahkan dari pengalaman panjang yang berkembang di tanah Arab dan sekitarnya. Peradaban literer atau susastra dalam bentuknya yang luas, termasuk buku-buku fiqh yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga Islam di seluruh tanah nusantara, berasal dari dan ditulis oleh sarjana-sarjana besar dari Arab (juga Persia). Suka atau tidak suka, apa yang disebut “lapisan-lapisan geologis” (meminjam istilah sejarawan besar Perancis, Denys Lombard) dalam peradaban nusantara untuk sebagian dibentuk oleh peradaban tekstual yang berasal dari tanah Arab. Peradaban nusantara adalah sebuah “cosmopolis” yang terikat dengan sejumlah “cosmopolis” lain di berbagai belahan lain dalam dunia Islam. Tradisi tekstual yang berasal dari Timur Tengah ini telah memfasilitasi munculnya “Arabic cosmopolis” di mana kawasan nusantara menjadi salah unit penting di dalamnya. Tradisi yang berasal dari Timur Tengah itu juga telah memperkaya tekstur peradaban di tanah nusantara.
Sekali lagi, menegaskan identitas Islam setempat patut disambut dengan baik. Tetapi penegasan identitas yang dibarangi dengan sikap anti-Arab jelas tidak sehat. Seluruh percakapan dan argumentasi keislaman yang dipakai dalam menjustifikasi hadirnya Islam lokal ini memakai kitab-kitab dan literatur yang berasal dari peradaban Islam yang berkembang di Timur Tengah. Bahkan argumen untuk menerima eksistensi negara Indonesia sebagai “dar al-salam/dar al-‘ahd,” negara damai yang tidak mengenal pembedaan antara warga muslim dan non-muslim, juga hampir semuanya bersumber pada literatur yang ditulis oleh sarjana Arab. Jadi amat ironis jika identitas keislaman lokal ini ditegakkan sambil mencibir kearaban.***
1 Saya sengaja tidak menaruh rujukan dalam catatan kaki. Seluruh buku dan artikel yang saya rujuk dalam tulisan ini saya selipkan di tengah-tengah teks utama, sehingga dia menjadi bagian dari “narasi” dalam tulisan. Saya sengaja melakukan ini agar “flow” tulisan ini terjaga, tanpa harus “diinterupsi” oleh catatan kaki yang bisa agak mengganggu.
Jatibening, 20/6/2021