Menurut Tedi Permadi, naskah Hikayat Banjar dapat dikelompokkan dalam dua kategori: naskah koleksi Indonesia dan koleksi Eropa. Semua naskah koleksi Eropa banyak ditemukan di Leiden dan merupakan salinan dari naskah Indonesia. Sedangkan naskah Indonesia rata-rata masih asli dan tersimpan di Jakarta.
Van Ronkell, sebagaimana dikutip Tedi, memaparkan naskah koleksi Jakarta ke dalam tujuh jenis yaitu : (1) Bat. Gen. 2 (terdapat dalam katalog Van Ronkell no. CCCXLVI); terdiri dari 513 halaman dengan 9 baris per halaman, bagian akhir tertulis daftar raja-raja, tertanggal 19 November 1828; (2) Bat. Gen. 38 (CCCXLVII); terdiri dari 72 halaman dengan 30 baris perhalaman. Dalam naskah ini banyak kata-kata berbahasa Jawa, naskah ini tidak lengkap; (3) Bat. Gen. 48 (CCCXLVIII); 169 halaman; per halaman terdapat 42 baris. Banyak ditemui kata berbahasa Jawa dan ditulis dalam huruf latin; (4) Bat. Gen. 124 (CCCXLIX); 170 halaman; tertanggal 1229 H (1913 M), kondisi naskah rusak; (5) Bat. Gen. 157 (CCCL); ada 156 halaman dengan jumlah baris 20 sampai 23 per halaman; (6) Bat. Gen. 218 (CCCLI); terdiri dari 186 halaman. Naskah ini disalin dengan menggunakan bahasa Melayu; (7) Collection v.d.W.200 (CCCLII); terdiri dari 266 halaman dengan jumlah baris 13 per halaman dan 8. Bat. Gen. 44 (CCCLIII); 32 X 20 cm; terdiri dari 51 halaman dengan jumlah baris perhalaman 18 baris. Naskah berisi ringkasan cerita.
Sedangkan naskah Hikayat Banjar koleksi Eropa ditemukan di University Library Leiden, Library of The Royal Institute of Linguistics And Anthropology, Leiden; Koleksi pribadi Prof. G.F. Pijper, koleksi Prof. A.A. Censer. Di Jerman naskah ini ditemukan Universitas Bibliothek, Tubigen. Dan di Inggris Raya naskah Hikayat Banjar ditemukan di British Museum, London dan di Jhon Rylands Library, Manchester.
Seorang filolog Belanda Hans Ras, melakukan telaah Hikayat Banjar dengan melacak konteks sejarah, budaya dan kesusasteraan. Penelitian Ras ini diterbitkan tahun 1968 dan diterjemahkan dalam bahasa Malaysia oleh siti Hawa Saleh pada tahun 1990. Dalam buku ini disebutkan, menurut alur kisahnya Hikayat Banjar secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Hikayat Banjar Resensi I dan Hikayat Banjar resensi II. Hikayat Banjar resensi I berisi episode kisah keturunan raja-raja Banjar dan Kotawaringin yaitu cerita Kraton I (Negara Dipa), Kraton II (Negara Daha), Kraton III (Banjarmasin) dan Kraton IV (Martapura). Hikayat Banjar resensi II berisi kisah periode Sejarah Lambung Mangkurat dan tutur candi (Ras, 1968: 20-53)
Data-data ini menunjukkan beberapa versi naskah Hikayat Banjar. Selain wujud fisik, keberagaman naskah Hikayat Banjar ini juga terjadi dalam penggunaan huruf, ada yang menggunakan huruf Arab, ada yang latin, meski versi babonnya menggunakan huruf Arab pegon.. Banyaknya versi ini juga mencerminkan naskah Hikayat Banjar banyak menarik perhatian para peneliti untuk dikaji karena dianggap penting sehingga mereka menyalin naskah tersebut agar banyak dibaca publik.
Dari segi gaya penulisan, naskah ini berbentuk prosa, sedangkan dari segi isi, naskah ini lebih banyak berkisah tentang sejarah. Dengan demikian, naskah ini dapat digolongkan sebagai sastra sejarah. Meski demikian banyak nasehat kehidupan (pitutur luhur) dan kata-kata hikmah yang tertuang dalam naskah ini. Dengan demikian naskah ini juga menceminkan falsafah hidup masyarakat pada zamannya.
Dalam naskah ini dipaparkan asal usul dan sejarah berdirinya kerajaan di Kalimantan dan proses Islamisasi yang terjadi di Banjar. Berdirinya kerajaan dimulai dari perintah Saudagar Mangkubumi kepaada anaknya, Empu Jatmiko: Adapun lamun kamu hendak berdiam pada tempat lain dari sini, cari tanah itu maka tabuk kira-kira sapancaluk di tengah malam itu. Ambil sekepal tanah itu, lamun rasanya hangat serta bau harum itu, baik tempat berdiam, banyak berkatnya pada bumi itu, barang ditanam menjadi, penyakit pun jauh, orang dagang banyak datang, seteru pun jauh, sukar ia mengira-ngirakan menyerang, berkat tuah tanah itu, banyak makmur sedikit yang sukar. Adapun tanah itu baunya harum tetapi dingin, kurang berkat tanah itu, sama jahat sama timbang dengan baiknya itu. Manakala tanah hangat tiada harum baunya, banyak jahat sedikit baiknya. Manakala tanah itu dingin, baunya busuk atau bangar, tanah itu celaka, tiada baiknya itu, jikalau tempat diam itu sejari talawa beroleh kebinasaan, jikalau tempat bertanam-tanam barang sesuatu tiada menjadi (Ras, 1968: 230 dan 232).
Perjalanan Empu Jatmiko dalam mencari tanah yang akan didirikan sebagai pusat kerajaan ini mencerminkan adanya laku spiritual dan pengetahuan mengenai kondisi alam. Dapat dikatakan ini merupakan proses survei lokasi untuk membangun suatu negeri. Disebutkan dalam teks Turut Candi alenia ke-113, Empu Jatmiko mulai membangun negeri baru setelah menemukan lokasi tanah sesuai pentujuk Saudagar Mangkubumi yaitu tanah panas berbau harum. Setelah lokasi itu ditemukan Empu Jatmiko segera membabat hutan, mendirikan hunian sehingga berdiri kerajaan. “Maka Sekalian itu jadilah semuanya segala tempat kadang kadian dan hamba sahayanya” (Saleh, 1986; 40).
Berbagai jenis tanah merupakan simbol fari falsafah hidup dalam berhubangan dengan alam. Manusia diperintahkan untuk peka dan peduli pada alam agar dapat membaca tanda-tanda yang diberikan oleh alam. Karena pada dasarnya alam akan memberikan tanda-tanda kepada manusia dan hanya manusia yang memiliki kepakaan rasa terhadap alam yang dapat membaca tanda-tanda tersebut.
Naskah ini juga menjelaskan relasi sosial politik antara Jawa dengan Negara Dipa. Relasi Jawa dan Banjar ini tercermin dalam kisah perkawinan Putri Junjung Buih dengan Raden Putra alias Raden Suria Nata putra raja Majapahit atas prakarsa Lambung Mangkrat yang menjadi penasehat raja. Pernikahan ini terjadi karena Lambung Mangkurat tidak setuju kalau Putri Junjung Buih dinikahi oleh keponakannya sendiri yang bernama Bambang Sutamarga dan adiknya yang bernama Bambang Patmarga. Kedianya putra dari Ampu Mandastana. Terjadilah intrik politik yang dilakukan Lambung Mangkurat hingga kedua putra Ampu Mandastana terbunuh (Rosyadi dkk, 1993; 145-146). Setelah itu Lambung Mangkurat menjodohkan Putri Junjung Buih dengan putra raja Majapahit, sehingga terjadi relasi kekuasaan yang makin kuat antara Jawa dengan Banjar.
Hubungan Jawa dan Banjar ini terus berlangsung saat kerajaan Demak berdiri. Intrik politik di negeri yang ada di kawaasan Kalimantan (Dipa, Daha dan Banjar). makin tinggi dan rumit. Hubungan antara Dipa dan Demak mulai terbentuk ketika terjadi konflik antara Pangeran Samodra yang diangkat menjadi Raja Banjar dengan Pangeran Tomanggong, Raja Daha yang tidak setuju atas pengangkatan Pangeran Samodra menjadi raja Banjar. Hingga terjadi konflik antar keduanya. Menghadapi pasukan Tomanggong dari Daha, Pangeran Samodra meminta bantuan ke Demak. Sultan Demak bersedia membantu dengan syarat Pangeran Samodra dan rakyat negara Banjar bersedia masuk Islam (Rosyadi dkk., 1993;152). Sejak saat itu terjadi proses ilamisasi di Kalimantan Selatan.
Naskah ini juga dapat dijadikan pijakan untuk melacak genealogi sosial masyarakat Banjar. Penggunaan bahasa Melayu dalam naskah ini menunjukkan tentang keberadaan bangsa Melayu di Kalimantan. Menurut M. Idwar Saleh (1978; 16) Kerajaan Tanjung Puri yang disebut dalam naskah Hikayat Banjar merupakan pusat koloni orang Melayu dari Sriwijaya. Mereka berdagang sampai ke Banjar dengan membawa bahasa dan kebudayaan Melayu. Dengan mencermati nama-nama tempat, nama tokoh dan istilah-istilah yang ada dalam dalam ini, akan terlihat adanya interaksi yang kuat antara Jawa, Melayu dan Dayak.
Meski naskah ini hanya berupa naskah sastra dengan bumbu mistik yang tidak dapat dijadikan sebagai pijakan akademik, namun dari naskah ini kita dapat melihat konstruksi nilai dan falsafah hidup masyarakat Banjar dan Kalimantan Selatan pada umumnya. Karya sastra tidak semata-mata fiksi yang menonjolkan nilai estetik dan dramatik, sastra adalah cermin atau potret realitas sosial. Unsur penting dalam realitas sosial akan terlihat dalam karya sastra (Teeuw, 1984; 224). Hal senada juga disampaikan Umar Yunus yang menyatakan karya sastra mampu menampilkan gambaran kehidupan masyarakat pada kurun waktu dan situasi tertentu. Karya sastra mengandung unsur penting dalam realitas sosial yang dilukiskan. Dengan demikian realitas sosial suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu dapat terlihat dalam karya Sastra (Umar Yunus, 1983; 57)
Mengacu pada pendapat Teeuw dan Yunus, maka Hikayat Banjar dapat dijadikan pijakan awal untuk melihat konstruksi sosial politik, nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat Banjar. Selain itu naskah ini juga dapat menjadi petunjuk untuk melacak jejak sejarah beberapa kerajaan yang ada di Kalimantan. Inilah makna penting dari mengkaji dan meneliti naskah Hikayat Banjar.****