Serat Jayengboyo adalah salah satu karya pujangga Jawa R. Ng. Ronggowarsito. Naskah ini ditulis saat Ronggowarsito masih berusia 20 tahun, dan merupakan karya pertama sang pujangga. Ditulis selama 8 tahun, dari tahun 1822 sampai 1830, ketika menjabat sebagai Mantri Carik Kadipaten Anom dengan nama samaran Mas Ngabehi Surantaka. Ada 250 bait yang tertulis dalam naskah ini.
Menurut L. Mardiwarsito (1988; 8-9) ada empat versi naskah serat Jayengboyo; pertama, versi Darusaprapto. Naskah versi ini merupakan alih aksara dari aksara Jawa ke latin. Terbit tahun 1973 atas prakarsa R.M. Ng. Purbacaraka. Menurut keterangan sang pengalih aksara, naskah versi ini masih kurang dua bait. Mardiwarsito menemukan bait yang kurang dalam naskah naskah versi Banusaputri ini adalah bait 158 dan 213. Kedua, serat Jayengbaya versi salinan L. Mardiwarsito. Penyalinan dilakukan pada tanggal 15 sampai 30 Juli 1932 dengan menggunakan aksara Jawa. Dalam naskah ini kurang satu bait, yaitu bait 46. Versi ketiga naskah koleksi Reksapustaka yang dicetak dengan huruf Jawa pada tahun 1928 berisi lengkap 250 bait. Versi keempat, naskah koleksi Radyapustaka , Sala, berhuruf Jawa . Dalam naskah versi ini masih kurang satu bait, yaitu bait 213.
Paparan ini akan mengacu pada terjemahan L. Mardiwarsito, terbitan Balai Pustaka tahun 1988. Buku ini dipilih karena selain sudah lengkap, 250 bait, juga belum banyak interpretasi yang dilakukan saat melakukan terjemahan. Selain itu, dalam buku ini juga disebutkan beberapa keterangan ketika ada kata-kata yang memerlukan penjelasan. Dengan demikian otentisitas kata dapat terjaga.
Secara umum serat ini menggambarkan pengembaraan seorang sosok bernama Jayengboyo yang menjelajahi berbagai bentuk profesi dengan segala risiko dan suka-dukanya. Mulai menjadi calo kuda, seniman, pejabat pemerintah, penegak hukum, pencuri, pemabuk, orang gila sampai menjadi anjing dan bahkan menjadi Tuhan. Ada 48 profesi yang disebutkan dalam naskah ini.
Ada beberapa hal menarik yang dapat dicatat dari naskah serat Jayengboyo ini. Pertama, serat ini memaparkan risiko yang harus diterima dalam setiap profesi. Tidak semua profesi memiliki risiko yang menguntungkan, tetapi ada risiko negatif yang merugikan, jika suatu profesi tidak dilakukan secara hati-hati dan profesional.
Suatu profesi yang dijalankan secara profesional, tidak saja dapat mendatangkan keuntungan secara material, tetapi juga bisa mendatangkan keuntungan secara non material, seperti kesenangan, popularitas dan meningkatnya status sosial. Demikian sebaliknya jika suatu profesi dijalankan secara tidak profesional, maka akibatnya dapat merugikan bahkan mencelakakan diri sendiri. Apapun profesi tersebut.
Kedua, risiko suatu profesi berbanding lurus dengan jenis profesi. Jika profesi tersebut hanya terkait dengan masalah perorangan, maka risiko yang terjadi bersifat individual. Tetapi jika terkait dengan masalah sosial, maka risiko yang ditanggung tidak hanya bersidat individual atau fisik tetapi juga bersifat sosial. Misalnya risiko profesi calo (bait 7 dan 8), seniman (bait 18 dan 18) dijelaskan seorang calo kuda dan seniman yang tidak profesional berisiko terlempar dari kuda, dicaci maki dan dilempar kepalanya dengan pemukul gong hingga berdarah.
Risiko sosial terlihat pada berbagai profesi yang terkait dengan kepentingan publik, seperti jaksa. Menurut Serat Jayengboyo, menjadi jaksa memang pekerjaan terhormat, banyak didatangi orang yang berperkara dengan membawa oleh-oleh (bait 66). Namun risiko menjadi jaksa yang tidak dapat menjalankan tugas dengan baik akan mendapat hukuman sosial yang sangat memalukan dari masyarakat. Dia lebih hina dari pohon yang tidak berbuah, menjadi bahan sumpah serapah, karena kepalanya akan ditanam di pohon yang tidak berbuah (bait 67), bahkan makamnya dikucilkan, tidak boleh dicampur dengan orang biasa (bait 68).
Ketiga, catatan menarik dari Serat Jayengboyo ini adalah seseorang yang tidak setia pada profesi, dengan segala resikonya akan terombang ambingkan oleh keadaan, hingga akhirnya terjebak daam absurditas. Seseorang yang menekuni suatu profesi harus siap menerima risikonya baik yang positif/menguntungkan, maupun yang negatif/merugikan. Orang-orang yang hanya mengejar keuntungan dalam menjalankan suatu profesi, sehingga mudah beralih profesi saat menghadapi kesulitan maka orang tersebut tidak akan pernah mendapatkan apapun, karena orang yang seperti ini bagai mengejar fatamorgana. Dalam Serat Jayengboyo, orang-orang yang seperti ini disebut gelandangan yang tidak memperoleh tempat (bait 239)
Secara implisit, serat Jayengbaya ini terkandung pesan, menekuni suatu profesi harus siap dengan segala risikonya. Ketika seseorang menekuni suatu profesi, maka tidak boleh hanya membayangkan dampak positif atau keuntungannya saja, tetapi juga harus diperhitungkan risiko negatif yang merugikan. Untuk menghidari risiko-risiko negatif, tidak dapat dilakukan dengan cara beralih profesi, karena dalam profesi yang baru hampir dipastikan akan menemui risiko negatif juga. Cara menghindari risiko negatif dari suatu profesi adalah dengan meningkatkan skill dan bekerja secara profesional, sesuai dengan tuntutan profesi dan etika yang ada dalam profesi tersebut.
Hal lain yang menrik dicatat dari Serat Jayengboyo ini adalah pesan nasionalisme. Meski pesan ini disampikan secara halus dan tersamar, namun terasa tajam jika dicermati dan direnungkan secara mendalam. Pesan ini tersebut dalam bait 74. Dalam bait ini disebutkan : “nora sotah nora sotir//dadi buyunging Walanda//angur dadi batur tledhek//angur dadi batur tledhek//kerep menocok kang echo, gawene tana rekoso//nggendong kinang manggul payung//tur ta oleh sesenggolan (tidak sudi tidak mau//menjadi kacungnya Belanda//lebih baik jadi pelayan tandak (penyanyi dan penari)//sering kali makan enak//kerjanya tidak berat//hanya menggendong sirih memanggul payung//tambah pula dapat bersenggolan) (L. Mardiwarsito, 1988; 71).
Dalam bait ini Ronggowarsito secara tegas menyebutkan sikapnya yang tidak sudi menjadi “kacung”-nya penjajah Belanda. Dia membandingkan lebih enak menjadi pelayan ledhek, meski dilihat hina oleh kaum penjajah, tetapi ledhek adalah bangsanya sendiri yang perlu dihormati. Bait ini memberikan semangat untuk membela dan menghormati bangsa sendiri, apapun profesinya daripada menjadikan diri sebagai kacung para penjajah.
Meski banyak berkisah tentang berbagai profesi yang terkait dengan skill, namun serat ini juga tetap memasukkan dimensi spiritual dan tasawwuf. Ajaran tasawuf yang diperoleh dari Kyai Hasan Besari di Pesantren Tegalsari, Ponorogo tampaknya membekas kuat dalam diri Ronggowarsito, dan jejak-jejak ini terlihat nyata dalam naskah ini.
Jejak pemikiran sufistik ini terlihat pada bait 246 dan 247. Dalam kedua bait ini, Ronggowarsito secara implisit menyebutkan bagaimana meruginya manusia yang memilih profesi apapun tanpa ada spirit ketuhanan. Namun demikian spirit ketuhanan ini akan berbahaya jika membuat manusia menjadikan dirinya sebagai Tuhan, karena sikap seperti itu akan membuat Tuhan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan tanpa batas itu menjadi terbelenggu dalam diri manusia.
Serat Jayengboyo merupakan pengembaraan intelektual dan spiritual R.Ng. Ronggowarsito. yang dipersonifikasikan dalam sosok Jayengboyo yang melakukan penjelajahan profesi. Naskah ditulis dalam bentuk syair mocopat dengan langgam Asmorodhono dengan gaya bahasa yang ritmik dan dialogis, sehingga enak diikuti dan dinikmati.
Meski terlihat hanya karya fiksi imaginer, bukan karya ilmiah yang faktual, namun jika dicermati serat Jayengboyo ini sebenarnya merupakan potret realitas dan gambaran situasi sosial kemudian direkonstruksi dan dimanifestasikan dalam karya sastra. Dengan kata lain naskah ini merupakan jendela yang dapat digunakan untuk melihat dan menggali informasi mengenai konstruksi sosial, budaya masyarakat Jawa dengan berbagai sistem nilai dan khazanah pemikiran yang ada di dalamnya. ****