FIN UNUSIA
Esai

Nyi Ageng Serang: Perempuan Nasionalis Patriotik (Seri “Wali” Perempuan Nusantara Bagian VI: Habis)

Nyi Ageng Serang adalah sosok perempuan pemberani, pemimpin pasukan perang yang anggotanya tidak hanya kaum perempuan. Dia mahir naik kuda dan menggunakan senjata. Memiliki kemampuan mengatur taktik dan strategi perang yang canggih, sehingga diangkat menjadi penasehat perang oleh Pangeran Diponegoro. Posisi Nyi Ageng Serang sejajar dengan P. Mangkubumi dan P. Joyokusumo yang ahli siasat perang..Saat diaangkat sebagai penasehat perang usia Nyai Ageng Serang sudah sangat sepuh, 73 tahun. Namun semangatnya untuk membela tanah air dan bangsa melawan kaum kolonial Belanda tidak surut.

Tidak hanya memberikan nasehat mengenai taktik dan strategi perang, dia juga terjun langsung di medan perang bersama sang suami. Sang suami, Pangeran Mutia Kusumowijoyo gugur di medan laga, menjadi syahid demi mempertahankan negara melawan pemerintah kolonial Belanda di awal perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro tahun 1825. Meninggalnya sang suami tidak menyurutkan perjuangan Nyi Ageng Serang melawan penjajah, tapi justru membangkitkan semangat perlawanan. Bahkan dia memerintahkan cucunya yang bernama RM Papak mengerahkan rakyat untuk turut berjuang. Dalam pertempuran RM Papak ini dikenal dengan sebutan Basah Notoprodjo.

Jiwa patriotik dan semangat Nasionalisme Nyi Ageng Serang sudah tertanam sejak kecil. Terlahir dengan nama asli Raden Ajeng (RA) Kustiyah Wulaningsih Retno Edi tahun 1751, dari seorang ayah bernama pangeran Natapraja. Ayahnya adalah pejabat negara di Serang, perbatasan Purwodadi dan Sragen, bukan Serang Banten. Kerana kedudukan inilah sang ayah mendapat gelar Panembahan Serang. Selain sebagai kepala pemerintah daerah, Natapraja juga panglima perang Sultan Hamengku Buwono I. Serang merupakan markas para pejuang yang menjadi basis perlawanan terhadap kolonial. Setelah perjanjian Giyanti, Panembahan Serang menarik diri dari dunia politik kemudian memperdalam ilmu agama Islam.

Sejak kecil Nyi Ageng Serang sudah ikut berlatih perang, bahkan sudah terjun ke medan laga melawan penjajah. Meski demikian, Nyi Ageng serang sempat mengenyam pendidikan agama. Bersama dengan saudara-saudaranya (anak-anak Panembahan Serang) dia dikirim ke Kadilangu, padepokan yang didirikan Sunan Kalijaga, untuk belajar agama. Dari sini bisa terlihat jejak sanad keilmuan Nyi Ageng Serang yang menyambung ke Walisongo. Selesai menumpuh Pendidikan di pesantren Kadilangu, Nyi Ageng serang kembali ke medan perang untuk bertempur.

Karena kegigihannya melawan penjajah, Nyi Ageng Serang pernah ditangkap dan ditahan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tak ada informasi berapa lama dia ditahan. Informasi yang ada menyebutkan, Nyi Ageng Serang dibebaskan bertepatan dengan upacara penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono II sebagai Sultan Yogyakarta. Bahkan pada hari itu Nyi Ageng Serang langsung diserahkan kepada Sri Sultan yang baru dilantik. Konon Nyi Ageng Serang pernah menikah dengan Pangeran Sundoro, nama kecil Sultan Hamengku Buwono II, namun kemudian cerai karena Nyi Ageng Serang tidak betah di keraton dan minta kembali ke Serang.

Setelah dibebaskan Nyi Ageng Serang kembali meneruskan perlawanan. Apalagi dia mendapat dukungan dari Sultan Hamengku Buwono II yang juga seorang nasionalis. Sebagai seorang yang ahli dalam strategi perang, Nyi Ageng Serang tahu saat yang tepat untuk menyerang dan strategi apa yang harus digunakan. Selama masa menunggu waktu dan momentum untuk menyerang itu, Nyi Ageng Serang pamit meninggalkan Yogya untuk kembali ke Serang. Selama masa penantian ini dia menjalankan laku riyadloh melalui berbagai amalan tasawwuf untuk memperkuat ketahanan spiritual dan kepekaan batin. Pada masa ini juga dia menemukan jodohnya.

Setelah menemukan strategi perang dan momentum yang tepat untuk menyerang, Nyi Ageng Serang kembali ke medan laga, berkumpul dengan para prajurit untuk berperang. Dia bersama Paneran Adi Suryo dan Pangeran Somo Negoro memimpin pertempuran melawan penjajah di daerah pegunungan Menoreh, Kadipaten Adikerto serta daerah Kadipaten Kulonprogo.  

Nyi Ageng Serang meninggal pada tahun 1828, dalam usia 76 dan dimakamkan di desa Beku, Kalibawang Kulonprogo. Setelah merdeka, Nyi Ageng Serang dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No.084/TK/1974.

Meski memiliki peran penting terhadap sejarah pergerakan Nasionalisme dan penyebaran Islam di Kawasan Yogyakarta, namun sedikit sekali sejarawan yang meneliti dan menulis sosok Nyi Ageng Serang. Hanya ada beberapa tulisan mengenai Nyi Ageng Serang. Diantaranya Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford dalam buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Di sini disebutkan, Nyi Ageng Serang memberikan pengaruh penting pada penduduk daerah asalnya, Serang-Demak, bahkan lama setelah Perang Jawa resmi berakhir, 28 Maret 1830. Pengaruh Nyi Ageng Serang ini sampai ke wilayah Magelang, Purworejo dan sekitarnya.

Meski sejarawan tidak banyak menulis sosok Ki Ageng Serang, namun sejarah Nyi Ageng Serang ini tetap terjaga melalui cerita tutur dan kisah tertulis (bukan penelitian sejarah). Dari berbagai ksah itu terlihat, Nyi Ageng Serang adalah sosok perempuan yang mengusai strategi perang, menjadi panglima namun juga sosok yang memiliki kedalaman ilmu agama serta pengamal tasawwuf yang yang mampu mengintegrasikan antara nasionalisme dengan agama. Jika dicermati, sebenarnya dari angkatan Nyi Ageng Serang dan Diponegoro inilah benih-benih nasionalisme mulai tumbuh. Artinya kalangan pesantren merupakan perintis tumbuhnya nasionalisme.

“Wali” Perempuan dan Kesetaraan Dalam Islam Nusantara

Pelacakan jejak sejarah kaum perempuan  dalam proses peyebaran Islam di Nusantara menunjukkan beberapa hal menarik untuk dicatat dan dianalisa. Data-data sejarah yang telah penulis paparkan dalam beberapa episode yang lalu memperlihatkan peran dan fungsi yang vital  kaum perempuan dalam penyebaran Islam di Nusantara. Peran penting kaum perempuan telah menempatkan mereka pada posisi  yang bisa disejajarkan dengan kaum lelaki. Posisi sejajar ini bisa dilihat dalam berbagai aspek kehidupan; sosial, politik budaya dan agama.

Di bidang Pendidikan, para ulama Nusantara tidak membedakan antara kaum lelaki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Ini terlihat pada semua tokoh perempuan Nusantara yang memiliki kesempatan belajar pada ulama, baik belajar ilmu agama maupun skill/profesi. Nyi Gede Pinatih, memiliki kesempatan belajar pada pada Sunan Ampel dan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam bidang ilmu agama dan ekonomi. Sehingga memiliki kecakapan yang mengantarkannya menjadi seorang pengusaha sukses. Kecakapannya  mengelola perusahaan membuatnya dipercaya menjadi pejabat publik kerajaan Majapahit yaitu sebagai kepala syah bandar Gresik yang memiliki otoritas memungut cukai dan mengawasi kapal dagang.

Hal yang sama juga terjadi pada para Sulthanah yang ada di Kesultanan Samudra Pasai dan Aceh. Mereka tidak saja mendapat pendidikan agama yang kuat dari para ulama, tetapi juga pendidikan di bidang politik, ekonomi dan hukum (tata negara). Kemampuan mengelola ekonomi Ratu Nahrisiyah, misalnya, telah menjadikannya sebagai Ratu yang menguasai arus perdagangan di Kawasan Asia Tenggara pada zamannya. Demikian juga empat serangkai Sulthanah kesultanan Aceh, Sulthanah Syafiatuddin, Naqiuddin, Zakiyuddin dam Keumalatsyah seemua memiliki kemampuan memimpin yang hebat. Mereka menguasai ilmu tata negara dan hukum sehingga bisa melakukan rekonstruksi dan reformulasi hukum yang memadukan fiqh dan hukum adat.

Nyi Subang Larang, Nyi Ratu Ageng dan Dyah Roso Wulam adalah perempuan-perempuan hebat yang mendalami dunia Tasawwuf dengan laku tarekatnya. Mereka tidak sekadar menjadi penganut ajaran sufi dan pengamal tarekat, tetapi juga menjadi mursyid yang mengajarkan tarekat pada orang lain. Ini merupakan sesuatu yang langka dan tidak lazim dalam dunia tasawwuf, tapi dalam konstruksi tasawwuf Nusantara bisa terjadi sebagaimana yang ditunjukkan oleh para perempuan tersebut.

Di bidang  militer dan strategi perang ada sosok Ratu Kalinyamat yang merupakan murid Sunan Kalijaga dan Nyi Ageng Serang yang merupakan murid paguron Kadilangu (keturunan Sunan Kalijaga). Selain sebagai panglima perang dan pemimpin negara, Ratu Kalinyamat dan Nyi Ageng Serang adalah sosok yang memiliki kedalam ilmu agama dan spiritual. Dengan kemampuan ilmua agama dan skil berperang, mereka mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan gerakan sosial, sekaligus menjadi kekuatan integratif yang mampu menyatukan berbagai kepentingan yang sedang berkonflik.

Yang lebih menarik dari konstruksi sosial budaya masyaraka Islam Nusantara adalah, kaum perempuan tidak hanya diberi kesempatan belajar tetapi juga diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmu dan skil yang dimilikinya di ruang publik. Artinya kaum perempuan tidak hanya setara dalam hal memperoleh akses pendidikan, tetapi juga di ruang publik dalam ranah politik. Memang, ketika menjadi pejabat negara dan menguasai ruang publik para perempuan ini selalu didampingi oleh kaum lelaki, dan terjadi kontroversi terhadap posisi mereka. Tapi hal yang sama juga terjadi pada kaum lelaki. Para pemimpin lelaki, juga tetap didampingi oleh para ulama, dan banyak juga sultan dan raja yang menobatannya menimbulkan kotroversi dan memancing konflik.

Selain beberapa tokoh yang sudah kami paparkan, sebenarnya masih ada beberapa tokoh perempuan lain yang menjadi pemimpin negara (ratu) di Nusantara. Di antaranya di Kerajaan Bone di Sulawesi yang pernah dipimpin oleh enam ratu sejak abad 14.  Sejarah para tokoh perempuan Nusanta ini mengkonfirmasi penyataan Anthony Reid (2014; 196) bahwa “Masyarakat Austronesia, termasuk Polinesia, Madagaskar, sebagaimana juga Indonesia dan Filipina lebih cenderung menempatkan perempuan dari keluarga bangsawan di singgasana daripada masyarakat di tempat lain”. Sebagaimana dinyatakan semua ini menunjukkan bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan perempuan merupakan sesuatu hal yang wajar dan biasa saja di Nusantara.

 Data-data sejarah ini menunjukkan para tokoh perempuan yang berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara ini memiliki kapasitas keilmuan dan kecakapan yang tinggi sebagaimana layaknya tokoh dari kaum lelaki. Sehingga mampu mengemban amanat dan menjalankan profesi sebagai penguasa (Sulthanah/Ratu), pejabat negara, pengusaha maupun pendidik secara baik. Mereka juga memiliki kemampuan spiritual dan kepekaan batin yang sama dengan kaum lelaki.  Jika kaum lelaki yang memiliki kearifan, keilmuan dan kapasitas batin yang lebih bisa disebut wali, maka para perempuan yang memiliki kapasitas setara juga bisa disebut sebagai “Wali” Perempuan. Khazanah “wali” perempuan ini merupakan kajian yang manrik untuk studi Islam Nusantara. (Habis)

Related posts

Perempuan dan Islam Nusantara: Reclaiming Her Story

Admin FIN

Otoritas Agama VS Republik Gawai: Tantangan bagi Islam Nusantara*

admin

“Wali” Perempuan Pemimpin Negara Aceh (Bag-V)

Ngatawi El-Zastrow