FIN UNUSIA
Uncategorized

OBAT DALAM KHAZANAH NASKAH JAWA

Replika Relief Borobudur Karmawibhangga tentang pengobatan tradisional. (Sumber: Istimewa)

Penulis: Ngatawi AL-Zastrouw

Tradisi meracik dan meramu obat-obatan dari tumbuhan (herbal) sudah berkembang lama dalam masyarakat Jawa. Ramuan ini tidak sekedar untuk obat penyakit, tetapi juga untuk kebugaran dan kecantikan. Jejak tradisi menggunakan tumbuhan sebagai obat terlihat pada Relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke 8 M. Relief tersebut menggambarkan kebiasaan masyarakat Jawa meracik dan meminum jamu/obat untuk mengobati penyakit dan menjaga kesehatan.

Selain relief di candi Borobudur, tradisi meracik obat/jamu masyarakat Jawa ini juga terlihat pada prasasti Madawapura yang mennyatakan adanya  profesi meracik atau meramu obat/jamu yang disebut acaraki. Meski candi dan prasasti ini merupakan peninggalan era kerajaan Hindu-Buddha, namun tradisi meracik obat ini diperkirakan sudah terjadi sebelum kedua prasasti tersebut dibuat. Artinya, prasasti dan candi tersebut hanya memotret dan mengabadikan tradisi yang sudah berjalan sebelumnya.

Setelah bangsa Jawa mengenal tradisi tulis, maka ketrampilan meracik obat dan penggunaan berbagai jenis tumbuhan untuk obat-obatan didokumentasikan dalam bentuk naskah tulis; serat atau primbon. Beberapa naskah Jawa kuno yang membahas tentang obat-obatan diantaranya naskah Usada Lontar yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuno (Djojo Seputro, 2012; 1). Meski ditulis menggunakan huruf dan bahasa Jawa kuno, namun naskah ini berada di Bali.

Manuskrip Jawa lainnya yang membahas obat-obatan adalah “Serat Primbon Jampi Jawi” (SPPJ) yang terdiri dari beberapa jilid. Naskah ini mencatat pemakaian obat tradisional dari berbagai tumbuhan.  Selain SPPJ, ada manuskrip-manuskrip lain yang mengupas obat-obatan tradisional Jawa yang menggunakan tumbuhan, diantaranya serat Bab Tetuwuhan in Tanah Hindiya Miwah Dayanipun Kangge Jampi (hal ihwal tetumbuhan di tanah Hindia dan khasiatnya untuk obat). Naskah SPPJ merupakan salah satu koleksi perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran Surakarta dengan kode 25655 (M 19).Para peneliti Barat memasukkan berbagai naskah obat-obatan dalam teks sastra primbon (Behrend, 1990: xii).

Penelitian Hesti Mulyani dkk (2017; 142), menyebutkan naskah SPJJ I banyak menjelaskan berbagai jenis dan ramuan obat untuk  menyebuhkan penyakit yang diderita anak-anak maupun orang dewasa. Beberapa jenis penyakit yang disebutkan dalam naskah ini diantaranya beberengan (penyakit luka di kulit), bedhedheg (perut kembung), benter (panas), cacingan, endjrak (bibir pecah dan lika mulut), gom (sariawan), ising-isingen (berak terus menerus/mencret). Dalam naskah ini disebutkan secara jelas ramauan obat dari berbagai penyakit tersebut dan cara pengobatannya. Ada yang dimunum (dicekok), disembur maupun dioles.

Sekedar contoh, untuk obat penyakit cacingan anak-anak, resep yang ada dalam naskah SPJJ I adalah akar bakung sepanjang tiga jari, 5 saga ketumbar, 3 saga mesoyi, 2 lembar trawas, seruas bawang, 2 iris temuireng, 2 cengkeh, sebiji asam pala, sebiji asam dringo, 2 iris bangle, 1 ujung cabe, 3 saga bunga apen. Semua ditumbuk sampai halus, kemudian dikukus dalam tanak nasi.Cara penggunaan dicampur dengan air lalu diminum dipagi hari (resep 274, hal. 93-94). Sedangkan obat untuk penyakit cacingan anak disertai berak darah adalah cendana jenggi, kayu timur, jambe tua seberat dua saga, direbus bersama dengan air tajin yang kental kemudian diminum (resep 245, hal. 83).

Selain cacingan, penyakit lain yang disebut dalam naskah SPJJ I adalah bengkak. Ada berbagai jenis bengkak yang disebutkan dalam naskah ini. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk mengobati penyakit ini adalah tumbuh-tumbuhan, telur, cuka, arak dan kapur barus. Masing-masing jenis bengkak memiliki resep yang berbeda. Sedangkan metode pengobatan ada beberapa cara; diminum, dibalur, diusap, ditempel (tapel), digosokkan, diuapi (Hesti, 2017;  715).

Naskah lain yang membahas obat-obatan adalah serat Centhini. Pembahasan mengenai obat-obatan herbal terdapat dalam jilid 3 dari naskah yang terdiri dari 12 jilid ini. Pada halaman 321-331 naskah ini memaparkan berbagai jenis penyakit serba ramuan obat  berbahan herbal untuk menyembuhkan penyakit tersebut.

Joko Susilo mencatat  ada 80 ramuan herbal untuk  menyembuhkan 34 jenis penyakait dalam serat Centhini. Beberapa bahan obat tersebut diantaranya bengle, merica, mungsi, pala, pulasari, adas, cabe, manisjangan, kedhawung, kencur, ketumbar, ringn, dlongo, sirih, daun kelor, minyak wijen,delima,  ayam cemani, murmak daging, pisang saba dan lain-lain. Berbagai jenis penyakit dan gangguna kesehatan yang disebut dalam serat Centhini diantaranya, bobor melepuh, cacingan, cacar, saraf, sakit telinga, mata, batuk, muntah darah, berbagai jenis enyakit perut, sembelit, tidak bisa kentut, sakit gigi, bengkak, lemah sahwat dan sebagainya (Joko Susilo, 2022; 122).

Dalam naskah ini dijelaskan resep obat masing-masing penyakit lengkap dengan cara penggunaannya. Misalnya resep untuk penyakit tuli adalah ramuan dari bahan dhadapserep, daun kelor, ayam cemani dan minyak wijen (Garjito et.al, 2021). Resep untuk pasangan yang ingin segera mendapat anak adalah delima, garam dan minyak wijen. Ramuan ini dapat dikonsumsi dengan cara diminum (perasan) atau ditelan (bubuk). Selain untuk mengobati dan mencegah penyakit, ramuan obat herbal yang ada dalam secara Centhini ini juga dapat digunakan untuk kebugaran tubuh dan mempercantik diri.

Dalam serat Centhini juga disebutkan waktu-waktu yang mujarab untuk berobat. Misalnya, hari Kamis Legi wuku Sinto cocok untuk berobat sakit mata. Ahad Kliwon wuku Toku cocok untuk pengobatan penyakit yang ada dalam seluruh tubuh. Selasa Wage wuku Gumbreg cocok untuk berobat penyakit jiwa. Hari-hari lain yang cocok untuk berobat segala penyakit adalah Sabtu Pon wuku Pahang, Kamis Kliwon wuku Marakeh,  Minggu Legi dan Senin Pahing (Joko Susilo, 2022; 122).

Penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli naskah ini perlu ditindak lanjuti oeh para ahli medis. Beberapa naskah ini dapat dijadikan acuan dan petunjuk untuk penelitian obat-obat herbal. Berbagai tumbuhan dan bahan obat yang disebutkan dalam naskah Jawa ini dapat diteliti secara ilmiah dengan menggunakan berbagai peralatan laboratorium yang canggih untuk melihat kandungan zat yang ada dalam suatu resep. Pendeknya naskah obat-obatan ini merupakan tantangan bagi para ahli kesehatan/medis dan ahli farmasi untuk mengkaji secara ilmiah pengetahuan lokal (local knowladge) para leluhur mengenai obat-obatan herbal. Jika resep obat para leluhur ini dapat dibuktian secara ilmiah dan saintific maka akan dapat menjadi alternatif bagi dunia medis modern yang masih mengandalkan bahan kimia yang memiliki efek samping negatif bagi kesehatan. Kebangkitan obat herbal tidak saja berdampak pada dunia kesehatan tetapi juga pada lingkungan, karena akan terjadi konservasi terhadap tumbuh-tumbuhan dan bahan obat yang sudah langka. Berbagai tumbuhan dan bahan obat alami yang hampir punah akan ditanam dan dibudidayakan kembali untuk dijadikan bahan bahan obat.****

Related posts

BEDAH BUKU KOSMOPOLITANISME SEYLA BENHABIB

admin

ILMU PELAYARAN DALAM NASKAH BUGIS

Ngatawi El-Zastrow

Nusantara Islam: Seeking a New Balance in the Muslim World

Rumadi Ahmad