FIN UNUSIA
Esai

Otoritas Agama VS Republik Gawai: Tantangan bagi Islam Nusantara*

Oleh Ahmad Suaedy**

“The authority we have lost in the modern world is no such “authority in general,” but rather a very specific form which had been valid throughout the Western World over a long period of time.” Hannah Arendt (1961; 91)

 “Practically as well as theoretically, we are no longer in a position to know what authority really is.” Hannah Arendt  (1961: 92)

Perkembangan teknologi informasi atau digital tidak pelak telah mengharu biru hampir seluruh aspek kehidupan umat manusia tidak terkecuali atau khususnya otoritas agama (Turner 2007). Agama yang bahkan sekularisasi dan rasionalisasi di Barat tidak bisa “menghabisi”nya melainkan hanya bisa memisahkannya (Woodward, 2005), kini dituntaskan oleh teknologi informasi.  Teknologi informasi bahkan kini mendelegitimasi konsep yang paling kuat dari sekularisme karena dijaga oleh pasukan bersenjata, yaitu nation-state (Dasgupta, 2018).

Dalam perubahan dari era tradisional ke era modern di Barat pergeseran makna dan cakupan otoritas menjadi kunci terpenting dari capaian rasionalisasi dan sekularisasi (Arendt, 1961). Maka tidak heran sekarang ini otoritas agama tidak lagi di tangan para ulama dan cendekiawan dan bukan pula di tangan gereja melainkan di ujung jari sentuhan terhadap keyboard gawai, maka di sini disebut Republik Gawai. Karena, dalam perspektif agama dan juga negara, Republik Gawai telah berdiri nyaris independen di luar atau melampaui agama dan negara. Tidak sedikit untuk tidak dikatakan sebagian besar program pemerintah dan juga agenda perguruan tinggi kini untuk menghadapi pergeseran itu: dalam  arti positif maupun negatif.

Otoritas agama barangkali yang paling tua bagi kehidupan umat manusia kalau tidak disebut paling kuat. Apa yang disebut otoritas tradisional oleh Arendt (1961) tidak lain adalah otoritas agama tersebut. Namun dalam Islam, tampaknya  otoritas agama, kini, sudah terambil paksa dari tangan para ulama dan intelektual–juga para akademisi di UIN an IAIN, serta pesantren– oleh perangkat gawai yang bisa diakses secara langsung oleh setiap orang dari kanak-kanak, ibu rumah tangga hingga profesor di kampus dalam derajat yang setara. Tidak heran jika WAG para profesor perguruan tinggi di kalangan kampus dalam membincangkan agama seringkali setingkat belaka atau tidak ada bedanya dengan WAG kanak-kanak dan ibu rumah tangga serta kelompok arisan ibu-ibu.

Melalui perangkat digital mereka semua secara setara juga bisa mengakses referensi di hampir seluruh dunia tanpa membutuhkan lagi otoritas apapun dari para ahlinya dan dengan mengabaikan metodologi ilmiah yang selama ini menjadi persyaratan pokok dalam proses pengambilan keputusan atau ijtihad untuk meresponnya. Namun,  sesungguhnya situasi tersebut bukanlah ancaman melainkan tantangan. Bagaimanakah perubahan-perubahan otoritas agama dan juga otoritas umumnya itu terjadi terutama dalam era digital dan bagaimana mengantisipasiya. Paper ini sama sekali tidak bermaksud menjanjikan sebuah jawaban memadahi melainkan hendak mencoba menelusurinya guna memantik eskplorasi akademik yang mungkin bisa dilakukan lebih jauh oleh para akademisi agama dalam era digital sekarang ini.

Pergeseran Persepsi tentang Agama

Dalam pembahasan otoritas ini menarik memulai dari  suatu temuan penelitian yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) (Seftiani, 2020) tahun lalu. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa telah terjadi perubahan perilaku keberagamaan orang Indonesia secara cukup drastis: dari sebelumnya, beragama menjadi bagian dari pergaulan persahabatan antar orang dan di dalam komunitas –artinya menganggap orang lain dan juga agama lain sebagai bagian dari bangsa dan komunitas, ke arah beragama menjadi titik pembeda dengan orang lain –khususnya beda agama sebagai pihak yang dicurigai dan bahkan dimusuhi.

Dalam perubahan-perubahan itu, riset tersebut lebih lanjut menunjukkan, bahwa perubahan perilaku beragama tersebut disebabkan terutama karena faktor pesan-pesan yang bersifat digital atau sosial media. Dengan kata lain, pengaruh pesan digital begitu besar dalam membentuk cara berpikir dan berperilaku serta bertindak orang dalam skala yang bersifat massif. Dengan kata lain pula, melalui perangkat digitial orang per orang secara individual dan independen bisa memutuskan apapun yang dimauinya tanpa terpengaruh oleh orang lain dan norma serta pedoman apapun di luar dirinya.

Dalam teori post truth (Nichols, 2017), dalam dunia digital orang tidak lagi perlu legitimasi dan otoritas apapun –intelektual, pemuka agama, ahli dan metodologi, bahkan negara (Dasgupta, 2018)– untuk melakukan dan berpikir sesuatu dan untuk membagikan sesuatu itu kepada orang lain melalui perangkat digital. Yang terpenting dari fenomena di sini, mengacu pada temuan LIPI tersebut, saya kira,  adalah titik berangkat anggapan bahwa manusia lain, bahkan anggota keluarga dan tetangga sekalipun, pertama-tama tidak dilihat sebagai manusia yang sama dan senasib melainkan dengan identitas (agama) yang berbeda dan bahkan musuh.  Maka jika kita tarik ke kehidupan sosial dan khususnya agama, fenomena ini tidak lain,  adalah hilangnya otoritas untuk menentukan cara berpikir dan cara pandang dan kemudian sikap termasuk untuk memencet tombol huruf di atas keyboard di perangkat gawai yang, dalam hitungan detik, menyebar kepada semua manusia dalam waktu bersamaan.

Jika mengacu kepada pernyataan Arendt yang saya kutip di atas, dimanakah otoritas, dalam hal ini otoritas agama, masih menyelip di era digital ini? Arendt, dalam kutipan di atas, sesungguhnya sedang berbicara tentang sumber-sumber otoritariansime modern dalam struktur politik. Bahwa meskipun di Eropa suatu keputusan tidak lagi di tangan satu orang sebagaimana pada otoritas tradisional seperti agama dan kekaisaran namun di dalam struktur yang tidak lagi menempel pada individu melainkan kelembagaan demokrasi itu, masih ada otoritas di dalamnya yang bisa menciptakan otoritarianismse. Dengan kata lain otoritarianissme bisa terjadi di dalam liberalisme individual sekalipun.

Namun di sini saya hendak memakainya untuk melihat perubahan-perubahan otoritas yang terjadi pada agama Islam. Bahwa meskipun berbeda karakter antara di dalam Islam dan Kekristenan di Barat  namun perubahan-perubahan otoritas itu juga terjadi di dalam Islam, termasuk disebabkan karena perangkat digital. Memperhatikan perubahan dari temuan LIPI tersebut, tampaknya otoritas telah hilang dalam keseluruhannya. Agama, bahkan oleh Arendt sendiri dianggap sebagai warisan yang paling kuat dalam otoritas sehingga gugatan terhadap otoritas agama dalam modernitas, revolusi Prancis, misalnya, tidak berhasil menghalau agama melainkan hanya memisahkannya dari politik atau memojokkannya ke haribaan individual dan hanya dengan penjagaan yang super ketat –dengan segala cara termasuk melibatkan angkatan bersenjata, dalam kasus Napoleon Bonaparte, misalnya—agar tidak masuk ke ruang publik. Digital atau sosial media telah menuntaskan penggerusan terhadap otoritas tradisional tersebut dan mengambil alihnya?

Agen dan Habitus: Otoritas yang Bergerak

Namun, Islam, secara historis dan bahkan doktrin berbeda karakternya dengan agama Kekristenan atau Katolikisme Eropa pra sekularisme, juga dengan agama-agama Timur lain umumnya. Perbedaan ini berimplikasi terhadap perbedaan respon agama terhadap perubahan atau modernitas. Mark Woodward (2005), misalnya, memberikan analisis yang menarik perbedaan antara Islam dan Kekristenan dalam hubungan agama dengan politik dan khususnya dengan ilmu pengetahuan di era modern. Dalam pandangan Woodward, karena kuatnya doktrin struktur keagamaan dalam kelindan dengan struktur politik di dalam Kekristenan maka untuk merespon modernitas khususnya gugatan otoritas oleh ilmu pengetahuan atau rasionalitas terhadap otoritas agama yang nyaris mutlak waktu itu hanya bisa dilakukan dengan pemisahan (sekularisme) dan tidak bisa melalui dialektika dan tafsir ulang terhadap stuktur keagamaan tersebut. Sebaliknya di dalam Islam, lanjut Woodward, sejak dari awal tidak ada doktrin struktur kelindan tersebut.

Di dalam Islam, kata Woodward, otoritas agama –kepemimpinan bukan hanya dalam politik melainkan juga dalam agama spiritual– adalah bagian dari ranah tafsir dan bukan doktrin itu sendiri. Perbedaan metode pergantian kepemimpinan dari Nabi Muhammad SAW ke masing-masing empat Khulafa al Rasyidun secara berurutan dan kemudian ke bentuk dinasti sejak Muawiyah dan juga dalam bentuk modern negara-bangsa –dengan berbagai variannya– menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat lainnya. Perbedaan-perpedaan dan pergeseran-perbeseran terebut bukan hanya dalam struktur politik melainkan juga dalam  struktur agama dan karena itu juga dalam otoritas agama, dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat lainnya (Suaedy, 2018).

Perbedaan-perbedaan itu bahkan di dalam sekte-sekte Islam sendiri sangat besar dan terjadi sejak sangat awal. Misalnya jika kita lihat perbedaan kepemimpinan, dan dengan demikian juga otoritas, di dalam Sunni umumnya dengan di dalam Syiah. Di dalam Syiah –setidanya Syiah Imamiyah Duabelas–  tidak mengakui kepemimpinan tiga Khulafa ar Rasyidun sebelum Sayyidina Ali bin Abi Tholib (Nasr, 1989).  Dan kepemimpinan berikutnya hanya kepada Ahl Bait jalur silsilah yang berujung kepada Ali sampai keturunan Kedua Belas. Sistem imamah Syiah itu bukan hanya dalam politik melainkan juga dalam keagamaan. Sedangkan struktur seperti itu berbeda dari masyarakat atau negara satu dengan lainnya di negara-negara yang mayoritas Syiah itu sendiri hingga kini. Sementara di dalam Sunni seluruh proses pewarisan sejarah kekuasan dan kepemimpinan juga sistem otoritas keagamaan di dalamnnya diakui sebagai berlaku yang secara keagamaan atau teologi absah belaka meskipun tidak sepi dari banyak kritik yang tajam di dalamnya.

Yang hendak dikatakan di sini adalah, tidak ada doktrin tentang struktur politik kekuasaan yang baku di dalam Islam dan juga dalam struktur, dan tentu saja, otoritas  keagamaan dalam hampir semua sekte di dalam Islam.  Di dalam Islam, berbeda dengan Kekristenan, juga tidak dikenal lembaga kependetaan yang otoritasnya menyamai tradisi kependektaan dalam Kekristenan (Turner, 2017). Juga jika Islam dibandingkan dengan agama-agama lain termasuk agama Timur lainnya yang mengenal lembaga kependetaan (Ibid). Dalam Islam, sesunggunnya, bukan lembaga struktur keagamaan yang menjadi acuan kebenaran doktrin bagi orang per orang atau umat melainkan para mufassir atau ulama dan mungkin bisa disebut para intelektual ahli agama dengan segala cabang dan bidang kajiannya dalam ilmu pengetahuan yang berkembang –ushuluddin/teologi, tasawuf, fiqh, filsafat dan sebagainya—sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman (Senturk, 2005). Hanya saja pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan ijtihad jama’i atau ijitihad koltektif, itu pun di dalam fiqh atau usuhul fiqh (Hosen, 2004).

Demikian juga ukuran kebenaran di dalam Islam bukan pada lembaga atau struktur keagamaan maupun kekuasaan politik melainkan pada metodologi: keabsahan metodologi dengan keakuratan data –perawi hadis, misalnya: Al Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas dengan varian masing-masing. Maka mazhab-mazhab di dalam Islam, baik fiqh, ushul, maupun tasawuf memiliki sandaran metodologinya sendiri yang berbeda-beda. Dalam sejarah, para imam mazhab dan pengikutnya, meskipun banyak perbedaan namun mereka  saling mengakui kebenaran satu sama lain walaupun mungkin mereka, khususnya para pengikutnya, saling bersitegang dalam isu-isu tertentu karena perbedaan metodologi dan hasil akhir.

Jadi, otoritas termasuk otoritas agama di dalam Islam sejak semula tidak terstruktur secara baku. Umat secara kolektif maupun indiviu bisa mengikuti pemimpinnnya sendiri tanpa ada kewajiban keseragaman dengan pemimpin yang lain. Kepemimpinan –khususnya di dalam Sunni– adalah kepemimpinan intelektual atau tafsir bukan struktur keagamaan dan politik (Senturk, 2005). Ijma’ ulama termasuk ijma’ sukuti adalah titik akhir sebuah produk ijtihad untuk selanjutnya menuntutn menjadi habitus sebelum ijtihad itu sendiri direviu dan menghasilkan jitihad lainnya yang baru. Dan begitu seterusnya.

Jika boleh diilustrasikan ijithad adalah semacam agent dalam konsep Pierre Bourdieu (Haryatmoko, 2016). Bagi Bourdieu, agen bukanlah individu dan bukan pula kolektif melainkan semacam molekul yang terus bergerak dan berpindah dari satu ke lain tempat dan saling bersentuhan dan mendukung serta berbanturan satu dengan lain, yang kuat yang akan menetap sebelum digeser oleh yang lain untuk kemudian membentuk habitus –semacam tradisi yang hidup di dalam masyartakat. Hanya saja di dalam ijtihad untuk bisa menjadi habitus, diperlukan adanya apa yang oleh Michel Foucautl  disebut sebagai kekuasaan simbolik (symbolic power) (Haryatmoko, 2016), yaitu ijma’ ulama –betapapun terbatasnya. Maka di dalam Islam tidak semua hasil ijtihad bisa berlaku melainkan membutuhkan kekuasaan simbolik tersebut (Zulkifli, 2013).

Hasil ijtihad bisa direvisi dan digantikan oleh ijtihad yang lain dan harus memperoleh dukungan kekuasaan simbolik untuk bisa menjadi habitus atau tradisi yang hidup dan permanen sebelum digantikan yang lain. Hal itu terus berputar secara tidak berkeputusan (Suaedy, 2021). Maka, meminjam kosep dari Farjie Alatas, otoritas dalam Islam sesunggunnya terus bergerak atau authority in motion (Alatas, 2021) dan saling bertukar dan bersatu dengan kenyataan sosial budaya dan politik atau assembling authority (Alatas, 2021)  yang semuanya itu sesungguhnya merupakan cerminan dari misi Nabi Muhammad itu sendiri. Dan karena itu, gerak dan asembling ototitas dari ijtihad itu diyakini didasarkan pada payung doktrin-doktrin keimanan yang absolut seperti Keesaan Allah, Kenabian Muahmmad SAW, Al Quran, Hadis dan rukun Iman lainnya.

Menggerakkan Tradisi

Dengan demikian, sesungguhnya, otoritas agama di dalam Islam tidak berdiri sendiri melainkan senantiasa berhubungan dengan otoritas politik, baik di dalam maupun di luarnya. Ada tiga dimensi relasi di alam otoritas agama tersebut, yaitu agama (sebagai keyakinan), kekuasaan politik, dan dinamika masyarakat sipil yang dinamis dan plural. Alatas (2019; 2021), Suaedy (2018), Zulkifli (2003), Senturk (2005), Turner (2007) menunjukkan hal itu. Jadi, otoritas agama dalam Islam bisa diperdebatkan, bisa diperselisihkan dan bisa didialogkan untuk mencari titik temu dan kesepakatan untuk berbeda dan saling menghormati. Dan selanjutnya bisa direviu untuk diperbaiki dalam rangka merespon perkembangan zaman. Permusuhan, kebencian dan peperangan sesungguhnya tidak berada di bawah otoritas agama. Nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma moral masyarakat bisa atau harus menjadi landasan atau basis dari otoritas agama tersebut. 

Dalam pengalaman sejarah Islam, hubungan otoritas agama dan politik mengalami skema yang berbeda menurut zaman dan makan (tempat). Setiap negara dan bahkan komunitas memiliki skema hubungannya sendiri yang bisa berbeda sangat jauh dan di dalam satu negara. Hubngan itu sangat berbeda, misalnya, antara di Saudi Arabia dengan di Indonesia dan antara Indonesia dengan Malaysia, Brune Darussalam, Mesir, misalnya, dan seterusnya, bahkan pada Saudi sebelum dan pada era Mohamad bin Salman (Suaedy, 2018). Demikian juga antar komunitas di dalam satu negara dan satu organisasi masayarakat tertentu bisa berbeda karena berbeda masa dan tempat. Nico Kapten (2004) telah menunjukkan pergeseran skema otoritas agama di Indonesia dari sebelum dan sesudah lahirnya ormas-ormas agama seperti Muhamadiyah dan NU, sebelum adanya Kementrian Agama, sebelum adanya MUI dan kini. Semua menunjukkan skema yang  berbeda. MUI, misalnya, yang semula ditujukan untuk menjadi payung bagi ormas-ormas yang ada dalam otoritas agama tokh  pada ujungnya menjadi mazhab sendiri yang bersaing dengan ormas lainnya, juga disebabkan karena faktor politik dan ekonomi bukan agama semata.

Sesungguhnya dibalik tergerusnya otoritas, dalam agama, oleh perubahan zaman maupun, lebih-lebih, perangkat digital, terjadi persebaran otoritas yang lebih rinci, kecil-kecil dan tersebar serta tidak sederhana namun hidup dalam tradisi dan pergaulan sosial dan budaya (living tradition). Kenyataan, otoritas, ini bersaing dengan perangkat digital yang bisa menjangkau secara langsung baik individual maupun kolektif, juga dengan ciri komunalitasnya sendiri, seperti WAG (Grup WhatsApp), perangkat  digital tersebut. Dalam penelitian LIPI di atas juga menunjukkan bahwa perangkat digital tidak menjadikan manusia menjadi saling menyatu melainkan memiliki ciri sendiri dalam proses eksklusi dan inklusi. Juga dalam diskriminasi dan stigmatisasi. Dalam perspektif agama fenomena terbangunnya otoritas secara sosial dan budaya yang kecil-kecil dan terbatas tersebut, dalam masing-masing ranah memiliki otoritasnya sendiri dan terbatas namun terkait satu sama lain dalam payung doktrin keimanan yang absolut tersebut.

Kepemimpinan dan otoritas agama dalam Islam tidak hanya dibedakan dalam ranah sosial kolektif, misalnya perbedaan organisasi masyarakat (ormas), melainkan juga dalam cabang-cabang keilmuan dan sub-subnya seperti tasawuf dan fiqh serta denominasinya masing-masing yang sungguh sangat beragam dan kombinasi antar berbagai ranah tersebut. Dalam komunitas-komunitas Islam sesungguhnya bisa dilihat satuan-satuan sosial yang rinci dan rumit namun bisa dirunut dan di-jelentreh dengan keilmuan sosial tertentu. Otoritas itu sebagian bertumpu pada jaringan yang bersifat sosial dan budaya seperti guru tasawuf dan etika hidup fiqhiyah –ini berarti tidak bersifat geografis atau setidaknya saling tumpang tindih— namun sebagian berbasis pada satuan geografis yang mungkin juga saling tumpang tindih dengan realitas jaringan otoritas tersebut. Hasil-hasil bahtsul masail dari Nahdlatul Ulama, misalnya, yang secara nasional memang dikeluarkan oleh badan organisasi tersebut di pusat, apakah lembaga bahstul masail atau oleh Munas Alim Ulama, adalah produk kolektif bagi semua anggota organisasi tersebut (Hosen, 2004).

Namun dalam proses sehari-hari satuan-satuan organisasi tersebut juga melakukan kegiatan yang sama pada tingkat geografis dari kecamatan, anak cabang, hingga kabupaten dan provinsi, bahkan tingkat desa. Ini dengan tidak mengabaikan pula bagi kelompok-kelompok lintas geografis tertentu seperti pesantren dan antar pesantren atau komunitas alumni tertentu melakukan hal sama dalam isu-isu tertentu.  Hasil dari bahstul masail itu sendiri bisa berbeda satu dengan yang lain, juga memiliki tingkat otoritas yang berbeda. Jaringan otoritas yang kecil-kecil dan tersebar namun di bawah payung keimanan yang absolut ini menyerupai jaringan epistemik yang secara diam-diam disepakati dan diikuti kurang lebih mutlak sebagai suatu otoritas agama yang direprentasikan oleh tokoh dan panutan serta ikatan komunal keorganisasin masyarakat yang paling dekat dengan mereka sebagai kekuasaan simbolik. Dan mereka, para tokoh agama terdekat, adalah cermin dari Nabi Muhammad sebagaimana dinarasikan di dalam hadits yang diyakini oleh masyarakat sebagai otoritas tertinggi dalam keyakainan pemeluk Islam (Alatas, 2021), namun karena pluralitas tingkatan dan kelompok maka otoritas itu sebenarnya terus bergerak (authority in motion) dan saling menyesuaikan dengan perubahan masyarakat itu sendiri (assembling authority).

Dengan demikian otoritas agama dalam Islam, setidaknya dalam tradisi  dan komunitas NU dan pesantren, tersebar ke satuan-satuan sosial budaya tertentu dan terbatas. Ia bisa berujung pada otoritas seorang  kyai tertentu sebagai representasi Islam itu sendiri (Nabi dan Al Quran) dalam satuan sosial yang mengandalkan pada kepercayaan: otoritas. Otoritas keagamaan di sini bisa saja berbasis pada kharisma perorangan karena keilmuan dan moralitasnya atau tradisi dalam keilmuan tersebut, juga seorang sufi. Inilah sesunggunya, saya kira, yang disebut oleh Nakarmua (1981) sebagai tradisionalisme radikal. Artinya, umat NU bahkan dalam laku keagamaan dan tentu saja dalam sosial politik sesungguhnya tidak selalu mengikuti pandangan dan keputusan pengurus pusat, PBNU, melainkan mengikuti otoritas dari pemimpin mereka yang paling dekat dan paling dipercaya: (mungkin) kyai kampung. Implikasi politik dari bentuk ini, bagi Nakamura, adalah orang yang ingin mendapat kepercayaan  menjadi pemimpin PBNU harus dekat dan mendengarkan suara dan pendapat kyai kampung tidak hanya mendengar suara tokoh-tokoh nasional apalagi pemerintah.

Di sisi lain, dalam otoritas agama, umat tidak perlu langsung mengkaji sumber-sumber keagaman seperti Al Quran dan Hadits juga kitab-kitab fiqh standar melainkan mereka cukup mengikuti  pandangan dan pendapat dari kyai yang paling dekat dan dipercaya oleh mereka. Bahtsul masail adalah olah intelektual sebagai otoritas dalam agama untuk menguji sebuah keputusan sesuai tidaknya dengan standar metodologi dan sumber-sumber utama dari keimanan mutlak oleh para kyai tersebut. Hasil dari semua itu adalah refleksi dari agama itu sendiri. Dalam setiap tingkatan, otoritas dan produk-produk pandangan keagaman memiliki keabsahannya sendiri dan mungkin bisa pula ada kesamaan dan perbedaaan dengan otoritas kyai lingkungan yang lain dan di pusat. 

Contoh lain menarik menyimak tulisan Alatas (2019; 2021). Alatas menunjukkan, bagaimana terbangunnya otoritas keagamaan dalam jaringan sufi bertumpu pada guru sufi tertentu, yaitu Habib Luthfi bin Yahya. Ketataan pada otoritas guru sufi ini tidak hanya terhadap umat dan dalam pilihan keagaman tetapi juga dalam sosial politik dengan segala dinamika dan kontroversinya.  Kepemimpin Habib Luthfi dalam realitas sosial politik dan juga budaya adalah representasi dari agama Islam itu sendiri dalam hampir semua aspek dalam lingkup hubungan antar pengikut dan guru sufi tersebut. Namun di dalamnya juga terjadi relasi tiga elemen secara dinamis tersebut yang tidak selalu seragam dan di dalamnya terjadi kesepakatan untuk berbeda. Pada akhir tulisannya, Alatas (2019) menyimpulkan bahwa:

“Indeed, the case of Habib Luthfi allows us to recognize the presence of multiple competing Islamic praxes of history even within a group with identical religious orientation. These praxes of history, in turn, shape the ways in which the past is selectively brought into the present and helps to define divergent Muslims’ understanding of religious authority.” (hlm. 17).

Alatas juga menantang para intelektual untuk kembali memikirkan suatu antropologi Islam dalam konteks otoritas ini yang memiliki ciri khas historis keisalaman yang tersebar sesuai konteks dan lokalitas:

“This, in turn, suggests that the definition of Islamic praxis of history should not be decided solely based on what particular Muslim scholars/historians have said, but needs to be opened up to an ethnographic inquiry.” (hlm. 15).

Kata Akhir

Saya ingin memgakhiri tulisan ini dengan tidak menyimpulkan melainkan menyodorkan agenda, bahwa watak dasar dari realitas otoritas di dalam tradisi Islam adalah tersebar dan saling tumpang tindih serta mungkin rumit. Dalam temuan Alatas bahkan otoritas itu bukan berada di tangan ulama dan intelektual besar dan kolektif melainkan ditentukan oleh dan berada pada satu-satuan sosial dan budaya kecil yang dibangun dari kesepakatan yang melibatkan dinamika sosial, politik dan budaya. Realitas ini sesungguhnya terjadi sejak awal Islam. Tiga dimensi relasi ikut menentukan bandul otoritas tersebut, apakah lebih condong ke arah agama-kekuasaan atau agama-masyarakat sipil dan budaya atau negara-masyarakat sipil.

Pemetaaan seperti ini secara lebih detail atas kenyataan masyarakat yang dinamis di Indonesia kini penting dilakukan dengan seperangkat alat multidisiplin dalam ilmu pengetahuan. Pada tingkat praksis temuan-temuan demikian barangkali bisa dipakai untuk merespon dashyatnya otoritas Republik Gawai yang telah menggerus otoritas keagamaan sekalipun sebelum menjadi Republik yang benar-benar independen. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

* Paper disampaikan pada Webinar Debat Akademik Islam Nusantara oleh FIN-UNUSIA, 13 Agustus 2021. Paper ini merupakan modifikasi dari paper untuk Penghormatan 65 tahun Profesor Machasin.

**Ahmad Suaedy, Dekan Fakultas Islam Nusantara – Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta.

Rumbut Bawah, 13 Agutus 2021

Daftar Pustaka:

Arenht, Hannah. 1961. ”What is Authority?”  Dalam “Between Past and Future, Six Exercises in Political Thouht.” 1961.

Alatas, Ismail Fajrie. What Is Religious Authority? cultivating islamic communities in indonesia. Princeton: Princeton university,

 2021.

——–. “Dreaming Saints: Exploratory Authority and Islamic Praxes of History in Central Java.”  Journal of the Royal Anthropological Institute (N.S.) 00, 1-19, 2019, hlm. 1-19.

Dasgupta, Rana. “The Demise of Nation-State.” The Guardian, 5 April 2018. 

Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Struktural, Yogyakarta: Kanisius, 2016.

Hosen, Nadirsyah. “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad.”  New Zealand Journal of Asian Studies 6, 1 (June, 2004), hlm. 5-26.

Kapten, Nico J.G. “The Voice of the ‘Ulama’: Fatwas and Religious Authority in Indonesia.” Arc. De Sc. Des Rel. 125, Januay-March 2004, hlm. 115-130 

Nakamura, Mitsuo. “The Radical Traditionalisrn of the Nahdlatul Ulama in Indonesia.” Southeast Asian Studies, Vol. 19, No. 2, September 1981.

Nasr, Seyyed Hossein. Expectation of the Millennium: Shiìsm in History.
N.Y.: State University of New York, 1989.

Nichols, Tom. The Death of Expetise: The Campaign against Established Knowledge and Why It Matters. Oxford: Oxford Uibersory Press, 2017.

Seftiani, Sari dkk. Wajah Plutalitas yang Tergerus: Intoleransi dan Radikalisme di Sembilan Daerah. Yogyakarta: LIPI-Kanisius, 2020

Senturk, Recep. “Minority Rights in Islam: From Dzimmi to Citizen.” Dalam  Shireen Hunter & Huma Malik, Washinton DC, 2005.

Suaedy, Ahmad. “Pengarusutamaan Fatwa-fatwa Moderat dalam Kebijakan Negara: Suatu Tantangan Baru.” Dalam Syafiq Hasyim  & Fahmi Syahirul Alim (eds.). Moderatisme Fatwa: Diskursus, Teori dan Praktik. Jakarta, ICIP, 2018.

Suaedy, Ahmad. “Sintesis Nusantara: Islam, Kebinekaan dan Tantangan Global.” 2021.

Sintesis Nusantara: Islam, Kebinekaan dan Tantangan Global

Turner, Bryan S.,  “Religion, Authority and the New Media.” Theory, Culture & Society, Vol. 24 (2), 2007, hlm. 117-134. 

Woodward, Mark. “Modernity and Disenchantment of Life: A Muslim-Christian Contrast.“ dalam Johan Meuleman (ed.), INIS, 2005.

Zulkifli. “The Ulama in Indonesia: 
Between Religious Authority and Symbolic Power.”  Miqot, Vol. XXXVII No. 1 Januari-Juni 2013, hlm. 180-197.

Related posts

Fikih Sukuti Menurut Ulil Abshar Abdallah

admin

Islam-Nusantara: Identitas Terbuka untuk Ruang Politik Vernakular

admin

Islam Nusantara Melampaui Moderat dan Radikal

Admin FIN