Oleh Riri Khariroh (Dosen di FIN UNUSIA Jakarta)
Islam Nusantara sebagai sebuah diskursus telah menyedot banyak perdebatan baik yang pro maupun yang kontra. Sejak digulirkan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang, Jawa Timur 2015, ada ratusan tulisan baik dalam bentuk buku maupun artikel ilmiah telah terbit di berbagai jurnal nasional maupun internasional untuk membahas Islam Nusantara dalam berbagai spektrum.
Islam Nusantara sebagai identitas dari konsep keislaman yang diusung oleh Nahdlatul Ulama, tidak lepas dari warisan-warisan ulama terdahulu, yang menjadi tipikal khas gerakan dakwah NU untuk membumikan Islam yang ramah dengan karakter lokal, dengan tradisi dan budaya setempat. Dengan demikian, Islam Nusantara tidak sekedar mengimpor Islam ala Timur Tengah, akan tetapi memadukan unsur-unsur lokal, agar Islam lebih diterima dan membumi. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutnya pribumisasi Islam, yaitu mempertemukan saripati Islam dengan kekhasan kultur dan adat masyarakat setempat. Dengan demikian, Islam tidak berbenturan dengan adat istiadat, akan tetapi mengharmonisasikan prinsip ajaran keagamaan dengan nuansa kultural. Pribumisasi Islam yang digemakan oleh Gus Dur ini merupakan salah satu ciri khas dalam bangunan epistemik Islam Nusantara.
Dari luasnya spektrum yang dibahas dalam wacana dan praktik Islam Nusantara, ada aspek yang belum mendapatkan perhatian cukup baik yakni bagaimana perspektif perempuan di dalam memahami isu ini. Seperti apa suara-suara aktivis perempuan dan tokoh perempuan baik di dalam maupun yang di luar NU dalam memahami dan mempraktikkan Islam Nusantara perlu terus dikaji dan diakomodir dalam public discourse yang sedang berkembang saat ini.
Menurut hemat penulis, bahwa karakter dan ciri khas Islam Nusantara yang adaptif dengan budaya lokal ini telah menjadi modal yang relatif kuat untuk mengembangkan wacana dan implementasi kesetaraan gender di Indonesia baik melalui jalur struktural maupun kultural. Diseminasi dan upaya kesetaraan gender dalam berbagai aspek (pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, politik, lingkungan hidup, dan lain-lain) serta kesetaraan di ranah publik dan domestik menjadi lebih mudah diterima jika disampaikan dengan bahasa agama yang dilakukan dengan cara yang sesuai dengan metode dakwah Islam Nusantara.
Meskipun demikian, hingga kini kesetaraan gender dalam konteks Islam masih terus didera oleh dua kutub besar yang saling berseberangan; satu sisi seringkali dituduh oleh kelompok fundamentalis Islam sebagai sebuah gerakan liberal dari Barat, yang tidak sesuai dengan budaya timur dan Islam, disisi lain juga dianggap oleh sebagian aktivis feminis sekuler sebagai bukan bagian dari gerakan feminisme yang “tulen” dengan alasan bahwa Islam adalah sebuah agama yang “inherently” patriarkhis dan tidak cocok dengan watak feminism yang liberatif. Dua kutub besar ini sama-sama bermasalah dan mengadopsi watak kolonialisme, dimana seolah-olah warga pribumi tidak memiliki agency dan hanya pasif menerima dan mengikuti begitu saja ide-ide yang berasal dari luar baik yang mengatasnamakan Islam maupun Barat yang sekuler.
Tulisan singkat ini bermaksud untuk menelusuri jejak sejarah perempuan Nusantara dan perannya baik pada masa sebelum era kolonialisme, era islamisasi nusantara, pada masa kolonialisme dan setelah kemerdekaan. Tentu saja, upaya ini masih sebatas langkah awal/trigger/ pembuka diskusi agar nantinya tercipta ruang-ruang dialog yang lebih intens dan mendalam tentang sejarah perempuan nusantara dan kontribusi mereka di dalam masyarakat dan proyek nation building. Kita ketahui bahwa sejarah perempuan nusantara sebelum abad ke 20 belumlah tertulis dengan baik dan belum banyak dikenal; termasuk sejarah ulama perempuan Indonesia yang saat ini menjadi salah satu projek besar para pegiat KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia).
Tesis utama penulis dalam artikel ini adalah bahwa kemajuan yang dicapai oleh gerakan perempuan Muslim/Islamic feminism di Indonesia saat ini, salah satunya ditopang oleh kultur masyarakat nusantara yang sejak dulu kala relatif tidak segregatif, cenderung lebih egaliter, jika dibandingkan dengan masyarakat Muslim di negara-negara lain, khususnya Timur-Tengah. Ditambah lagi dengan model keislaman yang berkembang di nusantara atau Islam ala Indonesia, Islam Nusantara yang bertumpu pada semangat keragaman (ruh al-ta’addudiyah), semangat keagamaan (ruh al-tadayyun), semangat nasionalisme (ruh al wathoniyyah), dan semangat kemanusiaan (ruh al-insaniyyah).
Jawa Era Pra-Islam
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid 3, 2008) menjelaskan bahwa para antropolog Eropa yang mempelajari masyarakat-masyarakat Indonesia bagian timur sering menyebut pembagian tugas dan kekuasaan yang merata antara kedua jenis kelamin. Struktur yang mendalam itu terdapat pula dalam masyarakat Jawa pra-Islam. Ada beberapa teks epigrafi yang membenarkan bahwa perempuan pada waktu itu mengambil bagian besar dalam kehidupan ekonomi dan politik. Di Jawa gelar kebangsawanan dapat diturunkan baik lewat perempuan maupun laki-laki. Peranan perempuan dalam periode awal kerajaan-kerajaan Jawa, sejumlah nama tokoh perempuan yang penting terutama Rajapatni yang merupakan anak Kertanegara, dan putrinya Ratu Tribhuwana, memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan politik zaman mereka.
Peranan tokoh-tokoh perempuan dalam kedewataan Hindu-Jawa: Dewi Sri, Durga dll juga dikebal. Di antara tokoh perempuan dalam pewayangan, yang paling menonjol adalah Srikandi yang gagah berani. Kita tahu bahwa raja-raja Jawa senantiasa mempunyai pasukan pengawal besar yang terdiri dari perempuan-perempuan perkasa. Bersamaan dengan perkembangan bandar-bandar (dan agama Islam) beserta masyarakat urbannya, muncul pula kecenderungan untuk membatasi kebebasan perempuan dan mengawasi gerak-geriknya. Para priyayi di Jawa mengembangkan kesusastraan yang moralis dalam melihat perempuan; “wong wadon iku suargane nunut, nerakane katut”, perempuan itu harus mengikuti (suaminya), baik ke surga maupun ke neraka. Untuk selanjutnya mereka boleh dikatakan disisihkan dari kehidupan politik yang sebelumnya menjadi ajang mereka berkiprah.
Tak seorangpun perempuan naik tahta di Mataram atau di kota-kota pesisir; kecuali Ratu Kalinyamat yang memerintah di pelabuhan Jepara pada abad ke-16 dan berjuang melawan serangan Portugis dari Malaka, dan Ratu Fatima yang oleh Belanda ditempatkan di tahta Banten kira-kira pertengahan abad ke-18. Di lain pihak, perempuan tidak mudah tersingkir dari kehidupan ekonomi. Banyak diantara mereka yang memanfaatkan situasi ekonomi yang membaik, aktif dalam perniagaan dan perdagangan uang. Para pengamat Eropa sering menyebut peran mereka di pasar-pasar Nusantara dan sampai ke kios-kios penukaran uang. Dan Raffles (1817) mencatat tentang Jawa pada awal abad ke-19; “at the markets are assembled frequently some thousands of people, chiefly women, on whom the duty devolves of carrying the various productions to these places of traffic.” Hingga kini pun, perniagaan di pasar masih didominasi oleh perempuan.
Era Islamisasi Nusantara (Abad XIV-XIX)
Apakah benar bahwa Islamisasi Jawa menyebabkan kemunduran peran perempuan sebagaimana disinyalir oleh Denys Lombard di atas? Prof. Azyumardi Azra (Republika, 2012) mengungkapkan bahwa proses Islamisasi Jawa sejak abad ke-14 sampai 19 atau tepatnya `santrinisasi’, yaitu kian menguatnya komitmen dan praktik keislaman masyarakat Muslim Jawa, tidak bergerak lurus (linear).
Awalnya, seperti diungkapkan Ricklefs dalam buku pertamanya, manuskrip lokal mengisyaratkan dua hal kontradiktif. Pada satu pihak ada yang mengisyaratkan, Islam yang mulai menyebar sejak abad ke-14 menemukan `sintesis mistik’ dalam lingkungan budaya Jawa. Tetapi, sebagian naskah lain menyiratkan tidak terjadinya `sintesis mistik’ tersebut.
Terlepas perbedaan perspektif naskah-naskah itu, jelas Islamisasi pada masa awal menampilkan adanya sinkretisme antara Islam, agama lokal, dan budaya Jawa. Bahkan, ada semacam ketidakcocokan antara keraton dan lingkungan masyarakat yang kian banyak memeluk Islam. Barulah ketika Sultan Agung (berkuasa 1613-1646) menjadi penguasa Mataram terjadi rekonsiliasi antara keraton dan tradisi Islam.
Berangkat dari tesis di atas, penulis berpandangan bahwa peran dan posisi perempuan dalam masyarakat di era Islamisasi Jawa pun berjalan tidak linier dan sangat dipengaruhi oleh berbagai corak keislaman yang muncul yang mempengaruhi dinamika keislaman di dalam masyakat nusantara dan relasi gender yang berkembang di era kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Islam dibawa dan disebarkan oleh para pedagang dari Gujarat, India ke pulau-pulau yang menjadi pusat-pusat perdagangan. Pertama sekali ke daerah-daerah pesisir dan dipahami lebih egaliter, namun ketika Islam pesisir dikalahkan oleh Islam pedalaman (Mataram), maka wacana keislaman pun ikut dalam bingkai budaya feodal (keraton) dimana warna kelaki-lakian amatlah dominan. Namun ditengah kentalnya dominasi ideologi patriarkhi, selalu ada agen-agen yang bernegosiasi dan melakukan perlawanan terhadap ideologi yang dominan.
Lagi-lagi proses historiografi yang lebih banyak melibatkan dan menitikberatkan pada laki-laki telah memburamkan keterlibatan perempuan dalam pentas sejarah nusantara. Hal ini juga terlihat dari minimnya literatur yang membahas tentang peran dan kontribusi perempuan dalam proses penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Dari sedikit yang penulis tahu, kontribusi Nyai Khairiyah, putri KH. Hasyim Asy’ari, merupakan salah satu ulama perempuan yang memiliki peran penting dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya melalui pendidikan. Selain Nyai Khairiyyah Hasyim, sejarah telah mencatat beberapa tokoh perempuan pada awal abad XV: Putri Campa dan Putri Cina (Ibu Raden Patah, memiliki hubungan dekat dengan Wali Songo); Tengku Fakinah (1856-1933), Fatimah binti Abdul Wahab Bugis (Kitab Parukunan Melayu, 1828), Nyai Siti Walidah/Nyai Ahmad Dahlan, Rahmah El Yunusiyah (1900-1969), Syekh Fatimah binti Abd al-Shamad al – Palimbani, dll. Hubungan keluarga dan hubungan guru-murid telah membentuk interaksi ulama perempuan dengan ulama Nusantara lainnya, terutama dalam proses transmisi ilmu. Mereka melihat pentingnya emansipasi perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Era High Colonial Period (1818-1942)
Peter Carey dalam bukunya Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (cetakan ketiga,2018) menjelaskan bahwa perempuan Jawa pernah mengambil peran cukup signifikan dalam urusan politik dan masyarakat. Tahun-tahun sebelum meletusnya perang Jawa (1825-1830), peran perempuan elit sangat menentukan di berbagai bidang, termasuk politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial di istana Jawa Tengah Selatan. Para perempuan tidak hanya menjadi konco wingking. Sebagai contoh: Panglima perempuan dalam perang Jawa bersama Pangeran Diponegoro (Raden Ayu Yudokusumo dan Raden Ayu Serang/1762-1855, keturunan Sunan Kalijaga) adalah keluarga Bangsawan keraton Yogyakarta, mereka dikenal sangat cerdas dan menakutkan dan memimpin korps “para nyai”. Pada masa itu juga sangat dikenal prajurit perempuan di keraton Jawa Tengah Selatan, prajurit estri/korps Srikandi di keraton Surakarta (akhir abad 18 dan awal abad ke 19). Perempuan juga aktif di dalam dunia perniagaan, penguhubung istana dengan dunia pedesaan, penjaga tradisi Jawa, penjunjung agama, dan penggemar sastra.
Hal tersebut sangat berbeda dengan gambaran perempuan Jawa dalam Sastra Kolonial Hindia Belanda. Perempuan Jawa dari kalangan elit atau kaum priyayi digambarkan sebagai sosok Raden Ayu seperti boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri. Inilah tipe perempuan elok namun kepalanya kosong. Riwayat Kartini (1897-1904) yang inspiratif meski kehidupannya tragis, dalam memberdayakan perempuan elit zamannya baru diketahui belakangan melalui surat-surat korespondensinya (Abendanon,1911). Gambaran tersebut merupakan pengaruh orientalisme (Edward Said 1978) dimana khayalan orang Eropa tentang dunia timur sebagai surga hiburan sensual, kesuburan, dan gairah seks yang tak pernah pudar. Sosok Nyai (gundik) dan ronggeng sering tampil dalam roman dan pementasan drama pengarang kolonial Belanda. Hal tersebut bertentangan dengan sosok perempuan dalam wayang kulit Jawa dimana sama-sama berani dan perkasanya dengan suami, seperti sosok Dewi Drupadi, Srikandi.
Perempuan dalam Sastra Jawa Abad 19
Nancy K. Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial ( ed. Irfan Afifi, 2020), dimana salah satu babnya berjudul Sex Wars: Menulis Relasi Gender di Abad ke 19 Jawa, menelusuri penulisan terkait hubungan gender dalam karya sastra yang ditulis di keraton Surakarta di abad ke-19. Karya dari genre sastra Islam Jawa yang dapat disebut sebagai pengajaran perempuan (piwulang putri) dan juga kisah Santri Kelana. Ini merupakan suatu ideologi terkait dominasi laki-laki yang menyuguhkan fantasi-fantasi yang ada pada segmen tertentu dalam kelas penguasa Jawa pada abad ke 19.
Selain wacana yang dominan tersebut, terdapat wacana lain (baik tertulis, dipertujukkan, maupun yang dlakukan dalam hidup) yang menantang realitas hegemoni laki-laki terkait relasi gender di dalam masyarakat Jawa “klasik”. “Suara Perempuan” (bisa laki-laki atau perempuan) yakni bisa pada tulisan (pembicaraan maupun tindakan” manapun yang mengungkapkan realitas-realitas perempuan, dalam cara, yang menyibak sifat “fantastis” ideologi kontrol laki-laki yang dominan.
Sebuah genre kesusasteraan pengajaran (moral) yang dikenal piwulang estri, “pengajaran untuk perempuan”. Ditulis dengan suara laki-laki yang mengintimidasi, piwulang ini ditujukan kepada perempuan ideal yang telah tunduk dengan ajaran yang dimaksudkan untuk menanamkan dan memaksakan pada elit perempuan Jawa suatu ideal “isteri utama” yang mereka (laki-laki) bayangkan. Ajaran ini menanamkan pada perempuan muda kelas atas ini menjadi isteri yang baik, patuh pada suami, menyenangkan bagi bangsawan Jawa yang sebagian besarnya mengarang karya-karya ini. Ajaran ini juga ditujukan pada isteri yang “dimadu” suaminya (yaitu suami yang berpoligami). Perempuan dituntut dalam perkawinannya untuk tunduk secara sempurna dan pasrah total pada kuasa dan hasrat suaminya. Istri yang sempurna adalah isteri yang seharusnya tidak menentang apapun keinginan suaminya. Penentangan terhadap otoritas suaminya akan menyebabkan jatuhnya azab baginya hingga siksa abadi di neraka. Pesan-pesan semacam ini diulang dalam tulisan laki-laki, rupanya dengan kenaikan urgensi di sepanjang rangkaian abad ke-19.
Kepentingan pesan ini memperlihatkan hadirnya kecemasan elit laki-laki di hadapan datangnya ancaman potensi berbahaya dari para perempuan mereka yakni di hadapan munculnya realitas kemandirian yang hidup di dalam dan di antara perempuan-perempuan mereka, realitas yang menggerogoti fantasi keserasian rumah tangga mereka dibawah dominasi laki-laki. Sebagai contoh; para isteri Pakubuwana IX sendiri (2 permaisuri dan 51 selir) merupakan kelompok yang sulit dikendalikan. Diantara mereka banyak yang cerdas, perkasa, dan kaya dimana ambisinya melampaui benteng keraton. Mereka bukan perempuan-perempuan yang tidak mudah menundukkan dirinya kepada suami meskipun tinggi pangkatnya.
Nancy memberikan contoh Kisah Putri Sekar Kedathon yang melawan ideologi dominan laki-laki dalam “sastra pengajaran perempuan”, dimana dia memilih untuk tafakur dalam laku sampai akhir hayatnya dan menolak pinangan Pakubuwana IX. Karena kekecewaannya, kemudian Pakubuwana IX meminta para cntriknya untuk menulis Serat Murtasiyah (Cerita Murtasiyah), di awal abad ke 19. Serat ini berisi ajaran bagaimana seharusnya perempuan Jawa Islam yang seharusnya taat kepada suami dalam kondisi apapun, karena jika tidak maka azab Allah akan menimpanya dan sang perempuan akan mederita seumur hidup.
Era Kebangkitan Gerakan Perempuan dan Nasionalisme
Studi Cora Vreede-De Stuers (The Indonesian Women: Struggles And Achievement,1960) merupakan perintis kajian tentang pergerakan perempuan nasional yang melawan adat maupun kolonial awal abad ke-20.
Ada dua hal besar yg dikaji yaitu;1)Perempuan Indonesia yang melawan hukum perkawinan yang tidak adil dan pembodohan perempuan; 2)Kesadaran personal dan kesadaran organisasi yang berujung pada gerakan perempuan nasional dalam himpunan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang selanjutnya berevolusi menjadi Kowani.
Studi Cora ini juga menjawab pertanyaan yang sering diajukan dalam berbagai diskusi tentang mengapa gerakan perempuan pada masa pergerakan nasional mendefinisikan problem pokok gerakannya pada masalah perkawinan dan pendidikan. Ternyata dua problem inilah yang paling urgen dan dapat menyatukan perempuan Indonesia dari berbagai agama, etnis, dan kelas sosial saat itu. Dominasi laki-laki di dalam dunia perkawinan dan rendahnya pendidikan kaum perempuan akibat pengaruh budaya dan tafsir agama yang biasa gender merupakan penghalang bagi emansipasi perempuan dalam semua segi kehidupan dan untuk menjadi mitra laki-laki yang sejajar.
Bagaimana dengan kondisi terkini?
Tidak dapat dipungkiri bahwa agenda gerakan kesetaraan gender di Indonesia saat ini sangat maju dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya di dunia. Peran dan kontribusi para akademisi, aktivis NU (laki-laki dan perempuan), baik yang aktif di tingkat struktural (seperti IPPNU, Fatayat, Muslimat) maupun kultural membuka jalan agenda kesetaraan gender masuk ke ruang-ruang pesantren dan masyarakat. Pengaruh mendiang Gus Dur memainkan peran penting. Sebagai lokomotif NU selama tiga periode (1984-1999), pemikirannya yang progresif dan liberal telah menginspirasi lahirnya para pemikir Islam progresif dan liberal di tanah air, termasuk perkembangan feminis Islam, baik laki-laki maupun perempuan dalam organisasi NU yang selama ini dikenal konservatif khususnya di lingkungan pesantren. Gus Dur dengan tegas menolak kekerasan terhadap perempuan, membela pekerja perempuan, dan mengeluarkan Inpres tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional tahun 2000, ketika menjabat sebagai presiden.
Namun, catatan sejarah yang panjang menunjukkan penerimaan dan dukungan perempuan Muslim sebagai pemimpin oleh masyarakat dan komunitas Islam setempat. Sebelum, selama dan setelah era kolonial, ada banyak tokoh perempuan Nusantara yang menjadi pemimpin kerajaan, pemimpin militer, pemimpin pesantren, dan pemimpin gerakan.
Sebagai penutup, diskursus Islam Nusantara perlu terus dikembangkan dan dikaji secara mendalam sebagai sebuah konsep maupun praktik termasuk dengan menjelajahi sejarah perempuan (her story), pengalaman empiris mereka dan kelompok marginal lainnya di Indonesia. Penting untuk memastikan bahwa struktur epistemik Islam Nusantara memasukkan isu keadilan gender (gender justice) baik sebagai perspektif maupun perwujudan dalam tindakan dan sikap sehari-hari umat Islam Indonesia. Paradigma berpikir dan bertindak dalam diskursus Islam Nusantara tanpa visi yang jelas tentang keadilan gender akan menjadi tidak relevan dengan kehidupan perempuan Muslim dan masyarakat pada umumnya. Ke depan perlu dikembangkan diskusi-diskusi tentang perempuan dan Islam Nusantara yang tidak Jawasentrisme, sehingga pengetahuan akan sejarah perempuan Nusantara seperti Sejarah perempuan Aceh, Sejarah Perempuan Minang, Sejarah Perempuan Bugis, Sejarah Perempuan Banjar, dan lain-lain akan memperkokoh bangunan pengetahuan Islam Nusantara.*