Oleh Ahmad Suaedy, Dekan Fakultas Islam Nusantara-UNUSIA, Jakarta
Fakultas Islam Nusantara – Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (FIN-UNUSIA) Jakarta akan menyelenggarakan simposium internasional bertitel “Cosmopolitanism of Islam Nusantara: Spiritural Traces and Intellectual Networks on the Spice Route” pada 30-31 Agustus 2021 (symposium.unusia.ac.id). Event ini juga dilengkapi dengan pameran digital “Naskah-naskah Timur Tengah tentang Rempah pra Kolonial Abad X – XVI” serta presentasi hasil riset.
Naskah-naskah itu umumnya bebahasa Arab yang ditulis oleh para pelancong Timur Tengah. Mereka ada yang beragama Islam dan juga Yahudi. Naskah-nasah itu bukan hanya berupa tulisan melainkan juga ilustrasi gambar dalam bentuknya yang sangat awal tentang berbagai jenis rempah, hewan yang tidak dikenal di Timur Tengah serta peta kepulauan nusantara ketika itu yang didominasi oleh lautan dan hutan di daratannya.
Event yang merupakan kerjasama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Republik Indonesia ini guna mendukung program pemerintah untuk menjadikan Jalur Rempah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2024 ( https://jalurrempah.kemdikbud.go.id/en/). Secara khusus event ini juga untuk menunjukkan karakter kosmopolitanisme Islam Nusantara dalam ikut membentuk peradaban dunia kini.
Karakter Nusantara dan kemudian Islam Nusantara bukan hanya terpengaruh dari luar karena dalam konteks sebagai produsen rempah yang mengundang mereka datang ke sini namun juga menyumbangkan karakter lokalitas dalam membentuk peradaban yang khas seperti keadaan alam dan tradisi bahari atau maritim, keramahtamahan serta sintesis paham dan tradisi spiritual. Juga kontribusi ilmu pengetahuan seperti pengolahan produk rempah sebagai bahan bumbu masakan yang menghangatkan tubuh dan makanan sehat serta ramuan obat-obatan dan kosmetik.
Jalur rempah telah menyambungkan peradaban berbagai sudut dunia sebagai jalur perdagangan bahari atau maritim komoditi khas nusantara seperti lada, cengkeh, pala, kapulaga, kunyit, jahe, kulit kayu nanis serta kapur barus (getah kamper) dan kemenyan, dan juga emas, telah terjadi sejak era kedatangan Hindu-Buddha dari India bahkan lebih awal dari itu, abad sebelum masehi. Kemudian para pedagang dari Timur Tengah ketika Islam tengah berkembang di pertengahan akhir abad VII ikut bersaing mengakses komoditi rempah nusantara yang khas tersebut.
Belakangan pada abad XVI baru para petualang Eropa ikut nimbrung dalam perebutan komoditi yang menghangatkan badan dan menyehatkan tersebut. Para pedagang dan petualang Eropa tersebut pertama-tama mengenal komoditi rempah dari pasar dunia kaum Muslim di Timur Tengah untuk kemudian mencari sendiri sumbernya di nusantara setelah tercekik harga dan keterbatasan pasokan. Bagi masyarakat Eropa produk ini menentukan hidup dan kualitas hidup mereka karena cuaca yang di wilayah mereka yang sering ekstrim terutamadi musim dingin dan juga hidup sehari-hari. Berdagang rempah juga menjadikan mereka kaya raya berkat kebutuhan yang teru naik. Di masa itu harga komoditi rempah setara belaka dengan harga emas di pasaran.
Namun dari perspektif sejarah peradaban Islam, pengembaraan para pedagang, penulis dan pelancong Muslim, juga Yahudi, dari Timur Tengah, juga Persia –kini Iran—dan India tersebut tidak hanya memperebutkan dan mempertukarkan komoditi –karena mereka juga membawa komoditi ke sini seperti keramik–, di dalamnya juga terkandung pergulatan dan saling tolak angsur peradaban berupa ilmu pengetahuan dan spiritualitas.
Sejak sebelum era Hindu-Buddha masyarakat nusantara telah hidup dengan spiritualitas yang tinggi untuk kemudian beradaptasi dan menjadi mayoritas pemeluk Buddha dan Hindu. Namun sejak abad XIV-XVI masyarakat nusantara berproses melalui sintesis peradaban spiritual dan intelektual menjadi mayoritas Muslim –meskipun pergulatan Islam di nusantara itu sendiri telah terjadi sejak pertengahan akhir abad VII.
Sejak itu para pelancong dan penulis yang terlibat di dalam arus perdagangan itu mencatat dan menerbitkan berbagai buku atau naskah yang di dalamnya memuat berbagai informasi tentang situasi dan kondisi nusantara: cuaca, kepulauan, laut, sungai, berbagai jenis binatang, karakter keramahtamahan masyarakatnya serta para penguasa dan produk-produk hutan, pertanian dan hasil bumi lainnya seperti emas, kemenyan dan kapur barus.
***
Selama ini arus utama kajian tentang jalur rempah dan studi tetang awal mula Islamisasi baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh para pengkaji akademik di universitas dan lembaga-lembaga riset, termasuk luar negeri, nyaris terkonsentrasi sejak kedatangan para pelancong dan pedagang Eropa abad XV-XVI, khusunya sejak kolonial. Itu disebabkan karena data-data tertulisnya yang relatif tersedia.
Mrmsng, sebenarnya cukup bisa dimaklumi mengapa hal itu terjadi, mengingat keterbatasan ketersediaan data dan referensi serta akses terhadap sumber-sumber berbahasa non-Inggirs seperti bahasa Arab, China dan Persia serta India. Juga sansekerta dan aksara Jawa. Sejumlah peneliti Barat kini telah berusaha untuk mengakses terhadap sumber-sumber tersebut dan kemudian mereka menerbitkannya.
Namun hal itu masih sangat terbatas dan belum cukup untuk merekonstruksi pergulatan dan tolak angsur dalam proses Islam menjadi mayoritas di nusantara pra kedatangan orng Eropa.
Perugalatan peradaban Islam Nusantara itu sesungguhnya telah terjadi sejak sebelum berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di berbagai belahan nusantara. Dalam konteks ini, tradisi maritim dan pembentukan peradaban antar Islam dan lokalitas di tengah laut dan di pantai serta sungai, misalnya, merupakan sumbangan kekayasaan peradaban masyarakat nusantara kepada dunia yang masih sagat sedikit dieksplorasi oleh para peneliti dan pemerintah.
Era Islam sebelum kolonial sesungguhnya memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan spiritual pada peradaban dunia umumnya yang sangat signifikan. Fakultas Islam Nusantara UNUSIA hendak mengonestrasikan eksplorasi dan pencarian melalui penelitian pada era transisi masyarakat nusantara dari mayoritas Hindu-Buddha menjadi mayoritas Muslim antara abad XIII-XVI. Pada era itulah terbentuknya komunitas-komunitas sipil Muslim di nusantara dengan menciptakan sentesis dan hibridasi tradisi serta spiritualitas termasuk upacara-upacara keagmaan dan tradisi yang hidup di masyarakat (living tradition).
Islam Nusantara bukanlah ideologi apalagi aqidah. Islam Nusantara adalah semacam komuitas epistemik atau meminjam terma Ben Anderson adalah imagined communities. Ia merupakan blended dari berbagai unsur lokal dan Islam berupa kepercayaan, spiritual, upacara-upacara keagamaan serta tradisi yang hidup. Karenanya Islam Nusantara tidak mengeksklusi yang lain atau non Islam melainkan justeru mengingklusi. Ia merekognisi apa pun yang ada di dalam negara dan bangsa Indonesia dengan seluruh dimensinya melalui proses negosiasi dan revitalisasi.
Sesunggunnya semua agama, kepecayaan dan tradisi yang ada di nusantara ini mengalami hal yang sama, yaitu adaptasi, sintesis dan blended karena pergulatan dan pergaulan tersebut. Kristen, Budha, Hindu dan kepercayaan serta agama-agama dan sekte-sekte yang baru masuk Indonesia melakukan hal yang sama tersebut.
Berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di seantero nusantara mengiringi dan merupakan konsekuensi logis dari terbentuknya komunitas sipil Muslim atau komunitas epistemik tersebut, bukan sebaliknya. Inilah yang menjelaskan mengapa Islam masuk ke nusantara dan menjadi mayoritas melalu jalan damai, dialog dan sintesis.
Berbagai temuan penelitian arkelologis terbaru dan naskah-naskah filologis menunjukkan itu. Dalam waktu yang sama terbangun jaringan tasawuf dan tarekat yang masih perlu didalami lebih jauh. Berbeda dengan Eropa yang datang dengan moncong senjata, merebut paksa dengan kekerasan untuk memonopoli komoditas perdagangan sembari memaksakan sekularisme dan tumpangan misionaris agama Kristen.
Ini tidak berarti FIN-UNUSIA hendak menengok ke belakang semata melainkan justeru dari sanalah peradaban nusantara dan Indonesia kini harus dikayuh menyongsong masa depan untuk bersaing dengan peradaban dunia lainya. Ini bisa diilustrasikan mula-mula terbangunnya peradaban Eropa (renassance) di dalam masyarakat Barat. Bahwa renaissance di Barat sesungguhnya berangkat dari kesadaran akan kekayaan ilmu pengatahuan dan kearifan masa lampau yang mereka miliki. Lantas mereka lakukan pengkajian dan revitalisasi besar-besaran data-data kehidupan maupun yang bersifat filologis.
Dari pengkajian itulah mereka menemukan asal-usul dan akar mereka dari peradaban Yunani yang tidak bisa mereka akses kecuali merujuk pada pada pengakaji Muslim yang telah terlebih dahulu melakukannya. Hal yang sama terjadi pada tradisi awal Islam termasuk Islam nusantara. Pelacakan jauh ke belakang merupakan bagian dari kebangkitan peradaban itu untuk mencari dan menghidupkan kembali basis-basis warisan ilmu pengetahuan dan kearifan.
Islam dan Islam Nusantara harus belajar dan mereview pula dari karya-karya Barat yang sudah lebih dahulu melakukannya. Dengan demikian saling belajar antar peradaban dan sumber dunia adalah kemestian.
***
Berbagai narasi tentang situasi nusantara masa lalu: alam, manusia, hewan, rempah serta flora dan fauna dalam laut maupun di darat menjadi bagian dari konsen di dalam naskah atau kitab para pelancong Timur Tengah antara abad IX dan XIV. Hal itu menunjukkan khazanah intelektual dan juga spiritual yang kaya tentang nusantara, tentang hutan, lautan, kepulauan, dan karakter masyarakatnya.
Seorang pelancong dan penulis Al-Idrîsî (w. 1165 M), misalmya, dalam kitabnya berjudul “Nuzhah al-Musytâq fî Ikhtirâq al-Âfâq” menarasika gambaran tentang peta nusantara yang kini disebut Indonesia bersama dengan negara-negara tentangga yang kini disebut Asia Tenggara. Dalam buku itu juga diuraikan tentang berbagai bentuk hewan yang khas seperti harimau, gajah, orang utan, ular anaconda (sanca raksasa) yang bisa menelan gajah karena ukurannya yang sangat besar. Gambar-gambar di buku itu dilengkapi dengan deskripsi dalam observasi dan perpepsi sang penulis terhadap hewa-hewan itu yang dia saksikan.
Dalam suatu buku “al-Masâlik wa al-Mamâlik” karya al-Mas’ûdî (w. 956 M) dan “Rihlah al-Sîrâfî” karya Abû Zayd al-Sîrâfî (w. 979 M) juga diilustrasikan betapa kaya bangsa nusantara sehingga rajanya memberikan hiasan emas kepada semua miliknya dari rumah, pagar, kendaraaan hingga hewan peliharaannya seperti anjing dan kera.
Sebuah buku karya Ibn al-Baythâr (w. 1248 M) tentang kedokteran dan obtan-obatan yang berjudul “al-Jâmi’ li Mufradât al-Udwiyyah wa al-Ughdiyyah” menyajikan narasi tentang pohon-pohon rempah asal Nusantara seperti cengkih, pala, lada dan kapur barus sebagai bahan utama ramuan obat-obatan pada zamannya. Sebuah karya yang lain, al-Risâlah al-Fâdhiliyyah yang ditulis oleh seorang dokter dan filsuf Yahudi bernama Mûsâ b. Maimûn (Maimonides, w. 1204) bahkan menyuguhkan pembuatan dan racikan obat-obatan dari rempah.
Kitab dan naskah-naskah itu, sayangnya, masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan seperti di Andalusia dan Madrid di Spanyol, Aleksandria dan Kairo di Mesir serta London Inggris dan pepustakaan-perpusataan besar dan tua lainnya di Eropa dan Timur Tengah. Ini belum termasuk naskah dan buku informasi di China, India dan Iran yang tidak mudah diakses.
Menyadari bahwa usaha mengungkap era proses nusantara menjadi mayoritas Islam masih bersifat rintisa, maka event simposium internasional ini melibatkam setidaknya 18 narasumber utama dengan multisiplin dalam ilmu pengetahuan dari dalam dan luar negeri serta mengharap seratusan submit riset yang dibuka secara publik untuk dibahas bersama secara daring (bisa diakses via symposium.unusia.ac.id).
Partisipasi dari berbagai pihak tidak pandang agama, suku, bangsa, negara, keahlian dan usia akan memberikan kontrbusi bagi kemajuan peradaban bersama di masa depan.