FIN UNUSIA
Esai

THE SEARCH FOR “AUTHENTIC” SELF: On the Question of Representation in the Discourse of Postcolonial Islam in Indonesia

Oleh Masdar Hilmy (Dewan Penasihat ISNU Jawa Timur)

Interaksi dua poros peradaban yang berbeda—kolonial Barat dan dunia Timur—telah menghasilkan body of knowledge yang begitu kaya dan ekstensif tentang kajian paskakolonialisme. Sayangnya, kebanyakan kajian tersebut ditulis dalam konteks kolonialisasi dunia Barat atas bekas koloni Inggris di Asia Selatan (anak benua India). Dalam karyanya, Postcolonialism: A Very Short Introduction (2003), Robert Young mengkaji berbagai peristiwa, personalitas dan lokasi yang sebagian besar dilakukan di negara-negara eks-jajahan Inggris di Asia Selatan dan Timur Tengah, eks-koloni Perancis dan Afrika Utara, khususnya Aljazair, dan eks-koloni Portugis serta Spanyol di Amerika Latin. Sementara itu, kajian pascakolonial yang membahas negara-negara jajahan Eropa di belahan dunia lain seperti Asia Tenggara—khususnya Indonesia—masih sangat minim (Huat, 2008: 231).

Memang terdapat sejumlah artikel lepas yang dimuat di sejumlah jurnal seperti Postcolonial Studies, Interventions, Sophia dan lain-lain. Namun, sekali lagi, pembahasan tentang kajian Islam paskakolonial di Indonesia masih sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, terdapat sebuah artikel oleh Carool Kersten (2014) tentang paskakolonialisme di Indonesia yang berjudul “Islamic Post-Traditionalism: Postcolonial and Postmodern Religious Discourse in Indonesia” yang dimuat di jurnal Sophia. Secara spesifik Kersten mengkaji tentang kecenderungan wacana keagamaan di kalangan anak muda NU yang oleh Baso (2005) disebut sebagai “packatradisionalisme Islam”. Anak-anak muda NU ini merepresentasikan generasi ketiga NU yang terlahir pada dekade 1960-an dan 1970-an yang menggeluti pemikiran Arab kontemporer seperti Mohammed Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Dalam kertas kerja ini saya berargumen bahwa perdebatan pascakolonial seringkali menjadi persoalan representasi dalam mendefinisikan konsep kedirian yang autentik. Tidak lebih dan tidak kurang. Riuh-rendahnya dialektika sosial-intelektual kemudian sangat ditentukan oleh jejaring kepentingan sosial yang dihimpun dalam gugusan individu. Dari sinilah terbentuk apa yang disebut sebagai epistemic bloc, blok epistemik yang berisi gugusan individu yang diikat oleh jejaring kepentingan (web of interests) yang mengikat secara intelektual, sosial, ekonomi dan politik. Pada tahap selanjutnya, jejaring kepentingan inilah yang menentukan arah diskursus keagamaan yang dikembangkan oleh tiap-tiap blok epistemik tersebut. Agama hanya sekadar menjadi “bumbu penyedap” dalam pertukaran argumentasi yang dilontarkan oleh masing-masing blok.

Tinjauan Sekilas tentang Pascakolonialisme

Paskakolonialisme merupakan sebuah istilah yang diperebutkan pemaknaannya oleh banyak pihak, dan dia digunakan oleh para ilmuwan yang berbeda untuk menunjukkan situasi yang berbeda tentang budaya, ekonomi, dan politik dari negara-negara yang pernah berbagi dengan kolonialisme Eropa (McEwan, 2009). Ada juga ilmuwan yang menerjemahkan paskakolonialisme sebagai “a radical philosophy that interrogates both the past history and ongoing legacies of European colonialism [and American imperialism] in order to undo them” (Schwarz, 2005: 4). Di sisi lain, sejumlah ilmuwan lebih suka menggunakan istilah imperialisme (Said, 1993) atau neokolonialisme (Ashcrof et al, 2007) ketika mereka berbicara tentang paskakolonialisme sebagai sebuah relasi asimetris antara Barat dan Timur.

Pascakolonialisme, menurut Eagleton (1998), bermakna dua hal; pertama, bentangan waktu tertentu yang menunjukkan masa setelah terjadinya kolonialisme atau pascakolonialisme sebagai periode waktu. Kedua, pascakolonialisme sebagai sebuah nomenklatur akademis untuk merujuk pada sebuah upaya konseptual dari individu dan atau sekelompok individu tentang pola relasi antara dirinya dengan entitas kolonialisme yang terjadi sebelumny. Dalam ungkapan lain, pascakolonialisme sebagai sebuah upaya teoretisasi (theorizing endeavor) atas berbagai peristiwa, personalitas, gagasan, dan persepsi tentang pola relasi antara kolonialisme Barat dan dunia Timur.

Pascakolonialisme sebagai bentangan sejarah merujuk pada periodisasi waktu yang berisi peristiwa-peristiwa, fakta, maupun tasfir tentang sejarah yang direkam dan diperdebatkan oleh para ilmuwan. Barangkali konsep paskakolonial dalam konteks ini tidak memberikan signifikansi akademis apapun kecuali gugusan peristiwa yang terfragmentasi dan terlepas dari pola relasi antara satu dengan lainnya. Sementara itu, konsep pascakolonial sebagai sebuah theorizing endeavor menyiratkan sebuah pergumulan identitas yang dinamis dan dialektis dalam mempersepsikan dan mendefinisikan tentang konsep kedirian (the self) dan sang liyan (the other) serta tentang imajinasi masing-masing tentang tatanan kehidupan yang paling ideal menurut norma-norma yang mereka yakini.

Pergumulan identitas tersebut tidak jarang diwarnai oleh dialektika dan dinamika konfliktual dalam menjawab pertanyaan eksistensial tentang konsep kedirian dan sang liyan tersebut. Kecurigaan, prasangka, bahkan tuduhan dari pihak-pihak yang berdebat seringkali menyertai proses-proses dialektika tersebut. Masing-masing pihak tidak tarang terjebak dalam sikap argumentum ad hominem, yakni berdebat dengan menyasar orang perorang yang terlibat di dalamnya, bukan substansi argumentasinya. Sebagai akibatnya, muncullah stigmatisasi dan stereotipisasi sebagai kanalisasi bagi ketidakmampuan pihak-pihak yang terlibat untuk sampai pada satu titik kompromi tertentu. Pendek kata, mereka sampai pada situasi state of war secara pemikiran akibat dari kegagalan mereka melakukan resolusi konflik secara intelektual.

Amplitudo dan resonansi dialektika pemikiran di ruang publik tentang konsep kedirian, sang liyan dan imajinasi the ideal state of order bahkan terasa lebih kuat getarannya ketika elemen-elemen keagamaan terselip di dalamnya. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat perdebatan tersebut seringkali diiringi oleh truth claim masing-masing pihak untuk menjustifikasi posisi masing-masing yang biasanya diderivasi dari ajaran agama yang diyakini masing-masing. Sebagai sebuah entitas yang dipersepsi sebagai the sacred, esensi perdebatan terkadang menyerempet pada hal-hal yang menyangkut self-esteem (konsep tentang harga diri). Sekalipun jika ditelusuri secara lebih seksama, hadirnya unsur agama dalam dielaktika sosial-intelektual lebih merupakan faktor bumbu penyedap ketimbang persoalan inti. Artinya, ada faktor-faktor di luar agama yang men-drive dialektika sosial-intelektual tersebut yang kemudian diperburuk oleh hadirnya sentimen keagamaan.

Terdapat sekurangnya tiga ilmuwan yang secara konsisten membahas teori pascakolonial: Edward Said (1978 & 1994), Spivak (1990 & 1999) dan Homi Bhaba (1997). Teori-teori pascakolonial pada mulanya dikembangkan dalam dunia sastera dan ilmu humaniora untuk menyuarakan berbagai fenomena kehidupan bangsa-bangsa Timur setelah masa kolonialisme berakhir. Edward Said, melalui karyanya yang sangat masyhur, Orientalism (1978), menganggap kolonialisme bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur sebagai proyek politik untuk mengeksploitasi segenap sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini, Said menganggap Barat sebagai subyek dan Timur sebagai obyek. Apapun argumentasi yang digunakan sebagai pembenar tindakan kolonialisme seperti mengenalkan peradaban yang lebih maju, menurutnya hal itu sebagai kedok bangsa-bangsa Barat untuk menutupi aib tindakannya sendiri dalam rangka menancapkan kepentingannya pada bangsa-bangsa terjajah.

Lebih jauh Said mengaitkan antara pengetahuan dengan kuasa, lebih tepatnya kehendak untuk menguasai (the will to power). Pengetahuan merupakan gugusan perspeksi, asumsi dan fakta yang kemudian diolah menjadi basis untuk menaklukkan dan menguasai wilayah yang menjadi obyek pengetahuan. Jadi, pengetahuan disusun untuk sesuatu beyond pengetahuan; penguasaan dan pengendalian wilayah yang terjajah. Negara-negara kolonialis seringkali menggunakan retorika menanamkan peradaban, mengenalkan norma baru, mendidik para inlander pribumi, menghilangkan keterbelakangan, dan seterusnya. Dalam konstruksi pemikiran semacam ini, Eropa dianggap sebagai kemajuan dan peradaban; sementara Timur sebagai keterbelakangan. Pandangan merendahkan semacam ini tidak saja menyasar norma dan tradisi masyarakat setempat, tetapi merambah ke gaya hidup sehari-hari seperti tata cara makan (table-manner), cara berpakaian (dress-code), sampai cara ramah-tamah atau berkomunikasi.

Kaum muda vs kaum tua

Awalnya adalah penggunaan ilmu-ilmu sosial ala “Barat” sebagai alat bantu oleh sebagian kaum Muda di tubuh NU tentang perlunya mendialogkan khasanah tradisi keislaman dengan modernitas. Mereka begitu “kesengsem” dengan displin keilmuan modern yang dilakukan melalui kajian-kajian intensif tentang Islam kiri-nya Hassan Hanfi, Hermeneutika hukum Islam-nya Nasr Hamid Abu Zaid, kajian-kajian paskamodernisme, budaya, kajian-kajian gender, dan semacamnya. Dari sinilah muncul sayap-sayap intelektual kaum muda Muslim seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Lakpesdam NU, Fahmina di Cirebon, dan lain sebagainya. Gerakan anak-anak muda ini membentuk sebuah blok epistemik sebagai respresentasi kaum muda yang menggugat kemapanan tafsir keagamaan kaum Tua (baca: kiai) yang dianggapnya sudah tidak mampu lagi mengakomodasi perkembangan zaman. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan epistemologis di antara kedua generasi yang berbeda usia tersebut. Generasi muda merepresentasikan dunia baru yang harus berdialog dengan tantangan zaman (multi dan interdisipliner), sementara generasi tua mereprsentasikan status-quo tafsir keagamaan yang monodisipliner.

Untuk menggambarkan terjadinya kesenjangan di antara dua generasi tersebut, muncullah kajian-kajian sosiologis yang menggambarkan antusiasme anak-anak muda NU yang berada di jalur kultural hibrida: antara identitas keagamaan lama sebagai warga NU dan perjumpaannya dengan realitas dunia baru yang serba kompleks dan multifaset (Salim, 1999). Keterpaparan anak-anak muda terhadap dunia Pendidikan non-pesantren menjadi faktor determinan dalam pembentukan blok epistemik yang berbeda dari para kiai pesantren. Di akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an, terdapat gelombang besar partisipasi anak-anak muda NU dalam dunia Pendidikan sekolah. Sebagian mereka, bahkan tidak sedikit dari kalangan keluarga pesantren, tidak lagi memandang dunia persekolahan sebagai sesuatu yang tabu atau bahkan terlarang. Bahkan banyak dari mereka yang melanglang buana ke dunia Barat untuk mengejar Pendidikan tingginya untuk mencicipi banyak universitas terbaik di dunia yang sebagian besar terletak di dunia Barat (AS, Canada, Eropa, dan Australia). Mereka mempersepsikan perjumpaan dengan modernitas ketika mereka terpapar dengan peradaban Barat modern yang berasal dari negara-negara tersebut.

Dalam banyak hal, keterpaparan sejumlah anak muda NU dengan gagasan baru di luar arus-utama merupakan buah dari sentuhan tangan dingin KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam mendampingi, mendidik dan melibatkan mereka secara langsung dalam kajian-kajian keagamaan (Bustaman-Ahmad, 2004: 122-123). Ia hadir sebagai salah satu role-model bagi kalangan muda NU yang tergila-gila dengan ide-ide segar pembaruan Islam Gus Dur seperti “pribumisasi Islam”. Lahirnya Lembaga Kjian Islam dan Sosial (LKiS) di Jogjakarta merupakan salah satu hasil dari sentuhan tangan dingin Gus Dur dalam mendampingi anak-anak muda yang haus akan pengetahuan-pengetahuan baru. Sosok Gus Dur merepresentasikan perpaduan yang sempurna antara khasanah klasik pemikiran khas pesantren dengan pemikiran modern Barat. Bagi anak muda NU, sosok Gus Dur menjelma sebagai “jembatan epistemologis” yang menghubungkan antara visi tradisionalisme pesantren NU dan peradaban modern. Dia telah menginspirasi banyak anak muda NU untuk berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat modern seperti Karl Marx, Max Weber, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka adalah para santri alumni pesantren yang bahkan memilih studi lanjut di tingkat pascasarjana (S2 dan S3) di sejumlah universitas terkemuka di negara-negara Barat.

Keterpaparan dengan gagasan-gagasan pembaruan dan peradaban Barat ternyata menjalari dunia Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia. Kajian-kajian keislaman dilakukan secara tandem dengan bantuan ilmu-ilmu sosial seperti filsafat, sosiologi, filologi dan teori-teori sosial lainnya. Di sejumlah PTKIN seperti IAIN dan UIN, kajian akademik telah menggunakan alat bantu modern seperti hermeneutika, teori ilmu sosial, dan semacamnya. Sebagai akibatnya, kajian keislaman yang dikembangkan di PTKIN sangat diwarnai oleh pemikiran-pemikiran dekonstruskionis seperti pemikiran Al-Jabiri, Jasser Auda, An-Naim, dan semacamnya. Dalam derajat tertentu, masuknya pemikiran semacam ini tidak bisa dilepaskan dari peran seorang intelektual Muslim modernis, M. Amin Abdullah, yang mengajarkan “virus-virus pembaruan” ke dalam kesadaran para anak didiknya, terutama di tingkat doktoral (Kersten, 2014: 485-87). Di bawah mata kuliah Metodologi Studi Islam, M. Amin Abdullah mampu “menghipnotis” ratusan, bahkan ribuan, anak didiknya di jenjang S3—baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah—untuk lebih terbuka (open-minded) menerima pembaruan-pembaruan pemikiran keislaman.

Keterpaparan anak-anak muda, baik di kalangan NU maupun Muhammadiyah, dapat dimaknai dalam dua perspektif; pertama, perjumpaan secara intelektual dengan literatur Barat modern. Dari sinilah mereka mengenal teori-teori modern, di antaranya adalah teori-teori paskakolonialisme, teori paskamodernisme, teori wacana kritis, kajian budaya, kajian gender, dan teori-teori ilmu sosial lainnya. Mereka memeroleh stok pengetahuan baru dari hasil bacaan mereka secara otodidak maupun dari training formal di Lembaga Pendidikan tinggi di Indonesia melalui bimbingan para akademisi. Kemudahan mereka dalam mengakses literatur Barat difasilitasi oleh gelombang penerjemahan sejumlah karya berbahasa asing (Inggris maupun Arab) ke dalam Bahasa Indonesia. Ketika mereka menggunakan teori wacana kritis dalam menganalisis realitas sosial-politik, misalnya, mereka tidak harus susah-susah mencari sumber aslinya dalam Bahasa asing. Mereka cukup mencari buku-buku terjemahan yang relevan dengan bahan kajian dimaksud. Terlebih dengan kemudahan IT seperti sekarang ini, sumber-sumber daring menyediakan bahan bacaan yang melimpah tentang apapun yang mereka cari. Semuanya ada di internet dan tinggal “klik” untuk mencarinya.

Kedua, keterpaparan mereka terjadi dalam bentuk fisik sekaligus intelektual sebagai akibat dari petualangan mereka ke sentra-sentra peradaban Barat modern. Dari sinilah mereka mengakumulasi stok pengetahuan baru yang relatif berbeda dari pengetahuan yang diajarkan di dunia lama mereka; pesantren. Sebagaimana kita ketahui bersama, model Pendidikan di Barat menawarkan keunggulan kajian kritis-metodologis yang dapat melengkapi khasanah pengetahuan lama mereka. Apa yang mereka kaji di sejumlah universitas di Barat bersifat melengkapi dan memperkuat daya kritisisme dan metodologi kajiannya. Dalam sejumlah kajian, mereka bahkan terpapar dengan sejumlah metode dekonstruktif-induktif dalam kajian Islam. Tidak seperti kajian keislaman di sentra-sentra Pendidikan Islam di Indonesia yang lebih bersifat normatif-deduktif, warna kajian keislaman yang mereka geluti di Barat cenderung induktif-empiris dan berbasis data lapangan.

Sebagian dari mereka yang terpapar dengan metodologi kajian keislaman di Barat mentransformasikan diri mereka menjadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Mereka melihat peradaban Barat secara substantif sebagai representasi dari kondisi kehidupan yang ideal dibanding dengan kehidupan di negara asal mereka. Mereka banyak mengalami transformasi pemikiran dengan melihat segala sesuatu secara substantif dan kontekstual, bukan artifisial dan permukaan. Harus diakui, ada proses perubahan orientasi berpikir di kalangan pelajar Muslim yang belajar di Barat dalam memandang relasi agama-negara. Banyak dari mereka menjadi semakin rasional dalam melihat persoalan agama sebagai sebuah identitas dan sebagai sebuah substansi ajaran. Sebagai sebuah identitas, wajah keagamaan mereka tidak perlu ditampakkan di ruang publik sebagai bagian dari penghargaan atas kemajemukan masyarakat multikultural. Sebagai sebuah substansi ajaran, mereka cenderung lebih selektif dalam mentransformasikan nilai-nilai agama di ruang publik. Tidak semua ajaran agama mesti terobjektivasi di ruang publik karena sebagian ada yang bersifat privat.

Gejala Xenophobia: Resistensi dari dalam

Gelombang pemikiran baru yang diperkenalkan oleh sejumlah kaum muda NU ternyata menemui resistensinya di kalangan internal warga Nahdliyin. Sebagai contoh, hermeneutika yang dipersepsi sebagai metode berpikir dari Barat dianggap tidak relevan dengan khasanah tradisi klasik pesantren dan NU yang khas. Hermeneutika diperspesi sebagai “makhluk asing” yang menyelinap masuk ke dalam spektrum pemikiran Nahdliyin untuk merusak bangunan struktur keilmuan yang sudah mapan di kalangan kiai NU (Baso, 2005: 338). Sebagian kiai NU yang menolak kehadiran hermeneutika menganggap bahwa Jaringan Islam Liberal (JIL)-lah yang harus bertanggungjawab terhadap masuknya elemen-elemen berpikir dari luar yang tidak senafas dengan watak dasar keilmuan NU dan, karena itu, harus ditolak. Para kiai sepuh NU begitu mengkhawatirkan generasi mudanya yang mulai akrab dengan diskursus modern Barat yang dianggap dapat menggerus kualitas ke-Aswaja-an, bahkan keislaman, mereka.

Wacana kritis generasi muda NU dalam diskursus keislaman di ruang publik ternyata memantik tanggapan dan tidak sedikit resistensi dari sebagian kalangan kiai. Dari sinilah muncul istilah “NU Garis Lurus” yang hendak mengafirmasi posisi mereka untuk membentengi warga Nahdliyin terhadap godaan intelektual liberalisme Islam. Dimotori oleh tokoh-tokoh NU berbasis pesantren dan Pendidikan Timur Tengah seperti KH Luthfi Bashori dari Malang, Idrus Ramli dari Jember, Ustadz Abdus Shomad (UAS) dari Riau, NU Garis Lurus hendak mendekonstruksi warisan pemikiran yang ditinggalkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan juga KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU. NU Garis Lurus mengambil posisi yang keras terhadap seluruh pemikiran Islam yang berbau Syi’ah atau liberal. Pada Muktamar NU di Jombang tahun 2015, NU Garus Lurus mencoba untuk membendung kepemimpinan KH Said Aqil Siroj tetapi gagal (Iqbal, 2021: 95-96).

Gelombang penolakan bahkan tidak saja datang dari kalangan kiai NU. Sebagian generasi muda NU yang memiliki kiprah intelektual bagus pun larut dalam penolakan gagasan baru yang diperkenalkan ke dalam tubuh NU. Gagasan “post-tradisionalisme” Islam, sebagaimana diusung oleh Ahmad Baso, barangkali dapat dijadikan sebagai eksemplar penolakan terhadap gagasan-gagasan baru anak muda NU yang tergabung dalam JIL. Melalui karyanya, Islam Pasca-kolonial (2005), JIL bahkan dikritik sebagai representasi dari perselingkuhan antara agama, kolonialisme dan liberalism. Menurutnya, “NU tidak memerlukan Islam liberal karena NU sudah punya tradisinya sendiri dalam menyikapi setiap masalah dan juga punya mekanismenya sendiri dalam memperbarui segenap pikiran dan gagasan lama. Inilah yang saya [AB] sebut dulu “post-tradisionalisme Islam” sebagai imbangan terhadap Islam liberal” (Baso, 2005:342).

Posisi akademik Baso sebenarnya terkesan hendak mengambil jalan tengah: neither-nor, bukan di kiri (liberal) dan bukan pula di kanan (konservatif). Sebagai pembeda, dia mengambil nama “post-tradisionalisme Islam”, bukan modernisme Islam atau liberalisme Islam sebagaimana banyak dikaji di awal dekade 2000-an. Dia memandang bahwa psosisi Islam liberal dalam spektrum pemikiran NU tidak merepresentasikan jalan pemikiran yang autentik akibat penggunaan sejumlah disiplin keilmuan yang tidak digali dari khasanah klasik pesantren. Dia mengeritik terhadap posisi JIL yang dianggapnya tidak memiliki legitimasi identitas kecuali “kebebasan berpikir” sebagai penanda yang membuat mereka diklaim sebagai kelompok moderat, dan bukan kelompok “Islam kanan”. Hal yang demikian ini, lebih jauh menurut Baso, dilakukan “bukan melalui tradisi karena mereka tidak memiliki tradisi, atau paling tidak meragukan efektivitas tradisi sebagai energi pembebasan dari hegemoni” (Baso, 2005: 343).

Selain datang dari kalangan anak muda NU sendiri, gerakan antiliberalisme juga datang dari satu blok epistemik yang bernama INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) yang diketuai oleh Hamid Fahmy Zarkasy, salah satu putra mahkota pondok modern Gontor Ponorogo. Bersama rekan-rekannya yang lain seperti Syamsuddin Arif dan Adian Husaini—sebagian besar alumni pondok Gontor dan International Islamic University dan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia—INSIST melakukan kajian secara lebih ekstensif dalam bentuk buku dan artikel akademik yang mengertitik liberalisme Islam ala JIL sebagai bagian dari proyek kolonialisme baru untuk menaklukkan Islam dan Indonesia (Zarkasy, 2009). Zarkasy berargumen bahwa kolonialisasi modern tidak lagi berbentuk eksploitasi sumber daya alam dan manusia, tetapi telah bergeser menjadi monopoli perdagangan, penguasaan sistem ekonomi politik dan liberalisasi perdagangan. Sejalan dengan itu, bangsa-bangsa kolonialis modern “berkepentingan untuk menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga ide-ide atau pemikiran Islam dan ummat Islam sejalan dengan pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya kepentingan ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat berjalan dengan mulus” (Ibid: 23).

Seolah hendak menopang argumentasi Zarkasy, Syamsuddin Arif yang juga anggota INSIST dan mengajar di Universitas Darussalam Gontor Ponorgo ikut menghujat pemikiran Islam yang dikembangkan oleh JIL dalam karyanya Islam Liberal, pluralism agama & diabolisme intelektual (2005). Melalui buku ini dia hendak mengatakan bahwa para pengusung liberalisme dan sekularisme Islam sebagai perilaku diabolis, yakni iblis, yang cenderung mengingkari pesan-pesan dan kebenaran Islam. Menurutnya, pengetahuan keagamaan harus duiikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk mengikutinya. Terhadap para pengikut liberalism dan sekularisme Islam, dia menyebutnya sebagai intelektual yang mengikuti gaya iblis dengan tiga ciri utama: (i) selalu membantah dan membangkang terhadap kebenaran; (ii) sombong, arogan dan takabbur atas keilmuannya, dan; (iii) meremahkan orang lain yang tidak sepaham dengan mereka dengan menyebutnya sebagai dogmatis, literalis, fundamentalis, logosentris, dan konservatif.

On being “Authentic”: Persoalan Representasi dalam Diskursus Islam Pascakolonial

Diskursus keislaman di Indonesia pascakolonial menggambarkan imajinasi dan pencarian jalan menuju kedirian yang autentik (authentic self) di tengah tarik-menarik antara keaslian ajaran agama dan gagasan tentang kemajuan dan peradaban. Secara umum, imajinasi dan pencarian autenstisitas ini menggejala di kalangan anak muda Muslim, baik NU (JIL) maupun Muhammadiyah (JIMM). Hal ini mengindikasikan antusiasme yang sama di kalangan anak muda untuk terus bergerak maju menapaki lorong perubahan zaman sembari tetap berada pada prinsip-prinsip dasar ajaran agama yang mereka yakini. Selama lebih dari dua dasawarsa (dekade 19990-an dan 2000-an), sekelompok kaum muda ini melakukan kerja-kerja intelektual pembaruan Islam secara kolektif di kelompoknya masing-masing. Dari sinilah berbagai persoalan keummatan, kebangsaan dan kemanusiaan diurai melalui optik akademik yang menggabungkan antara khasanah keilmuan keislaman dan teori-teori ilmu sosial kritis.

Di antara isu-isu tematik yang ramai diperdebatkan di kalangan mereka adalah tentang agama dan demokrasi, hak asasi manusia (HAM), kesetaraan gender, kebebasan beragama, hubungan antara agama dan negara, dan lain sebagainya. Isu-isu tersebut menjadi simpul peradaban dan kemajuan. Oleh karena itu, secara umum wacana keagamaan yang dikembangkan oleh mereka di seputar isu-isu tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, HAM, kebebasan beragama, dan kesetaraan gender. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pendasaran dalil-dalil keagamaan yang digunakan oleh mereka tidak harus bersifat verbatim, replikatif, tekstual, dan letterlijk, namun lebih memilih substansi ajaran yang dikandung oleh tema-tema dimaksud yang secara keseluruhan bertujuan untuk memuliakan dan memanusiakan ummat manusia, tanpa kecuali.

Dari sisi keagamaan, kelompok muda ini lebih banyak menyandarkan argumentasi mereka pada kritik nalar Arab-nya Abid Al-Jabiri, al-daruriyat al-khams atau maqashid al-shari’ah-nya al-Shatibi, digabung dengan perangkat keilmuan modern seperti filsafat, bahasa, budaya, dan teori-teori ilmu sosial lainnya. Argumentasi keagamaan yang dikembangkan oleh kalangan muda terlihat lebih antroposentris, ketimbang teosentris, demi membela dan memuliakan hak-hak dasar manusia (Misrawi, 2002). Agama ditempatkan sebagai sarana, bukan tujuan, untuk menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Sejalan dengan argumentasi ini, ibadah ritual dalam Islam harus berdampak positif bagi pengembangan kehidupan manusia yang lebih baik. Bukan malah sebaliknya, agama dipersepsi sebagai bentuk pengabdian manusia kepada Tuhan dengan memberikan dan mengorbankan apa yang manusia miliki untuk-Nya.

Dalam proses produksi pengetahuan baru ini terdapat persilangan atau arsiran antara paskakolonialisme sebagai sebuah theorizing endeavor dengan ilmu sosial kritis. Ilmu sosial kritis digunakan sebagai mekanisme untuk mendukung argumentasi bagi gagasan baru yang lebih pro terhadap peradaban dan kemajuan, atau bahkan dipakai untuk sebaliknya: menghantam individua tau kelompok yang dianggap liberal dan sekuler. Artinya, keduanya diracik dan diramu oleh dua kelompok yang memiliki argumentasi berbeda. Para pengeritik liberalisme menggunakan teori paskakolonial dan ilmu sosial kritis untuk mengkritisi jalan menuju peradaban baru yang dianggap mereplikasi secara verbatim jalan Barat menggapai peradabannya. Mereka mengeritik para penganjur liberalisme Islam karena secara epistemologis antara Barat dan Islam memiliki akar yang berbeda; sementara Barat memajukan peradabannya dengan mengusung sekularisme atau membuang agama dari ruang publik, Islam dianggapnya sebagai sumber nilai dan ajaran yang tetap relevan dengan kebutuhan zaman.

Pertanyaannya adalah, mengapa terjadi perbedaan argumentasi antara kaum muda penganjur peradaban dan kemajuan dengan para pengeritiknya? Menurut analisis saya, terdapat persoalan representasi dalam diskursus keislaman yang terjadi di Indonesia paskakolonial. Sudah tentu para penganjur kemajuan tersebut diikat oleh semangat yang sama untuk tampil terdepan sebagai juru bicara Islam yang lebih kontekstual. Dengan demikian, individu-individu yang ada di dalamnya diikat oleh gugusan common interests, baik yang bersifat tangible maupun intangible. Dialektika antara yang pro dan kontra terhadap kemajuan tersebut pada tahap selanjutnya membentuk apa yang disebut sebagai web of interests, jejaring kepentingan, di antara mereka. Pola representasi ini agak mirip dengan pertanyaan yang diajukan oleh Esposito & Mogahed (2007): “Who Speaks for Islam?”. Siapa sebenarnya yang paling otoritatif untuk berbicara mewakili Islam?

Dengan mengusung nomenklatur yang berbeda-beda, setiap individua tau kelompok muda Muslim sebenarnya tengah mengajukan proposisi yang sama tentang kedirian yang autentik (authentic self). Di satu sisi, para penganjur kemajuan mengambil pola sentrifugalisme intelektual dalam mengembangkan argumentasi untuk kemajuan. Mereka cenderung membuka diri terhadap narasi, teori, dan metodologi berpikir baru yang dianggapnya relevan dengan kebutuhan zaman. Sekalipun demikian, dua sumber suci dalam Islam, Al-Qur’an dan Hadis, tetap diperlakukan sebagai rujukan inspirasi yang bersifat kontekstual. Bagi para penganjur kemajuan, dengan demikian, ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadis Nabi tidak mudah untuk dibongkar-pasang sebagai basis argumentasi kedirian yang autentik. Mereka lebih suka mengambil aqwal al-‘ulama dari khasanah tradisi keislaman (al-ulum al-tafsir, al-‘ulum al-hadith, fiqh, dan semacamnya) yang diramu dengan khasanah keilmuan modern, ketimbang merujuk langsung kepada dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis.

Di sisi lain, para pengeritik liberalisme Islam lebih menggunakan pola sentripetalisme intelektual dengan cara mendahulukan perujukan terhadap diksi-diksi harafiyah al-Qur’an dan Hadis ketimbang mengakomodasi al-aqwal al-ulama dan para ilmuwan modern dalam mendefinisikan konsep kedirian autentik. Definisi tentang kedirian autentik sangat dipengaruhi oleh imajinasi mereka tentang prestasi ummat Islam pada masa Abad Keemasan (the Golden Age of Islam). Selain itu, dalam derajat tertentu, mereka juga berada di bawah bayang-bayang modus purifikasionisnya Ibn Taymiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Abu al-A’la al-Mawdudi, dan Hasan al-Banna. Sementara itu, sederet nama filosof kontemporer seperti Ismail Raji al-Faruqi (1982) dan Syed Naquib Al-Attas (2001) menjadi sumber inspirasi dalam hal Islamisasi sains. Terutama nama terakhir menjadi faktor dominan dalam proses produksi gagasan para penentang liberalisme Islam karena dia menjadi “mentor intelektual” beberapa pegiat INSIST selama mereka berguru di Malaysia.

Baik di kalangan para penganjur maupun penentang liberalisme Islam, masing-masing telah membentuk epistemic bloc yang sudah barang tentu sulit dipertemukan. Konstruksi wacana keagamaan yang dikembangkan selalu mengambil argumentasi yang berbeda satu sama lain. Kenyataan ini meneguhkan asumsi bahwa keduanya ditopang oleh hadirnya kepentingan yang saling berbeda. Dalam hal imajinasi tentang kedirian autentik, barangkali keduanya akan sampai pada satu titik pertemuan yang sama: sama-sama mengidealkan kemajuan peradaban Islam. Namun demikian, metodologi berpikir dan argumentasi keagamaan yang diambil keduanya hampir bisa dipastikan tidak mudah untuk bertemu. Inilah yang menyebabkan munculnya prasangka, stereotipisasi bahkan stigmatisasi satu sama lain yang semakin memperlebar jarak epistemologis dan sosiologis di antara keduanya.

Kesimpulan

Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diskursus Islam paskakolonial di Indopnesia diwarnai oleh dialektika intelektual yang cukup dinamis antara penganjur dan penentang liberalisme Islam. Dalam imajinasi mereka, diskursus tentang Islam paskakolonial harus menghasilkan konsep dan definisi tentang the authentic self. Hanya saja, di tingkat operasional-aplikatif, dijumpai perbedaan metodologi berpikir dan argumentasi keagamaan yang dapat menciptakan epistemic bloc sekaligus melebarkan jarak epistemologis dan sosialogis di antara keduanya. Para penganjur liberalisme Islam cenderung menggunakan pola keberagamaan yang bersifat sentrifugal (menjauh dari episentrum ortodoksi), para penentangnya lebih menggunakan argumentasi sentripetalisme (kembali kepada episentrum ortodoksi).

Selain itu, keduanya memperlakukan kedua sumber teks suci dalam Islam, al-Qur’an dan Hadis, secara berbeda. Bagi para pengajur liberalisme Islam, keduanya lebih bersifat sebagai sumber inspirasi untuk menghasilkan narasi tentang kedirian yang autentik. Mereka tidak menggunakan keduanya sebagai rujukan langsung dalam ijtihad keagamaan, tetapi lebih banyak memanfaatkan gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh para ulama, intelektual dan ilmuwan—baik Muslim maupun non-Muslim—untuk menghasilkan ijtihad yang lebih induktif, antroposentris, dan progresif. Sermentara itu, bagi para penentang liberalisme Islam, mereka lebih tertarik dengan imajinasi masa keemasan Islam di Abad Pertengahan dan menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan langsung dalam menghasilkan narasi dan argumentasi tentang kedirian yang autentik tersebut.

BIOBLIOGRAPHY

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (2001). Prolegomena to the Metaphysic of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Arif, Syamsuddin (2005). Islam Liberal, pluralism agama & diabolisme intelektual. Surabaya: Risalah Gusti.

Ashcroft, B., et al. (2007). Postcolonial studies: The Key concepts. New York: Routledge.

Baso, Ahmad (2005). Islam Pasca-kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan.

Bhaba, Homi (1997). “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, in Frederick Cooper & Ann Laura Stoler (eds.), Tensions of Empire: Colonial Cultures in a Bourgeois World. Berkeley: University of California Press.

Bustaman-Ahmad, Kamaruzzaman (2004). “Metamorfosis Pemikiran Intelektual Muda NU: Suatu Pandangan dari Outsider NU”, Millah, Vol. IV/No. 1 (August): 111-126.

Eagleton, Terry (1998). “Postcolonialism and ‘postcolonialism’”, in Interventions: International Journal of Postcolonial Studies, Vol. 1/No. 1: 24-26.

Esposito, John L. & Dalia Mogahed (2007). Who Speaks for Islam? What a billon Muslims really think. New York: Gallup Press.

Al-Faruqi, Ismail Raji (1982). Islamization of Knowledge: general principles and work-plan. London: International Institute of Islamic Thought.

Huat, Chua Beng (2008). “Southeast Asia in Postcolonial Studies: an introduction”, in Postcolonial Studies, Vol. 11/No. 3: 231-240.

Iqbal, Asep M. (2021). “Challenging Moderate Islam in Indonesia: NU Garis Lurus and its construction of the “authentic” NU online”, in Leonard C. Sebastian, et. al. (eds.), Rising Islamic Conservatism in Indonesia: Islamic Groups and Identity Politics. New York & London: Routledge, 95-115.

Kersten, Carool (2014). “Islamic Post-Traditionalism: Postcolonial and Postmodern Religious Discourse in Indonesia”, Sophia, Vol. 54/No. 4 (2015): 473-489.

McEwan, C. (2009). Postcolonialism and development. London: Routledge.

Misrawi, Zuhairi (2002). “Postradisionalisme Islam: dari Teologi Teosentrisme menuju Teologi Antroposentrisme”, Millah, Vol. II/No. 1 (Agustus): 22-36.

Said, E.W. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.

Said, E.W. (1994). Culture and imperialism. New York: Knopf.

Schwarz, H. (2005). “Mission impossible: Introducing post-colonial studies in the U.S. academy’, in H. Schwarz & S. Ray (eds.), A companion to post-colonial studies. Blackwell Publishing Ltd: 1-20.

Spivak, Gayatri Chakravorty (1990). The Postcolonial Critic: Interviews, Strategies, Dialogues. London & New York: Routledge, 1990.

Spivak, Gayatri Chakravorty (1999). A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Young, Robert J.C. (2003). Postcolonialism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.

Zarkasy, Hamid Fahmy (2009). “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis”, Tsaqafah, Vol. 5/No. 1 (2009): 1-28.

Related posts

Perempuan dan Islam Nusantara: Reclaiming Her Story

Admin FIN

Otoritas Agama VS Republik Gawai: Tantangan bagi Islam Nusantara*

admin

Islam Nusantara Melampaui Moderat dan Radikal

Admin FIN