FIN UNUSIA
Esai

TOPONOMI JAWA DALAM NASKAH BUJANGGA MANIK

Naskah Bujangga Manik merupakan naskah kuno berbahasa sunda yang ditulis pada akhir abad 15 atau awal abad 16 oleh seorang pangeran dari kerajaan Pakuan, Pajajaran yang bergelar Jaya Pakuan. Pangeran Jaya Pakuan meninggalkan tahta kerajaan dan memilih menjadi seorang resi (Brahmana). Perkiraan tahun penulisan ini dapat dilihat dari keterangan waktu yang tertulis di naskah ini: ”Ku ngaing gues kaideran lurah-lerih Majapahit palataran alas Demak” (Aku berkelana, melewati wilayah-wilayah berbeda di Majapahit dan derah dataran Demak). Baris ini menunjukkan bahwa perjalanan Bujangga Manik didlakukan pada era Majapahit dan Demak.

Naskah ini merupakan catatan perjalanan dari sang Pangeran mengelilingi pulau Jawa hingga ke Bali. Ditulis di daun lontar yang berjumlah 29 lembar, tiap lembar rata-tara terdiri dari 59 baris, Jumlah keseluruhan ada 1.756 baris. Gaya penulisan  dalam bentuk puisi yang setiap baris terdiri dari 8 suku kata.

Menurut catatan Noorduyn (1968, 429) dan Ricklefs/Voorhoeve, 1977, 181)  ( Naskah ini disimpan di Bodleian Library, Oxford Unversity  sejak tahun 1627 berasal dari seorang pedagang dari Newport bernama Andrew James. Menurut penjelasan Atep Kurnia, peneliti literasi Pusat Studi Sunda,  yang membawa naskah tersebut ke Inggris sebenarnya adalah Richard James pada akhir abad 16. Kemungkinan Richard menerima naskah saat dia mengikuti ekspedisi pelayaran Inggris ke Nusantara. Pada ekspedisi ke tiga yang dipimpin Sir James Lancaster, tahun 1601 sempat mendarat di Banten. Pada saat inilah diperkirakan Richard menerima naskah Bujangga Manik. Oleh Richard, naskah ini kemudian diserahkan kakaknya yang bernama Andrew Jones untuk diserahkan di perpustakaan Bodleian.

Naskah ini menjadi sejak diteliti oleh Nourduyn, Ricklefs dan Voorhoeve pada tahun 1968. Artinya, naskah Bujangga Manik ini baru menjadi perhatian publik setelah tersimpan di perpustakaan Bodleian  selama 340 tahun. Dalam penelitian ini Nourduyn membandingkan naskah Bujangga Manik dengan Negarakretagama, Jyang Kamanikam dan beberapa naskah Nusantara lainnya. Selain  melakukan penelitian mengenai isi dan kandungan pengetahuan dari naskah Bujangga Manik, Nourduyn bersama A. Teeuw juga menerjemahkan naskah tersebut dalam bahasa Inggris. Hasil terjemahan ini dimuat dalam buku Three Old Sundanese Poem. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh A. Teeuw bersama Undang Sudarsa dari Universitas Pajajaran Bandung.  bahan kajian menarik bagi para peneeliti.

Naskah ini sekarang menjadi bahan kajian manarik tidak hanya bagi peneliti maupun kalangan akademik tetapi juga para budayawan, komunitas adat dan masyrakat. Mereka menjadikan serat Bujangga Manik sebagai bahan diskusi yang kemudian di tulis dan diunggah di berbagai portal dan media sosial. Selain itu banyak juga yang menerjemahkan naskah ini dalam bahasa Indonesia dalam berbagai versi. Jika kita searching di google dengan kata kunci Bujangga Manik akan muncul sekitar 46.700 hasil. Ini menunjukkan naskah ini menjadi bahan perbincangan yang menarik di kalangan masyarakat. 

Satu hal yang menarik dari naskah ini adalah penyebutan berbagai nama tempat yang ada di pulau jawa secara rinci. Iskandar Wassid yang melakukan terjemahan naskah Sunda menemukan setidaknya ada 450 nama tempat yang disebut dalam naskah ini. Berdasarkan nama-nama tempat, sungai dan gunung yang ada dalam naskah  ini Wassid membuat peta topografi Pulau Jawa. Sebagian besar nama-nama itu masih digunakan sampai saat ini.

Dalam naskah ini dijelaskan perjalanan Bujangga Manik dimulai dari Pakancilan, istana Pakuan. Setelah keluar dari pintu istana, Bujangga Manik menulis secara rinci nama-nama tempat yang dia lewati, seperti Tajur Nyanghaalang, Engkih Sungai Ciliwung dan tempat-tempat lain di wilayah Sunda hingga sampai ke sungai Citarum dan Sungai Cipali. Setelah menyeberangi sungai Cipali disebutkan masuk ke wiayah Jawa. Di wilayah Jawa naskah ini menyebut beberapa tempat di antaranya adalah Pemalang. Sesampai di Pemalang dia kembali lagi ke Pakuan karena rasa rindu kepada ibunya yang tak tertahan. Setelah bertemu dengan ibunya, sang pangeran kembali melakukan perjanannya yang kedua.

Pada perjalanan yang kedua ini Bujangga Manik sampai ke wilayah Jawa Timur hingga ke Bali. Perjalanan ke arah timur ini diperkirakan melalui jalur utara Pulau Jawa. Hal ini terlihat pada penyebutan nama-nama tempat yang ada di sebelah utara Gunung Mahameru dan Gunung Brahma. Di wilayah ini dia mengunjungi Kadiran, Tandes, Ranobawa dan Dingding. Saat kembali ke Barat dia melalui daerah selatan Gunung Mahameru, berturut-turut melewati Pacira, Kayu Taji, Kukuh, Kasturi, Segara Dalem dan Kegenengan, kemudian tiba di gunung Kawi. 

Selain nama-nama tempat tinggal, naskah tersebut juga menyebut tempat-tempat ibadah, di antaranya tiga mandala yang ada di dekat gunung Mahameru yaitu Kasturi, Kukuh dan Sagara. Tempat spiritual lain yang disebut dalam naskah ini Kukuh. Dalam Kidung Panji Margasmara disebutkan bahwa Kukuh adalah pusat keagamaan yang terletak di sebelah Timur Singosari. Dalam naskah juga disebutkan adanya suatu bukit diantara gunung Kawi dan gunung Kamput (sekarang Kelud) yang disebut Gunung Anar. Dari beberapa nama yang disebutkan secara lengkap dan detail, dapat dikatakan bahwa naskah Bujangga Manik merupakan toponimi pulau Jawa.

Selain menggambarkan toponimi Jawa, naskah ini juga menjelaskan bagaimana kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Misalnya ketika kapal yang ditumpangi Bujangga Manik hendak bersandar di pelabuhan Muara, ada upacara pemukulan gong dan tembakan senapan. Dalam naskah itu disebutkan: “Bijil Aing ti muara, masang wedil tujuh kali, ing na gong brang na ngangsa, seah nan gendang sarunay, seok nu kawih tarahan, nu kawih a(m)bah-a(m)bahan. Ba(n)tar kali buang pelang. Sarung sarang suar gading. Manyura ditedas u(ny)cal” (Tiba aku di Muara, senapan ditembakkan tujuh kali, gong ditabuh simbal dibunyikan genderang dan gendang dimainka, suara keras datang dari gubuk-gubuk, bernyanyi dengan teriakan kencang, “Muara sungai pohon pelang, alas lantai dari suar gading, seekor merak terluka parah oleh seekor rusa”) (Terj. Wahyu Wibisana, dalam http://bastiawanade.blogspot.com/2012/06/kitab-bujangga-manik.html).

Naskah ini tidak hanya menyebut toponimi Jawa tetapi juga berisi pesan moral dan spiritual, sesutu yang menjadi ciri utama dari naskah kuno Nusantara. Kekuatan spiritual ini tercermin dalam untaian bait berikut: “Nyiar lemah pamasaran, nyiar tasik panghayatan, pigeusaneun aing paeh, pigeusaneun nunta raga” (Mencari tempat untuk pakuburan, mencari telaga untuk tenggelam, tempat untuk kematianku, tempat untuk meninggalkan badan) (Terj. Wahyu W., Ibid). Bait ini jelas menunjukkan bahwa perjalanan Bujangga manik bukan semata-mata untuk membuat catatan toponimi beberapa tempat yang dikunjungi. Tetapi menjadi bagian dari laku spiritual seorang resi.

Pengembaraan spiritual Bujang Gamanik ini juga disebut oleh Agus Sunyoto, dalam novel sejarah, Suluk Abdul Jalil jilid 4. Dalam novel tersebut Agus menyebut perjalanan bujang Gamanik saat itu didirong oleh keinginannya untuk menghindari kekuasaan karena situasi Dayeuh Pakukan Pajajaran yang pada saat pada saat itu terjadi banyak ketimpangan. Kemakmuran dan kemewahan hanya dinikmati oleh kalangan elit, seangkan rakyat jelata hidup dalam kesulitan kemiskinan.

Dalam penelusuran penulis melalui cerita tutur yang berkembang di masyarakat Brebes, saat perjalanan pulang ke Pakuan, Bujangga Manik sempat melakukan pertemuan dengan Syech Siti Jenar di suatu tempat bernama Jalawastu. Suatu daerah yang berada di kawasan Brebes Selatan, Penulis pernah datang ke Jalawastu, di sana ada petilasan yang terletak di alas tutupan (hutan lindung) yanag diyakini masyarakat setempat sebagai tempat pertemuan antara Bujang Gamanik dengan Syech Siti Jenar. Pertemuan ini dianggap sebagai momentum bersatunya spiritualitas Islam, Sunda, Jawa dan Hindu.

Naskah Bujangga Manik ini unik karena memaparkan toponimi yang dapat menjadi petunjuk awal untuk melakukan penelitian topografi dan geografi  pulau Jawa. Dapat dikatakan naskah ini merupakan naskah kuno yang paling lengkap menggambarkan toponimi pulau Jawa. Beberapa nama tempat yang disebut dalam naskah ini memang sudah tidak dikenal karena terjadi pergantian nama. Tetapi jika dilacak secara lebih mendalam dengan melakukan perbandingan dengan naskah lain seperti Pararaton, Negarakretagama dan lain-lain maka akan dapat dikenali dan ditemukan. Bagi mahasiswa maupun para peneliti geografi rasanya perlu membaca naskah ini untuk mendapatkan gambaran topografi Jawa di masa lalu.

Membaca naskah bujang Gamanik tidak saja membawa kita ke dalam lorong waktu untuk kembali ke masa lalu, tetapi juga akan mengantarkan kita menjelajah pulau Jawa degan tempat-tempatnya yang eksotik dan menarik.***  

Related posts

Modal Sosial Pondok Pesantren

Samsul Hadi

Islam Nusantara, “Post-Truth”, dan Benturan Otoritas

Admin FIN

KOSMOPOLITANISME ISLAM; Jalur Rempah Dulu dan Kini

Admin FIN