Tulisan Idris Masudi tentang wali perempuan yang dimuat ulang di web ini https://fin.unusia.ac.id/agama-dan-derajat-kewalian-perempuan/ telah mengusik dan memprovokasi penulis untuk melakukan penelusuran sejarah terhadap “wali” perempuan di Nusantara. Penulis memberikan tanda kutip terhadap kata wali untuk meminimalisir perdebatan mengenai konsep kewalian. Dalam konsteks ini, penulis berasumsi para perempuan yang melakukan peneyebaran Islam di Nusantara dan memiliki peran vital dalam penyebaran Islam adalah para wali.
Asumsi ini berpijak pada dua hal, pertama dalam konteks masyarakat Nusantara, para penyebar Islam sering dianggap sebagai wali karena memiliki karomah dan keunggulan tidak saja di bidang keagamaan tetapi juga di bidang spiritual. Kedua, para wali adalah orang-orang suci yang memiliki kedekatan dengan Allah yang terjaga kebersihan hati dan jiwanya sehingga menjadi kekasih Allah. Perempuan yang menyebarkan Islam di Nusantara adalah orang-orang suci yang memiliki kebersihan jiwa dan hati serta kedalaman ilmu agama sebagaimana yang dimiliki oleh kaum lelaki penyebar Islam di Nusantara. Atas dasar ini, maka penulis berasumsi para perempuan yang sudah sampai pada derajat tersebut adalah wali.
Sebagaimana yang terjadi di dunia Timur Tengah dan negara Islam lainnya, jejak sejarah wali perempuan sangat sulit ditemukan. Sejarah dan kewalian Nusantara masih didominasi oleh kaum lelaki. Karena minimnya sumber sejarah, penulis harus melacak beberapa cerita tutur, babat dan serat, mengais-ngais potongan informasi yang ada di buku serta berselancar di dunia maya untuk menggali jejak sejarah Wali perempuan Nusantara.
Karena data-datanya yang secara akademik belum teruji kesahihannya, maka tulisan ini dimaksudkan sebagai pintu masuk untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “wali” perempuan penyebar Islam di Nusantara dengan penggalian data-data yang lebih valid dan ilmiah. Dengan kata lain, tulisan ini hanya merupakan rangsangan bagi para peneliti dan akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “wali” perempuan di Nusantara.
Nyi Ratu Ageng
Ia adalah putri seorang Kiai Ageng Derpoyudhi, seorang kiai terkemuka dari Majangjati Sragen. Kiai Ageng Derpoyudho sendiri adalah putra dari Kiai Ageng Datuk Sulaiman atau sering akrab disebut Kiai Sulaiman Bekel. Kealimannya juga tak lepas dari darah yang mengalir dari silsilah keturunannya. Silsilahnya sampai pada Sultan Abdul Kahir I, Sultan Bima yang bertakhta di Sumbawa pada 1621-1640.
Peter Carey (2016) menyebutnya sebagai sosok perempuan Tangguh; ia mendampingi suaminya, Sultan Hamengkubuwono I, dalam Perang Giyanti (1746-1755). Setelah Perjanjian Giyanti, dia bersama sang suami membentuk Kesultanan Yogyakarta, melahirkan pewaris takhta Sultan. Nyi Ageng Ratu bukan saja sebagai perempuan istri raja yang lemah lembut, dia adalah perempuan perkasa. Ini terlihat dari posisinya sebagai panglima pasukan kawal istimewa perempuan kerajaan yang merupakan satu-satunya barisan pasukan militer Keraton Yogya.
Selain itu dia adalah sosok perempuan yang agamis dengan kemampuan spiritual yang tinggi. Ia dikenal sebagai salah satu ulama perempuan di Jawa yang disegani karena ilmunya dan kemampuan spiritualitasnya. Sebagai seorang ulama, kegemarannya ialah membaca kitab-kitab agama. Ia juga merupakan seorang penganut tarekat Syattariyah. Dia belajar tasawwuf dan ilmu agama dari orang tua dan kakeknya yang juga seorang ulama dan mursyid tarekat.
Sikap Zuhud Nyi Raru Ageng terlihat dari keberaniannya meninggalkan hingar bingar dunia istana ketika terjadi konflik dengan anaknya, Sundoro (kelak HB II) yang dianggap telah menyepelekan tatanan dan ajaran Islam. Ia kemudian memilih menyikir dan tinggal di Tegalrejo, sebuah desa yang terletak di tenggara Keraton. Karena itulah Nyi Ratu Ageng kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Ageng Tegalrejo Di Tegalrejo. Nyai Ageng Tegalrejo giat bertani tanpa meninggalkan ibadah. Tidak hanya itu, dari padepokan Tegalrejo ini, dia membangun kekuatan untuk menyebarkan dan mengajarkan Islam serta melakukan perlawanan terhadap tindakan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Meski dia seorang alim yang menguasai khazanah kitab kuning dan pengamal tarekat yang konsisten, namun sebagai keturunan bangsawan Jawa, kehidupannya juga tidak bisa dilepaskan dari filosofi dan tradisi Jawa. Dalam sebuah artikel bertajuk “Ratu Ageng Tegalrejo: Wanita Perkasa yang Tercuri Sejarah”, Nyi Ageng Tegalrejo adalah nenek buyut Pangeran Diponegoro.[1]
Milal Bizawi (2018) menyebut Nyi Ageng Tegalrejo-lah yang mengasuh dan mendidik Pangeran Diponegoro baik di dalam ilmu agama, tarekat maupun politik. Dalam beberapa sumber juga disebutkan sang nenek inilah yang menjadi mursyid tarekat dan membaiat Diponegoro dalam tarekat.
Selain sebagai guru agama dan tarekat, Nyi Ageng Tegarejo ini juga seorang ahli strategi perang. Pengalaman sebagai Panglima Pasukan Kawal Kerajaan Perempuan telah menampatkan dirinya daam posisi yang vital dan strategis dalam perang Jawa. Nyi Ratu Ageng yang juga disebut Nyi Ageng Tegalrejo tidak saja menjadi penasehat spiritual dan guru agama bagi Diponegoro, tetapi sekaligus juga penasehat perang dan pengatur strategis yang menggerakkan kekuatan para kyai dan pesantren di Jawa dalam Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro.
Dyah Roso Wulan
Tidak banyak sejarawan dan masyarakat yang mengenal tokoh sufi perempuan ini. Kisah perjalanan hidup Dyah Roso Wulan dalam menjalani laku tasawwuf dan menyebarkan Islam tertuang dalam naskah Babat Gedhongan (BG). Naskah ini menceritakan petualangan Dyah Roso Wulan dan Syekh Wali Lanang , teks tersebut juga menguraikan tasawuf martabat tujuh, hingga penjelasan tentang gambaran kehidupan di alam kubur. Taufiq Hakim pernah melakukan penelitian terhadap naskah ini dan menuliskan hasil penelitiannya yang dimuat di jurnal Jumantara Volume 8 Nomor 2 Tahun 2017.
Disebutkan, Dyah Roso Wulan merupakan adik Kandung Raden Sahid, Sunan Kalijaga, putri Adipati Tuban, Wilwatikto. Dia melarikan diri meninggalkan istana kadipaten karena menolak dijodohkan dengan anak adipati Doho. Dyah Roso melakukan pengembaran fisik dan spiritual, menjalani riyadloh (laku batin) sehingga bertemu dengan Syekh Wali Lanang. Sejak saat itulah Dyah Roso terlibat secara intens dalam penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Wali Lanang.
Naskah BG merupakan naskah koleksi pribadi. Menurut keterangan yang terdapat di awal teks naskah, BG digubah pada hari Kamis, tanggal 5 Sapar tahun 1845 M, oleh seorang pujangga yang menggunakan sandi. Peneliti belum berhasil menemukan nama penggubah maupun penulis naskah.
Secara implisit naskah tersebut menjelaskan peran Dyah Roso dalam penyebaran tasawwuf di wilayah Jawa Tengah khususnya di kawan Tunggak, Tarub (sekarang berada di wilayah Purwodadi). Dalam naskah BG II: 12-16 disebutkan Dyah Roso menyebarkan langsung ajaran tasawwuf kepada para tokoh masyarakat Tunggak.
“Diceritakan Dyah Roso Wulan duduk bersama orang Tunggak di sebuah halaman. Sesepuh Tunggak, Karta Ngayun, bertanya ikhwal hakikat hidup kepada Roso Wulan. Dijawablah dengan disertai senyum oleh Roso Wulan, bahwa hidup yang abadi yaitu sudah tidak dirasakan lapar, ngantuk, kelelahan, dan selamanya seperti demikian. Roso Wulan mencontohkan hewan yang mengalami sakit dan kelaparan semasa hidup. Kata Roso Wulan, dalam hidup pastilah mengalami sakit dan mati, ngantuk, lapar, dan susah. Berbeda ketika hidup di jaman nanti, tidak akan ngantuk, lapar, sakit, dan tidak mati. Mendengar penjelasan Roso Wulan, Karta Ngayun merasa gembira. Seperti mendapat gunung perasaannya karena ia telah diberi tahu tentang hal gaib” (Taufiq Hakim, 2017; 146-147).
Setelah itu dipaparkan peran penting Dyah roso dalam dalam mendukung aktivitas pengajaran tasawwuf yang dilakukan oleh oleh Syekh Wali Lanang. Ini bisa dilihat dalam BG I: 16-29 yang menarasikan pertemuan Syekh Wali Lanang dan Dyah Roso Wulan yang dramatik dan mistik. Yaitu saat Dyah Roso sedang bertapa di dalam Goa di Hutan Tarub. Pertemuan itu terjadi pada hari Sabtu tahun 1481, berbarengan dengan Gunung Merapi dan Kelud yang meletus, serta gerhana matahari (Taufiq Hakim; 147-148).
Posisi
sosial Dyah Roso sebagai anak Adipati dan kemampuan olah batin dan laku
spiritual menempatkannya sebagai perempuan hebat baik secara sosial maupun
spiritual. Karena itulah, Dyah Roso memiliki peran penting bagi perjalanan
hidup Syekh Wali Lanang dalam menyebarkan
Islam melalui ajaran tasawwuf. Karena kedalaman laku spiritual melalui tasawwuf
inilah maka diyakini dialah yang akan melahirkan raja-raja Jawa.
(Bersambung)****
[1] Ulul Rasyad, Ratu Ageng Tegalrejo : Wanita Perkasa yang Tercuri dari Sejarah (http://www.akarasa.com/2017/01/ratu-ageng-tegalrejo-wanita perkasa.html).


