FIN UNUSIA
Esai

Islam Nusantara, “Post-Truth”, dan Benturan Otoritas

Trisno S. Sutanto

DEWASA ini, menurut saya, persoalan “otoritas” dan pendakuan “kebenaran” menghantui penghayatan hidup maupun pemikiran keagamaan. Dan bukan hanya di tanah air. Dalam cuaca intelektual yang kerap disebut “pasca-modernisme”, memang keduanya sedang dipersoalkan secara serius. Apalagi klaim-klaim metafisik tentang “Otoritas” (dengan “O” besar)  maupun “Kebenaran” (dengan “K” besar) yang mengatasi ruang-waktu kini makin tidak dipercayai.

Mari saya ambil contoh dari ranah kesusasteraan. Pernah, pada suatu ketika, Roland Barthes, seorang kritikus sastra mahsyur dari Prancis, menulis esai programatis yang kemudian sangat terkenal, tentang “matinya sang pengarang” (Barthes, 1977). Barthes mau melukiskan, posisi sang pengarang yang tadinya diasumsikan sebagai semacam “penjamin” makna suatu teks, kini justru tidak lagi perlu diperhitungkan. Alih-alih menanti atau mencari makna yang dimaui pengarang, menurut Barthes kini justru sang pembaca, lewat berbagai pembacaan kreatif, yang memproduksi makna dari teks.

Barthes memang berbicara tentang pengarang. Tetapi, sebenarnya, ia juga sedang memaklumkan kematian otoritas. Antara “pengarang” (author) dengan “otoritas” (authority) memang sangat dekat hubungannya. Akan tetapi, jika pengarang/otoritas tidak lagi perlu diperhitungkan, dan semuanya diserahkan pada tafsir pembaca yang beraneka ragam untuk menemukan makna teks, bukankah hal itu akan menjebak orang ke dalam relativisme yang berbahaya?

Sebuah buku daras yang berpengaruh luas mengenai konsep-konsep kritis dalam ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan menegaskan, bahwa “there is no preexisting metaphysical or transcendental meaning that’s somehow found under or above the text. Authors, readers, and subjects always ‘happen’ in a cultural context” (Nealon dan Giroux, 2012, h. 51). Tetapi jika benar seperti itu, maka jelas kita akan memasuki rimba tafsir yang anarkis. Malah lebih jauh lagi, ketika semua makna yang diberikan pembaca dianggap sama nilainya, maka di situ sebenarnya hanya makna yang saya berikan itulah yang paling benar! Sayalah yang menentukan makna. Sayalah yang memegang otoritas!

Rimba Tafsir Anarkis

PERSIS hal inilah yang menggelisahkan banyak kalangan dengan perkembangan dunia media sosial (medsos) sekarang. Dalam jagad medsos, yang menghampiri dan dapat dimasuki lewat perangkat gawai di tangan setiap orang, kita menemukan baik anarki tafsir maupun lenyapnya otoritas.

Dalam jagad medsos, setiap orang dapat sekaligus berfungsi sebagai produsen, pengarang, penyelaras, sampai penyebar isi atau pesan yang ingin disampaikan. Dan setiap tafsir itu seakan punya nilai yang sama: entah Anda merupakan orang yang sudah berpuluh tahun bergulat dengan kitab-kitab kuning di pesantren, atau Anda baru kemarin membaca buku-buku keagamaan yang banyak dipasarkan di pinggir jalan, nilai pandangan dan komentar Anda sama saja. Tak ada cara untuk membedakan atau memberi nilai lebih pada suatu komentar. Di Facebook bahkan komentar direduksi menjadi sekadar meme, entah jempol teracung atau jempol terbalik.

Tom Nichols, dalam kajiannya yang mahsyur, menyebut fenomena itu sebagai “matinya kepakaran” (Nichols, 2017), mirip-mirip dengan apa yang disebut Barthes dengan “kematian pengarang” di atas. Di situ tak ada lagi “sang pakar” (atau “sang pengarang”), dan karenanya tidak ada lagi “otoritas” yang memang layak didengar. Setiap orang dapat bebas berbicara dan berpendapat, dan semua pendapat dianggap bernilai sama.

Dalam konteks keagamaan, itu berarti begini: Anda tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar di pesantren (atau sekolah teologi dan filsafat), bergulat dengan kitab-kitab tafsir klasik yang membuat penat kepala, dan belajar bahasa Arab (atau bahasa Ibrani dan Yunani). Cukup mendengar atau mengikuti ceramah Ustadz (atau penginjil) populer di beberapa channel YouTube yang memberi pedoman-pedoman praktis mana yang boleh dan mana yang haram, kelompok mana yang benar dan mana yang salah, bahkan Anda pun bisa membuat channel YouTube sendiri lalu mendapat pengakuan sebagai Ustadz (atau penginjil) yang dapat mengeruk banyak keuntungan!

Saya sadar, deskripsi saya terdengar sangat karikatural. Tetapi itulah yang terjadi sekarang di dalam masyarakat kita. Apalagi jika kita memperhatikan ciri-ciri khas medsos, yakni tidak ada orang lain (Anda sekaligus menjadi penulis, penyunting, maupun pengedar tulisan), mbludak tanpa kendali, dan dengan kecepatan yang tak memungkinkan orang melakukan pengecekan fakta, maka situasinya memang sungguh menggelisahkan. Banyak kalangan merisaukan dampak sosial-politik dari kecenderungan tersebut — apalagi jika dikaitkan dengan pertarungan kekuasaan menjelang pemilihan umum. Kajian akbar Cherian George tentang “pelintiran kebencian” (George, 2016) sudah lama memberi wanti-wanti dampak tersebut.

Di sini saya ingin masuk lebih dalam. Tanpa mengingkari dampak sosial-politik tersebut, yang sudah kerap menjadi perbincangan internasional sejak fenomena Trump di AS dan Brexit di Inggris, perkembangan teknologi medsos membuat orang bukan hanya makin sulit membedakan antara hoax dengan berita yang benar, tetapi bahkan makin meragukan adanya “kebenaran” atau malahan “realitas” itu sendiri. Itulah alaf baru yang kini dimasuki umat manusia: cuaca intelektual yang kerap dijuluki sebagai “pasca-kebenaran” (post-truth). Mari kita melihat soal “pasca-kebenaran” ini sejenak, sebab cuaca intelektual itulah yang melatari konteks persoalan kita sekarang.

Kata tersebut, seperti dicatat Lee McIntyre, baru dikenal sejak Oxford Dictionary secara resmi menobatkanya sebagai “Word of the Year” tahun 2016, mengalahkan pesaing ketatnya: “alt-right” maupun “Brexiteer“. Dan kamus paling berwibawa di dunia itu mentakrifkan post-truth sebagai sesuatu yang menunjuk pada iklim di mana “fakta obyektif kurang punya pengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang seruan yang lebih menyangkut emosi dan keyakinan personal.” Jadi, dengan kata lain, imbuhan pasca di situ bukanlah penunjuk waktu (seperti pasca-Perang Dunia II, misalnya), namun mau menegaskan, kata McIntyre, “bahwa kebenaran sudah tenggelam — artinya sudah tidak relevan lagi”(McIntyre, 2018, h. 5).

Akan tetapi, seperti ditunjukkan McIntyre dengan bagus, sebenarnya apa yang terjadi bukanlah “kebenaran” itu sudah hilang sama sekali, melainkan makin dominannya salah satu tafsir kebenaran terhadap tafsir lainnya! Dan di situ, apa yang disebut “fakta empiris” selalu dapat dipilih, dibentuk, dan diajukan untuk mendukung tafsir kebenaran tersebut. Atau, kalau mau dikatakan dengan cara lain, cuaca intelektual pasca-kebenaran sebenarnya merupakan rimba pertarungan tafsir yang anarkis!

Saya menyebutnya “anarkis”, karena semua itu berlangsung tanpa ada ruang, juri atau wasit, maupun kriteria yang dapat menentukan “kebenaran” dan menengahi pertarungan tersebut. Sudah tentu, bukan tempatnya di sini menyibak soal bagaimana “kebenaran” mau dimaknai yang sudah lama menjadi debat panjang dalam filsafat. Ada banyak pandangan dan teori kebenaran yang selama ini diperdebatkan, mulai dari teori korespondensi, koherensi, pragamatis, semantik, dstnya. Masing-masing menawarkan ranah kebenaran beserta model pembuktiannya. Dan tentunya, masing-masing ranah itu tidak dapat dipakai begitu saja saling dipertukarkan. Untuk mengambil contoh sederhana, “kebenaran aksiomatik” dalam matematika (dengan pembuktian formalistiknya), misalnya, sudah tentu tidak dapat dipakai sebagai kriteria dalam ilmu-ilmu sosial.

Tanpa perlu masuk ke dalam diskusi njelimet itu (jika tertarik, Anda bisa membaca kumpulan tulisan yang disunting Lynch, 2001, maupun karya akbar sejarawan Oxford, Fernández-Armesto, 1997), situasi pasca-kebenaran sungguh menggelisahkan. Bahkan apa yang dikenal sebagai “realitas”, seperti ditegaskan McIntyre, tidak dapat menjadi juri atau wasit bagi pertarungan tafsir. Sebab, katanya, “apa yang tampak baru dalam era pasca-kebenaran adalah tantangan bukan hanya pada gagasan tentang memahami realitas, tetapi pada eksistensi realitas itu sendiri” (McIntyre, 2018, h. 10). Persoalan kiwari tentang Coronavirus, pandemi COVID-19 beserta seluruh proses vaksinasinya, misalnya, memperlihatkan soal itu dengan gamblang. Orang jadi bingung sendiri dan bertanya-tanya, apakah Coronavirus memang sungguh-sungguh ada sebagai realitas yang kita hadapi sehari-hari? Apakah pandemi COVID-19 bukan sekadar rekayasa penguasa, dan vaksinasi merupakan bentuk lain dari pertarungan bisnis farmasi global?

Kita tahu, bahkan setelah dunia dipaksa berhenti sejenak gara-gara Coronavirus, dan korban terus berjatuhan sampai sekarang, masih banyak orang yang keukeh mempertahankan pandangan bahwa itu semua adalah hasil rekayasa. Jadi, apa sebenarnya realitas? Dalam jagad medsos, makin lama makin tidak ada cara untuk menguji mana yang realitas, mana yang hasil rekayasa. Mungkin ketika COVID-19 menghantam diri sendiri barulah orang sadar, ternyata COVID-19 memang riil.

Islam Nusantara Sebagai “Proyek”

CUACA intelektual yang saya gambarkan secara karikatural di bagian sebelumnya merupakan konteks kiwari perbincangan tentang Islam Nusantara. Kalau mau dipadatkan, konteks itu mau menggambarkan bagaimana realitas pada era pasca-kebenaran merupakan pertarungan kuasa tafsir di mana “kebenaran” dan “otoritas” terus menerus dipertaruhkan. Juga gagasan tentang Islam Nusantara.

Sudah sejak kemunculannya, yakni ketika jargon Islam Nusantara resmi dipakai sebagai tema Muktamar NU ke-33 di Jombang (2015), gagasan tersebut masuk ke dalam pertarungan kuasa tafsir yang terus berlangsung sampai sekarang. Seperti diingatkan Saskia Schäfer (Schäfer, 2020), pada Juli 2018 pihak MUI Sumatera Barat langsung mengeluarkan fatwa bahwa jargon tersebut bisa membingungkan dan bahkan memecah belah umat. Pertarungan tafsir yang panas itu sampai membuat Ketua PBNU merasa perlu mengeluarkan penjelasan bahwa Islam Nusantara bukanlah mahzab baru, apalagi “agama baru” (Republika, 23 Desember 2019).

Sementara itu, Presiden Joko Widodo malah menyambut hangat dalam pidatonya seraya menegaskan, “Alhamdulillah, Islam kita Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, penuh tata krama dan toleransi” (dikutip dari Ahmad, 2021, h. 2). Sebuah penegasan yang menggembirakan, terutama bagi para pengusung gagasan Islam Nusantara, tetapi sekaligus makin merumitkannya. Karena kini gagasan itu menjadi — kalau istilah ini boleh dipakai — suatu “komoditas baru” dalam pertarungan politik agama yang kuat mewarnai perkembangan sekarang, khususnya pasca-Reformasi 1998.

Dalam kajiannya yang sangat bagus mengenai tema yang sama sekali berbeda, Samsul Maarif menjelaskan politik agama sebagai

“upaya politik oleh kelompok warga negara yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi kuasa dan kontrol atas kelompok warga negara lain. Upaya politik tersebut dilakukan melalui mobilisasi dan tekanan massa dengan klaim atas nama kepentingan dan identitas agama mayoritas, melalui kekuatan partai politik, hingga infiltrasi negara melalui kebijakan-kebijakan dan aturan perundang-undangan” (Maarif, 2017, h. 1)

Jika diletakkan dalam konteks politik agama tersebut, maka gagasan Islam Nusantara bukan saja merupakan “kosakata konseptual” (conceptual vocabulary), untuk memakai istilah Schäfer yang indah, yang dipakai oleh kalangan cendekiawan muda dan progresif dari NU, tetapi sekaligus juga merupakan perkakas kerja-kerja politik.

Ini sangat kentara jika, misalnya, membaca bagaimana Rumadi Ahmad menggambarkan gagasan Islam Nusantara, termasuk “sasaran tembak” proyek tersebut: pertama, kelompok yang masih mempersoalkan Pancasila dan NKRI; kedua, kelompok puritan yang hendak melakukan pemurnian Islam; dan ketiga, kelompok yang cenderung menghalalkan kekeraasan untuk menyiarkan dan menyebarkan Islam (Ahmad, 2021, h viii – ix; baca juga Hasyim, 2018). Begitu juga Schäfer menempatkan kajiannya di dalam konteks pergulatan politik Islam kiwari pasca conservative turn, sekalipun mengingatkan bahwa kosakata konseptual Islam Nusantara bukan hal baru tetapi punya jejak panjang, sementara kajian Leonie Schmidt baru-baru ini menempatkannya sebagai bagian dari “budaya anti-teror” yang dikembangkan NU guna melawan terorisme yang mengatasnamakan Islam (Schmidt, 2021).

Tentu saja masih terlalu dini untuk melihat sampai sejauh mana keberhasilan kosakata konseptual Islam Nusantara di dalam menentukan arah, atau setidaknya ikut mewarnai, pertarungan politik agama di tanah air. Namun, setidaknya, saya ingin memberi dua catatan yang menurut saya perlu dipertimbangkan.

Pertama, eksperimentasi gagasan Islam Nusantara dengan segera mengingatkan saya pada eksperimentasi gagasan sebelumnya yang dikembangkan oleh alm. K.H Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sejak 1980-an, yakni apa yang dikenal sebagai “pribumisasi Islam”. Walau Gus Dur, sependek ingatan saya, tidak meninggalkan elaborasi utuh mengenai gagasannya, namun esai pendek yang pernah ia tulis cukup menggambarkan inti gagasannya itu:

“Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma (agama — TS) demi budaya, tetapi agar norma-norma (agama — TS) itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushl Fiqh dan Qaidah Fiqh” (Wahid, 2001, h. 111)

Kita tahu Gus Dur mengembangkan gagasannya itu sebagai perlawanan terhadap benih-benih “Arabisasi” yang mulai menguat, seperti tampak dalam penggantian secara sengaja ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia ke kosakata Arab. Saya kira Gus Dur sadar bahwa proses “Arabisasi” itu bukanlah sekadar penggantian bahasa, tetapi juga mencerminkan pola pikir dan penghayatan keislaman yang makin lama dapat membuat orang merasa tercerabut dari akar budaya sendiri — sebuah kegelisahan yang tampaknya makin terbukti dewasa ini. Bagi saya, gagasan tersebut lebih mencerminkan pribadi Gus Dur yang multi-paradoks, sebagai “darah biru” NU yang sangat berakar dalam kultur pesantren tetapi menyukai An die Freude Simfoni ke-9 Beethoven, maupun visi besarnya tentang Islam.

Menurut saya, Islam yang diperjuangkan Gus Dur adalah Islam yang ramah dan terbuka, yang memberi ruang dan mampu berdialog dengan budaya-budaya lokal, paham pemikiran modern, ekspresi budaya maupun keyakinan lainnya yang sangat beragam di Nusantara (lihat Sutanto, 2020). Itu sebabnya eksperimentasi Gus Dur mungkin bisa disebut sebagai “Islam Nusantara” avant la lettre.

Dan saya kira pergulatan tersebut merupakan pergulatan genuine agama-agama di Indonesia untuk menerjemahkan pesan-pesan universal dan abadi yang diwarisinya ke dalam bahasa kontekstual yang selalu berubah. Tanpa penerjemahan tersebut, maka agama-agama dapat terancam entah menjadi insignifikan secara internal (tak lagi memberi makna bagi pengikutnya), atau menjadi irelevan (tak gayut) dengan perkembangan zaman.

Hanya saja, sebagai catatan kedua, sebagaimana sudah dielaborasi di atas, dewasa ini dalam era post-truth, problem tersebut jadi jauh lebih rumit. Kita berhadapan bukan hanya dengan tidak adanya otoritas tunggal, tetapi juga benturan pendakuan otoritas yang anarkis sifatnya. Dan ini, sebagaimana sudah diingatkan McIntyre, menggerogoti keyakinan bukan hanya soal pemahaman akan realitas, tetapi bahkan realitas itu sendiri. Termasuk di dalamnya proyek Islam Nusantara. Misalnya, apakah kosakata konseptual ini sebaiknya harus dipahami menurut tafsir resmi PBNU, atau menurut MUI, atau malah menurut Presiden Jokowi?

Tentu saja pilihan-pilihan tersebut masih terbuka lebar, dan masing-masing dapat mendaku otoritasnya sendiri-sendiri. Menurut saya, sekalipun terasa rumit dan menjengkelkan, namun situasi anarkis itu justru membuka ranah yang sangat lebar untuk dijelajahi bagi siapapun yang tertarik dengannya. Sebab pergulatan kosakata konseptual tersebut sebenarnya mencerminkan pergulatan setiap tradisi keagamaan yang genuine dengan tantangan ganda yang saya sebut di atas, sembari meminjam istilah alm. Eka Darmaputera: ancaman insignifikansi internal maupun irelevansi eksternal. Dalam tantangan ganda itulah “nasib” agama dipertaruhkan.

Mungkin persis di dalam pergulatan tersebut kita dapat sekilas memandang wajah kebenaran yang membebaskan dan menjadi saksinya. Sebab, untuk mengutip jawaban Yesus kepada Pilatus dalam Injil favorit saya, tugas kita hanyalah menjadi “saksi-saksi kebenaran” (Yoh 18:37), bukan mendakunya, apalagi ingin menguasainya.

Jakarta, 9 Agustus 2021

Penulis adalah peneliti di Paritas Institute. Kumpulan esainya diterbitkan sebagai Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih, Jakarta-Medan: BPK Gunung Mulia – KN LWF, 2020.

Rujukan

Ahmad, Rumadi, Keberagamaan Islam Nusantara: Respons atas Isu-isu Kontemporer, Bekasi: alif.id, 2021

Barthes, Roland, “The Death of Author”, dalam kumpulan esainya, Image-Music-Text, New York: Hill & Wang, 1977

Fernández-Armesto, Felipe, Truth: A History and a Guide for the Perplexed, New York: St. Martin’s Press, 1997

George, Cherian, Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy, Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2016. Edisi Indonesia, Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi, diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, 2017

Hasyim, Syafiq, Islam Nusantara dalam Konteks: Dari Multikulturalisme Hingga Radikalisme, Yogyakarta: Penerbit Gading, 2018

Lynch, Mihael P. (ed.), The Nature of Truth: Classic and Contemporary Perspectives, Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2001

Maarif, Samsul, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, Yogyakarta: CRCS UGM, 2017

McIntyre, Lee, Post-Truth, “The MIT Press Essential Knowledge Series”, Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2018

Nealon, Jeffrey dan Giroux, Susan Searls, The Theory Toolbox: Critical Concepts for the Humanities, Arts, and Social Sciences, edisi kedua, London: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2012

Nichols, Tom, The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters, New York: Oxford University Press, 2017. Edisi Indonesia, Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya, diterbitkan oleh Gramedia, 2018

Schäfer, Saskia (2021), “Islam Nusantara – The Conceptual Vocabulary of Indonesian Diversity”, dalam Jurnal Islam Nusantara, Vol. II, No. 2, Juli 2021, h. 1 – 16

Schmidt, Leonie (2021), “Aesthetics of authority: ‘Islam Nusantara’ and Islamic ‘radicalism’ in Indonesian film and social media”, jurnal Religion, Vol 51, No. 2, 2021, h. 237-258. Dapat diakses melalui https://doi.org/10.1080/0048721X.2020.1868387

Sutanto, Trisno S., “Gus Dur, Pribumisasi Islam dan Pancasila”, Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih, Jakarta-Medan: BPK Gunung Mulia – KN LWF, 2020,h. 49 – 57

Wahid, Abdurrahman, “Pribumisasi Islam” dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, suntingan Tim Desantara, Depok-Jakarta: Desantara, 2001

Related posts

Pelayanan Publik Rumah Ibadah

Dr. Ahmad Suaedy MA. Hum.

KOSMOPOLITANISME ISLAM; Jalur Rempah Dulu dan Kini

Admin FIN

Modal Sosial Pondok Pesantren

Samsul Hadi