Pada Sabtu, 24 April 2021, pukul 14.00 WIB diselenggarakan Lecture 2 bertajuk Tradisi dan Jaringan Sufisme di Jalur Rempah: Mencari Akar Kosmopolitanisme Islam Nusantara. Acara ini diselenggarakan oleh Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdhlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) bekerjasama dengan Direktorat Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia. Acara ini juga didukung oleh sejumlah asosiasi intelektual mulai dari MSI (Masyarakat Sejarah Indonesia), Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), AAI (Asosiasi Antropologi Indonesia), IAAI (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia), AATLI (Asosiasi Ahli Tradisi Lisan Indonesia).
Temu ilmiah ini dihelat secara dalam jaringan (daring) menggunakan aplikasi Zoom.
Pada kali kedua ini, ilmuwan yang diundang membicarakan tema yang diangkat adalah Prof. Dr. Martin Van Bruinessen, seorang Paneliti Tarekat Asia Tenggara dan Turki, yang berasal dari Belanda.
Acara ini dibuka dengan sambutan hangat dari Prof. Dr. Ir. M. Maksum Machfoedz, M. Sc, Rektor UNUSIA. Diakuinya, dunia sejarah tarekat adalah hal yang baru dalam alam pemikirannya, namun yang baru belum tentu tidak menarik. Ia memperhatikan bahwa sejarah Islam memang bertumpu pada tradisi sufisme yang terbentang mulai dari Nusantara yang terhubung dengan belahan dunia lain di Asia. Para pedagang Muslim, yang merupakan subyek penting penyebar Islam Nusantara, dikenal pula sebagai pendakwah, yang di antaranya adalah pengamal tarekat tertentu. Ini tidak bisa diabaikan sebagai salah satu bentuk kosmopolitanisme Islam.
Pada kesempatan berikutnya, Dr. Ahmad Suaedy, MA. Hum, Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA, memberikan sambutan dengan cukup antusias. Ia memulai kalimatnya dengan harapan bahwa saat membincang jalur rempah, seyogyanya kita tidak cukup hanya bicara perniagaan rempah semata, namun juga difusi ide, gagasan, dan tradisi, salah satu produk lain yang tersiar adalah tradisi sufisme dan tarekat. UNUSIA lahir untuk merespon kajian-kajian yang menghubungkan Islam Nusantara dengan tradisi Islam lain di seluruh penjuru dunia. Ia meyakini bahwa Nusantara bukanlah subyek pasif yang hanya menerima produk dari luar. Terdapat sejumlah temuan historis yang menyatakan bahwa karya dan jejaring sanad keilmuan di dunia Islam terhubung dengan kepakaran para ulama Nusantara.
Tiba di sesi utama, Prof. Martin van Bruinessen mengucapkan terima kasih dan salam hangat dari Utrecht, Belanda kepada para hadirin peserta Lecture 2. Ia sangat senang diberi kesempatan untuk bicara mengenai tema sufiisme dan tarekat di Nusantara. Melalui bentangan slide power point-nya, Prof. Martin mulai menyisir ceruk – ceruk tradisi tarekat di dunia Islam dan relasinya dengan ulama Nusantara. Ia sama sekali tidak menampik jika jalur rempah merupakan faktor penting yang menyuburkan bentuk – bentuk kosmopolitanisme Islam, utamanya dari sebaran pemikiran sufistik dan tarekat.
Terdapat banyak ulama dari Nusantara yang terhubung dengan dunia tarekat di Asia dan Afrika. Di antara nama yang tersohor adalah salah satu anggota Wali Songo, yakni Sunan Gunung Jati. Menurut Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, dalam pengembaraan ilmiahnya di Afrika dan Timur Tengah, ia sempat berbaiat sejumlah tarekat, yakni Kubrawiyah, Syaziliyah, Naqsyabandiyah dan Syattariyah.
Dalam pemaparannya yang lain, Prof. Martin menjelaskan bahwa tarekat di Nusantara sangat kental dengan unsur lokal. Seringkali dijumpai reproduksi ajaran tarekat melalui istilah dan praktek keagamaan yang hanya dijumpai di suatu wilayah. Tarekat Syattariyah merupakan satu dari banyak tarekat yang banyak mengakomodasi nilai lokal Nusantara. Ajaran tarekat ini amat berbeda dengan yang ditemukan di belahan Timur Tengah termasuk dengan India, negara asal tarekat ini. Ini adalah bukti bahwa ajaran tarekat selalu dinamis dan tidak ragu menyerap unsur lokal, sama dengan pandangan Islam Nusantara secara umum.
Setelah selesai pemaparan materi, Ahmad Ginanjar Sya’ban, MA, moderator temui lmiah, memberikan kesempatan pada tujuh orang penanya kepada audiens yang telah memadati ruang virtual. Semua pertanyaan dapat dijawab dengan baik oleh Prof. Martin. Dalam beberapa kesempatan, Ginanjar memberikan penegasan intelektual melalui beberapa uraian Prof. Martin, terkait temuannya ketika menelaah manuskrip Nusantara. Dalam membaca sejarah panjang kosmopolitanisme Islam, tidak bisa dipungkiri, pendekatan filologis juga dapat menjadi alternatif untuk itu.
*) Johan Wahyudi