FIN UNUSIA
Uncategorized

Respons Agama terhadap Perubahan Masyarakat di Era Disrupsi dan Post-Truth: Merencanakan Jawaban Masa Depan Indonesia

Agama dan kepercayaan merupakan, boleh dikatakan, unsur paling inti dalam kehidupan masyarakat nusantara dan Indonesia sejak dahulu hingga kini selain masalah ekonomi dan tradisi sehari-hari. Seluruh kehidupan dan kekuasaan juga lalu lintas sosial eknomi dipenuhi dengan aura agama dan kepercayaan. Karena itu menulis dan merencanakan suatu perubahan kehidupan masyarakat nusantara dan Indonesia mustahil tidak menyertakan analisis peran dan dimensi agama.

Namun dalam rentang sejarah yang panjang agama mengalami dinamika dan transformasi dalam kehidupan masyarakat nusantara dan Indonesia, terkadang sangat radikal meskipun perlu proses yang panjang. Jadi, meskipun agama terus berada dalam dinamika masyarakat hampir di seluruh aspeknya tetapi agama itu sendiri mengalami perubahan dan transformasi sesuai tuntutan dan jawaban perubahan masyarakat. Maka penting untuk diajukan pertanyaan, bagaimana posisi agama dalam perubahan masyarakat di era disrupsi dan post-truth kini dan masa depan? Jawaban atas pertanyaan ini barangkali bisa sebagai titik pijak bagi suatu perencanaan perubahan di masa depan.

Agama dalam Sejarah Nusantara

Julukan bagi Indonesia dengan kata “bukan negara sekuler dan bukan negara agama” sesungguhnya kurang tepat. Yang lebih tepat adalah “negara sekuler berinti agama.” Agama di sini bukan dilihat sebagai ideologi dan sistem politik melainkan sebagai substansi yang menginspirasi dan mengisi bangunan sistem sekuler. Ada beberapa alasan untuk ini: pertama, bentuk mutakhir dari sistem negara-bangsa Indonesia adalah sangat unik, jika dibandingkan dengan negara lain, tetangga dan sesama negara mayoritas Muslim sekalipun apalagi dengan negara yang mayoritas bukan Muslim dan negara sekuler Barat. Kedua, bentuk mutakhir itu (“negara sekuler berinti agama”) melalui proses yang sangat panjang dan perdebatan yang alot dan luas melampaui pemaksaan sekularisme oleh kolonial. Sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan beragama dan berkepercayaan bisa dikatakan model khas Indonesia dengan apa yang kini populer disebut bentuk negara dan masyarakat post sekuler. Jadi hasil itu adalah temuan mutakhir dari pergulatan masyarakat nusantrara yang sangat panjang dan berliku hingga “Menjadi Indonesia.”

Ketiga, berbeda dengan di Barat bahwa proses sekularisme oleh kolonial telah “mengusir” agama dari ruang publik dan negara maka “negara sekuler Indonesia” justru mengembalikan peran agama dan kepercayaan ke ruang publik dan negara yang sekuler itu. Kalimat Bung Karno yang kemudian menjadi klasik di PPKI menjawab desakan sebagian perwakilan Muslin mengatakan, kira-kira, sepakati dulu bentuk negara ini (waktu itu),  nanti kalau Islam ingin berperan besar maka penuhi lembaga perwakilan untuk memutuskan itu. Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa sekularisasi nusantara adalah bagian dari strategi penjajahan (mengikuti alur apa yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte di Prancis waktu itu) melalui penindasan dan pemaksaan. Politik etis tidak mengeluarkan masyarakat nusantara darinya melainkan merupakan bagian dari pemaksaaan dan penindasan itu sendiri. Ketika politik etis diberlakukan, para agamawan masih disingkirkan di pinggiran yang merupaan dampak dari perlawanan di seluruh nusantara yang diilhami oleh spirit agama dan tarekat yang diawali dari perlawanan dan gerakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah atau Ngayogyokarto Hadiningrat.

Namun gerakan Pangeran Diponegoro dan perlawanan di seluruh nusantara lainnya bukanlah tawaran ideologis agama atas sekularisme itu melainkan hendak mengembalikan tradisi nusantara dimana agama menjadi bagian dari kehidupan publik dan pemerintahan yang bersifat kultural dan tolak angsur. Maka ketika para agamawan diusir dalam sistem kolonial mereka bukan membangun ideologi Islam untuk perlawanan melainkan membangun strategi kultural dengan mendirikan institusi-institusi pendidikan dan kebudayaan seperti pesantren di pedesaan untuk “desa mengepung kota.” Keputusan-keputusan PPKI adalah hasil pertarungan dan perdebatan di antara mereka itu dan sekaligus titik temu antara sekuleris didikan politik etis dan aspirasi agamawan yang disingkirkan tersebut.

            Realitasnya kini bahwa agama kian memenuhi ruang publik dan masuk ke dalam sistem negara dan pemerintahan yang makin dalam. Anggaran Belanja dalam APBN, mislanya, Kementerian Agama yang sebelumnya di era pasca kemerdekaan hanya mengurusi NTCR, kini anggarannya menduduki terbesar kedua setelah Kementerian Pertahanan. Bagaimana kita memahami fenomena ini dan bagaimana pula menempatkannya dalam strategi perencanaan menyongsong masa depan masyarakat dan negara Indonesia? Sebagian orang sebatas cemas melihat fenomena tersebut tetapi sebagian lain mencoba secara keras mencari cara untuk menempatkan fenomena ini sebagai tantangan dan sekaligus jawaban untuk masa depan.

Sintesis Nusantara: Spirit Agama

Maka menelusuri peran dan spirit agama dalam negara Indonesia pasca kemerdekaan sekalipun harus dilakukan terlebih dahulu tinjauan jauh ke belakang. Bukan untuk mundur melainkan justeru untuk merencanakan dan menyongsong masa depan yang jauh ke depan dan dimulai dari saat ini. Kata majemuk Bhinneka Tunggal Ika yang termaktub di dalam Kitab Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad XIV, abad kejayaan kerajaan Majapahit. Bhinnkea Tunggal Ika adalah sebentuk narasi sintesis agama Budha dan Hindu dalam proses peralihan di Nusantara dari mayoritas agama Buhda ke mayoritas agama Hindu yang berproses kira-kira sejak abad IX. Proses itu dengan membentuk kesatuan tuhan keduanya, Siwa (Hindu) dan Budha (Budhisme). Sintesis itulah yang menyelamatkan dari ancaman kekerasan dan perang keduanya. Meskipun komunitas dan candi-candi Hindu dan Budha hingga kini berbeda lokus tetapi mereka merasa menyatu di dalam kesatuan bangsa nusantara Indonesia di bawah Bhinnkea Tunggal Ika.

Ricklefs, seorang  sejarawan ahli Jawa terkenal pernah menulis, hingga empat abad kemudian, di abad XVIII era dimana mayoritas sudah menjadi Muslim, ternyata tradisi Bhinneka Tunggal Ika itu masih berlangsung, antara Hindu-Budha dan Islam. Namun sintesis itu tidak sampai pada tingkat penyatuan tuhan sebagaimana Hindu-Budha karena perbedaan karakter melainkan pada tingkat profan. Meski demikian, sintesis itu terjadi baik dalam sistem hubungan pemerintahan ulama maupun tradisi bahkan ritual agama. Ulama, sebagaimana dalam tradisi Hindu-Budha sebelumnya  tetap menjadi penasehat terdekat sultan dan bahkan sultan dan keluarga tidak sedikit yang menjadi murid tarekat para agamawan. Pada tingkat spiritual dan ritual keagamaan mereka saling menghormati dan bahkan mempraktekkan keduanya, baik dengan penciptaan tradisi Islam di dalam masyarakat maupun memodifikasi ritual Hindu-Budha dan kepercayaan lokal menjadi tradisi Islam. Yang terakhir ini misalnya, dalam kasus menunggui mayat yang meninggal dari sebelumnya, konon, bermain judi dan ritual panteisme lainnya menjadi membaca tahlil dan al Quran.  Kini membaca tahlil pun sudah masuk istana presiden, bukan?    

Pola kehidupan ini memang sempat terintrupsi oleh kebijakan sekularisasi penjajahan oleh Pemerintahan Hindia Belanda (PHB) setidaknya sejak 1 Januari 1800. Sultan dipotong hubungannya dengan rakyat dan agamawan dan hidupnya digaji, sedangkan struktur kekuasaan diambil alih sepenuhnya oleh aparat kolonial hingga lapisan paling bawah: desa. Satu-satunya pihak yang bisa mengakses rakyat dan mendengar suara mereka ketika itu adalah para agamawan dan terutama imam tarekat karena mereka meskipun dengan sembunyi-sembunyi masih bisa berhubungan dengan rakyat dengan alasan mengajari agama. Itulah sebabnya mengapa perlawaanan pada abad XIX dan awal XX sebagian besar dipimpin oleh agawaman dan pemimpin tarekat. Secara diskursus mereka juga melawan para intelektual pribumi didikan Barat kolonial dalam menempatkan agama dan agamawan dalam sistem negara dan pemerintahan Indonesia kemudian. Pancasila dan UUD 1945 adalah sintesis yang paling nyata dari pergulatan tersebut pada kemerdekaan Republik Indonesia.

Maka mengangseknya agama ke ranah publik dan negara kini sesugguhnya bukanlah islamisasi melainkan revitalisasi tradisi. Kita harus menempatkan gejala itu bukan sebagai ancaman melainkan tantangan, bagaimana inisitaif dan kreatif  substansiasi agama tersebut ketika masuk ke runag publik dan pemerintahan, bukannya agama yang tekstual dan ideologis. Gus Dur pernah menulis bahwa agama harus melakukan transformasi terlebih dahulu pada dirinya sebelum agama itu sendiri hendak menstransformasi masyarakat. Agama dalam bentuknya yang baku dan tekstual tidak bisa secara eksklusif memaksakan ke dalam sistem sosial sebelum agama itu sendiri melakukan transformasi pada dirinya. Transofmrasi pemahaman agama dimaksud bukanlah sekularisasi melainkan menyelaraskan substansi agama dengan tuntutan kehidupan sosial politik mutakhir, misalnya selaras dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia; pelestarian lingkungan dan perubahan iklim; kemiskinan dan kesetaraan; serta hak-hak keadilan bagi rakyat pada umumnya. Seluruh fislosofi Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan itu dan Islam juga agama yang lain menyediakan seluruh substansi dan metodologi untuk mencapai itu semua.

Antisipasi Era Disrupsi dan Post-truth

Dua diksi, disrupsi dan post-truth, tersebut kini paling menakutkan tetapi bukan untuk dihindari melainkan untuk dilampaui. Beberapa ciri penting dari dua diksi di atas adalah: pertama, tidak adanya atau tidak diakuinya lagi otoritas, baik otoritas agama maupun sosial kebudayaan dan bahkan negara atau bentuk negara-bangsa. Seorang penulis mengungkapkan bahwa kini negara-bangsa sesungguhnya sudah koleps dan tidak lagi memiliki otoritas kecuali mungkin batas negara yang masih ditunggui anggkatan bersenjata. Tetapi, terhadap transaksi keuangan, ideologi atau pandangan hidup, tenaga kerja dan perdagangan nyaris bisa dilampaui dengan teknologi maupun hukum masing-masing ranah, hukum teknologi komunikasi misalnya. Otoritas agama, bagi milenail, misalnya, bukan lagi di agamawan maupun MUI, melainkan ada di gawai. Belajar agama dari gawai tidak lagi mempedulikan apakah ada otoritas agama atau tidak. Inilah yang menjelaskan meluasnya “takfirisme” dan bahkan menindaklanjuti dengan penghalalan darah konsekuensi dari takfir tersebut.  

Turunan dari itu adalah, kedua, hilangnya atau tidak dikauinya metodologi ilmu pengetahuan termasuk metodologi ilmu pengetahuan agama. Otoritas dalam semua ranah, secara ilmiah, mendasarkan pada validitas metodologi termasuk dalam otoritas agama dan negara. Jika metodologi tidak agi diakui maka otoritas agama dan negara otomatis tuntuh. Pertanyaannya, bagaimana agama menginspirasi dan menjadi pedoman bagi masyarakat dan individu yang bisa menuntun ke arah positif dan kebaikan yang berbasis pada kemanusiaan dan hak asasi manusia jika tidak lagi ada otoritas. Ketiga, dalam waktu yang sama karena maraknya teknologi informasi, komputer dan robot, banyak lapangan pekerjaan yang hilang karenanya sehingga menimbulkan penggauran massal, terutama bagi milenial, sedangkan otoritas agama berpindah ke gawai. Jika outlet maraknya pengangguran adalah agama maka pilihan otoritas agama adalah pindah ke otoritas gawai.  Situasi ini lebih dalam dari situasi perdebatan dan pertentangan di era pergulatan kemerdekaan yang memperhadapkan kubu sekuler dan buku kultural agama. kini keduanya berhadapan dengan tantangan di luar dirinya: teknologi!

Dalam situasi seperti ini bagaimana menempatkan agama sebagai bagian dari jalan keluar dan bukan beban bangsa dan negara?

Agama dan Dinamika Masyarakat Sipil: Substansiasi Nilai-nilai Keagamaan

            Posisi negara dan pemerintah atas agama mungkin mengalami dilema kini. Di satu pihak, dengan melihat bergesernya otoritas agama dan juga pemerintahan ke gawai, yang sulit ditebak namun membahaykan, pemerintah hendak mengambil alih otoritas itu untuk mengendalikannya. Ada gejala ke arah itu, misalnya ketika menanggapi maraknya radikalisme agama atau kekerasan dan terorisme. Masalah keamanan rakyat tentu saja menjadi tanggungjawab pemerintah untuk terhindar dari terorisme dan kekerasan tetapi bagaimana menempatkan agama yang sering dipakai alasan dan basis bagi para teroris? Muncullah program deradikalisasi oleh institusi atau elemen dari pemerintah. Juga program Moderasi Beragama yang masuk ke dalam RPJMN 2020-2024 untuk merespon agenda-agenda keagamaan eksklusif masuk ke dalam kebijakan negara dan pemerintahan bahkan birokrasi. Dengan itu berarti dua program tersebut harus menjadi program pemerintah dan bersifat massif.

Tujuannya sendiri sangat baik sebagai cara pemerintah untuk mengarahkan peran dan fungsi agama dalam membangun kedamaian dan kerukunan. Namun bahayanya, banyak kritik lahir dari analisis ini, adalah pemerintah bisa terperosok pada otoritarianisme dengan menggunakan basis agama hanya untuk kepentingan rejim. Di lain pihak, apakah campur tangan pemerintah dan juga negara atas agama bisa di satu pihak dengan mengambil jarak tertentu dengan tidak terperosok pada melakukan kontrol terhadap tafsir dan pemikiran agama namun di lain pihak bisa mengarahkan ke arah substansiasi agama. Artinya pemerintah tetap ikut campur tangan dalam agama tanpa menggunakannya sebagai legitimasi kekuasaan apalagi otoritarianisme. Di sinilah tempat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saya kira bisa ikut melakukan review terhadap apa yang telah terjadi dan mengarahkan proses ke depan.

Pada tingkat konstitusi dan aspek-aspek yang setara dengannya (misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi), juga dalam ideologi di balik sistem pemerintahan yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 hubungan agama dan negara dan masyarakat sipil sudah lah selesai. Bagi Islam sendiri model post sekuler sebagaimana Indonesia sekarang juga tidak ada kontroversi yang substansial. Untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan dalam Islam tidak diperlukan suatu langkah drastis sekularisme sebagaimana terjadi di Barat. Hubungan para agawan dari era Hindu-Budha maupun di era Islam pra kolonial menempatkan agamawan sebagai semacam penasehat spiritual maupun sosial politik kepada para penguasa, Sultan dan Kesultanan. Sebagaimana saya kemukakan di atas, kini terjadi revitalisasi peran agama dalam ranah publik dan pemerinahan setelah sekularisai secara paksa di era kolonial. Dalam sistem demokrasi Indonesia kini, antara parpol dan ormas yang berasaskan tunggal Pancasila maupun Pancasila dan Islam tidak ada kontroversi kecuali mereka yang secara individual dan kolektif namun terbatas, suka melakukan kekerasan dan main hakim sendiri serta memupuk kebencian. Masalahnya bukan pada asas organisasi melainkan pada perilaku individu dan kolektif.

Lantas, apa yang tersisa dari agenda ke depan tentang agama. Menurut saya, agenda itu adalah bagaimana menjadikan agama sebagai spirit dan etika dalam keseluruhan hidup individu dan kolektif masyarakat juga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Etika bukan dalam pengertian akhlak dan tatakrama individual melainkan spirit dan dorongan kolektif untuk memperbaiki nasib bangsa secara bersama atau jika boleh meminjam kata-kata presiden Jokowi: Revolusi Mental. Agama harus diangkat ke tingkat yang lebih tinggi daripada urusan politik keseharian dan birokrasi melainkan perbaikan bagi perilaku budaya dan sosial, individu dan masyarakat. Dengan demikian agama adalah pedoman dan landasan bagi proses demokratissi dan penghargaan hak-hak asasi manusia; tata pemerintahan yang baik (good governance); kedisiplinan; anti korupsi; pelayanan publik; penegakan keadilan dan penghapsuan kesenjangan; pelestarian lingkungan hidup; kebersihan; perlindungan tanah milik rakyat; rasa malu berbuat salah dan jahat bagi pejabat publik;  dan sebagainya.

Dari keseluruhan TAP MPR di masa lalu ada beberapa TAP yang mengesankan dan memberikan pedoman dan landasan, individu dan kolektif, bagi masalah-masalah bangsa. Beberapa TAP MPR yang masih relevan dan selayaknya dipertajam, diperluas dan dioperasionalisasi dengan menjadikan agama sebagai pedoman dan landasan.  Yaitu, misalnya TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; TAP MPR No. XI 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; serta TAP MPR No. VIII 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN. Di samping itu, dalam hal agama, MPR bisa memberi arah bagi pemerintah dalam  menempatkan  agama sebagai spirit dan etika publik. Namun yang perlu diingat adalah bahwa pembangunan etika publik berbasis agama tersebut bukan dilakukan oleh pemerintah secara langsung melainkan oleh peran serta masyarakat. Pemerintah memfasilitasi masyarakat dan mengerahkan segala daya upaya dengan biaya dan fasilitas lainnya untuk hal itu. Tujuan utama dari proses ini adalah merebut kembali otoritas agama oleh para agamawan dari gawai dan membangun metodologi yang relevan sesuai dengan tantangan mutakhir: karakter milenial dan digital.

Rumbut Bawah, 30 Juni 2021


*) Paper disampaikan pada Perumusan Fokus Bahasan Pokok-pokok Haluan Negara Bidang Agama, MPR RI 1 Juli 2021

Related posts

Jalur Rempah dan Pembentukan Budaya Vernakular Muslim Nusantara*

admin

ASEAN needs intercultural and interreligious dialogue

admin

Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Suatu Kritik Historiografis

admin