FIN UNUSIA
Perspektif Islam Nusantara

Problem Metodologis Penulisan Sejarah Pra Kolonial: Kasus Pelacakan Basis Jaringan Intelektual dan Spiritual Islam di Palembang dalam Konteks Jalur Rempah

  • Oleh: Ahmad Suaedy

Abstrak

Paper ini hendak mengungkap tentang pentingnya pendekatan multidisiplin dalam penulisan sejarah transmisi Islam pra kolonial terutama era transisi dari mayoritas Hindu-Budha ke mayoritas Islam dalam kasus Palembang berkaitan dengan fungsi pelabuhan dan muara sungai dalam jalur rempah sekitar abad XIV – XVI. Ini berkaitan dengan tidak mudahnya menemukan data-data yang bersifat fisik namun terungkap di berbagai penulisan dan cerita non sejarah. Meski demikian, ada yang lebih menentukan daripada metodologi, yaitu perspektif atau paradigma. Perspektif inilah yang akan menuntun dan menentukan metodologi dalam penelitian sejarah. Meski demikian metodologi ikut menentukan hasil akhir dari perspektif itu sendiri. Maka suatu perspektif alternatif, penting untuk disusun dan direkonstruksi guna mendasari metodologi tersebut. Sebagian sejarawan Indonesia telah menekankan pentingnya keterlibatan ilmu-ilmu sosial lain dalam penulisan sejarah dan bahkan penulisan sejarah bisa dilakukan oleh para ilmuwan sosial non-profesional sejarah. Dengan mengambil contoh kasus penelusuran transmisi Islam pra kolonial di Palembang paper ini hendak mengungkap pentingnya pendekatan multidisiplin dalam penulisan sejarah transmisi Islam pra kolonial dalam jaringan intelektual dan spiritual di Palembang yang di masa kemudian diharapkan memberi ciri bagi Islam Nusantara.

Kata-kata Kunci: Palembang, perspektif, metodologi, ilmu sosial, multidisiplin

Pendahuluan

Meskipun sangat penting dan menentukan hasil akhir, metodologi sesungguhnya bukanlah sesuatu yang paling dasar dalam ilmu sejarah. Ada yang lebih menentukan daripada itu, yaitu perspektif atau paradigma. Perspektif inilah yang akan menuntun dan menentukan metodologi dalam penelitian sejarah (Sutherland, 2008; Abdullah & Surjomihardjo, 1985). Sejarah tradisional sangat berbeda dengan sejarah modern, namun ada kecenderungan bahwa pendekatan modern saja tidak cukup untuk membangun suatu perspektif sejarah kekinian dan kedepanan (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2008). Maka suatu perspektif alternatif, penting untuk disusun dan direkonsturksi sebelum menentukan metodologi. Perspektif juga bisa berkembang dan terpolarisasi disebabkan karena tantangan riset dan penulisan sejarah itu sendiri, baik secara kolektif maupun individu (Langtree dkk, 2019). 

Dalam sejarah penulisan sejarah atau historiografi, visi dan program negara paling menentukan selain dari individu para penulis sejarah profesional dan juga  berbagai ranah dan kolektivitas di dalam masyarakat (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2008; Abdullah & Surjomihardjo, 1985).  Sartono Kartodirdjo (2019), juga Azyumardi Azra (2002), misalnya, menekankan pentingnya keterlibatan ilmu-ilmu sosial lain dalam penulisan sejarah dan bahkan penulisan sejarah bisa dilakukan oleh para ilmuwan sosial non-profesional sejarah (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2008; Sutherland, 2008). 

Penulis sendiri bukan berlatar belakang pendidikan khusus sejarah melainkan hanya peminat sejarah dan terlibat dalam suatu penelitian tentang sejarah sehingga terdorong untuk menggeluti sejumlah isu tentang metodologi sejarah. Sedangkan paper ini adalah bagian dari penelitian kolektif di Fakultas Islam Nusantara, Prodi Sejarah Peradaban Islam, Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSIA) yang merupakan kerjasama dan dibiayai oleh Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2021.  Paper ini hendak mengungkap pentingnya pendekatan multidisiplin dalam penulisan sejarah transmisi Islam pra kolonial sekitar abad XIV – XVI tentang jaringan intelektual dan spiritual dalam kasus Palembang yang diharapkan memberi ciri bagi Islam Nusantara kemudian.

Pluralitas Perspektif

Kembali pada perspektif dalam penulisan sejarah. Perdebatan antara Muhammad Yamin sebagai Menteri Pendidikan Republik Indonesia dengan Soedjatmoko sebagai intelektual bebas di Kongres Sejarah Indonesia pertama di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1957 sudah menjadi klasik namun ikut menentukan pada perkembangan berikutnya. Seminar itu hendak membangun suatu telaah sejarah yang berporos pada Indonesia sebagai nasion (nation) dari sebelumnya yang bersifat kolonialistik (berorientasi pada cara pandang dan kepentingan kolonial Belanda). Pada momen itu, barangkali pertama kalinya suatu perspektif atau paradigma sejarah di Indonesia atau tentang Indonesia dibangun. Yamin hendak membangun suatu perspektif sejarah yang bertumpu pada kolektivisme –mungkin mendekati chauvinisme— bahwa sejarah Indonesia semata-mata dibangun dari akar historis masyarakat Nusantara itu sendiri, dengan menjadikan Majapahit sebagai poros tunggal. Sebaliknya, Soedjatmoko hendak menekankan pada perspektif individu, sebagaimana dikenal di masyarakat Barat yang liberal, sebagai fondasi dari sejarah Indonesia (Jaelani, 2018). 

Belakangan, ada kritik yang cukup tajam dari Anhar Gonggong (2006) terhadap perspektif yang ditawarkan oleh Yamin meskipun bersimpang atau tidak sama dengan pandangan Seodjatmoko. Gonggong mengritik Yamin tentang tawaran perspektif sejarah Indonesia yang sentralistik dengan mengambil Majapahit, mungkin juga Sriwijaya, sebagai pusat, serta menjadikan kerajaan-kerajaan di sekitarnya sebagai vasal. Gonggong menyodorkan suatu perspektif desentralistik namun bukan individualistik, dengan bertumpu pada kenyataan adanya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang, meskipun masing-masing independen tetapi, saling berhubungan dan menyatu satu sama lain dan bukan terpusat, sebagaimana pada Majapahit dan Sriwijaya sebelumnya, misalnya.

Dari sini saja sudah muncul tiga perspektif yang berbeda, meskipun ketiganya sama-sama hendak membangun suatu wacana sejarah yang menjadikan nasion Indonesia sebagai poros. Dalam perkembangan sekarang ini, tidak lagi dilihat sebagai hitam putih dalam mengambil salah satu atau dua pandangan, dengan serta merta mengabaikan yang lain, pilihan posmodernisme misalnya (Sutherland, 2008),  dan seterusnya melainkan bisa jadi mengambil ketiganya, dengan cara memilah-milah atau serentak yang disatukan pada tujuan yang sama: nasion Indonesia sebagai poros. Pencarian itu terus berlanjut hingga sekarang. Namun betapapun kuatnya perspektif dalam penulisan sejarah, justeru tetap akan bertumpu pada metodologi. Tanpa metodologi yang memadai dan konsisten, perspektif itu justeru akan mudah goyah.

Keluhan yang menonjol dari para sejarawan tentang upaya dekolonialisasi atau indigenisasi sejarah Indonesia adalah peran negara yang dominan, sedangkan negara itu mengikuti kepentingan para elit yang tidak bisa melepaskan diri dari suatu motif politik atau tergantung pada tradisi kolonial atau kepentingan yang kolonialistik (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2008). Negara yang dominan bukan hanya mempunyai sumber dana dan sumber daya manusia untuk melakukan dan mendikte arah penelitian, melainkan karena sistem yang bersifat hegemonik atas kepentingan tertentu dari negara, termasuk peran elit yang masih tergantung pada tradisi kemapanan dan kolonial. Dalam hal ini, bisa saja kolonialisme diperluas menjadi kepentingan sistemik kelompok politik tertentu pada era tertentu pula, misalnya, pemerintahan liberal (1949-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi penyeragaman (1966-1998) dan demokrasi oligarki (Reformasi) (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2008).

Lagi-lagi, hal demikian bukanlah hitam putih. Bahwa sebuah penelitian sejarah yang dibiayai dari negara dan ditujukan untuk memperkuat salah satu agenda negara akan semata-mata mengabdi kepada kepentingan elit negara kontemporer. Justeru dengan menunjukkan berbagai fakta sejarah yang plural dan menyajikan hasil riset yang beragam pula, untuk kepentingan memberi masukan atau bandingan satu atau dua aspek agenda negara, secara relatif obyektif, diharapkan negara atau pemerintah tidak hanya menerima informasi dan pertimbangan satu sumber melainkan dari banyak sumber dan bisa pula memilih. Independensi, dengan demikian, tidak hanya bisa diukur dari sumber dana, melainkan juga perspektif dan metodologi. Di sinilah metodologi sesungguhnya diuji untuk hanya mengabdi kepada perspektif dan bukan kepentingan elit tertentu. Historiografi, meskipun didukung oleh negara dan kebijakan suatu pemerintahan, tetap harus berada di tangan para sejarawan dan penulis sejarah.

Indonesia kini sedang mencari dasar atau basis argumentasi tentang kepelbagaian atau kebinekaan yang kokoh untuk persatuan yang sinergis dalam masyarakat secara damai dan dialogis melalui titik temu dan pergulatan komunitas-komunitas etnik, agama dan budaya.  Ini tercermin, misalnya, dalam suatu program revolusi mental dan moderasi beragama. Dua program pemerintah itu akan menuntun orientasi keseluruhan pemerintah setidaknya dalam satu periode karena masuk ke dalam rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2021-2024.

Tulisan ini akan mencoba mencari suatu perspektif yang mendasari metodologi, serta menawarkan pilihan metodologi yang mungkin tidak baru, melainkan kombinasi atau multidisipliner dari yang sudah eksis sebelumnya dengan memilih periodisasi era transisi dari mayoritas Hindu-Budha ke mayoritas Islam di Palembang, kira-kira akhir abad XIV hingga akhir abad XVI, sebagai bahan analisanya. Mendekati masa kekinian, historiografi Islam Indonesia mengalami kemajuan yang berarti (Azra, 2002), namun terdapat era-era tertentu yang tidak mudah merekonstruksinya, misalnya era transisi dari mayoritas Hindu-Budha ke mayoritas Islam sebelum terbangunnya kesultanan-kesultanan Islam di berbagai daerah dan tentu saja era kolonial kemudian. Hal itu berkaitan dengan tidak mudahnya mencari data-data sejarah yang tersedia tentang era itu meskipun banyak terungkap dalam berbagai tulisan dan tuturan non sejarah. 

Maka strategi kombinasi atau multdisipliner dalam penelitian masa itu barangkali mungkin dilakukan. Multidisiplin itu adalah antara hasil-hasil penelitian arkeologi mutakhir; naskah-naskah yang lahir di masa itu serta sebelum dan sesudahnya; tradisi ritual dan spiritual seperti paham tasawuf atau tarekat dan kanuragan; juga pengetahuan di sekitar rempah dan jalur perdagangan melalui laut dan sungai serta darat di masa itu yang diduga merupakan kesinambungan dari masa lalu yang jauh sebelumnya; collective memory dan cerita rakyat atau oral history dari masyarakat sekitar peristiwa atau situs atas fakta dan data bisa saja berupa tradisi dan budaya tertentu yang menyangkut dimensi cerita dari ingatan termasuk di dalamnya atas data arkeologis; serta pandangan dan tafsir para ahli atas fakta-fakta dan data-data tersebut. Dalam teori sejarah, cara demikian dapat terlihat dalam metode sejarah sosial. Ini adalah suatu penulisan sejarah yang menekankan pada aspek komunitas dan masyarakat biasa melalui beragam jenis kegiatan yang terjadi maupun filologis dan yang mengikutinya (Klein dkk, 2018; Azra, 2006; Kartodirdjo dkk., 2013). 

Historiografi Islam Nusantara dan Tantangannnya

Penelitian ini mengambil lokus di salah satu daerah, yaitu Palembang,  dari tiga daerah di Indonesia atau Nusantara dalam suatu penelitian kolektif yaitu Demak, Banten dan Palembang. Dari tiga daerah itu, penelitian ini hendak menyorot secara khusus peran bandar dan muara sungai dalam terjadinya transmisi Islam serta terbentuknya komunitas Muslim awal –betapapun sederhananya– sebelum berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di daerah-daerah tersebut. Dibanding dengan dua daerah lainnya, Palembang sebagai bagian dari Sumatera, memiliki akses langsung dan luas terhadap pusat lalu lintas perdagangan dunia di hampir setiap zaman. Ia berada di dekat Laut China Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, dan juga Selat Bangka. Modal ini menjadikan Palembang memiliki posisi sangat strategis dalam perdagangan dan titik temu kebudayaan (Asnan, 2016). Bahkan di masa lalu, Sriwijaya disebut sebagai “pemerintahan laut/ruler of the sea”. Kota berair yang juga dikenal Venesia dari Timur (Santun, 2010) ini juga dianggap sebagai bandar paling awal di Sumatera (Manguin, 1993; Lapian, 2008). 

Palembang juga memiliki sungai sangat besar dan terkenal yaitu Sungai Musi yang memiliki setidaknya sembilan anak sungai. Semua sungai-sungai itu di masa lalu menjadi jalan utama dan urat nadi perdagangan dari ulu ke ilir dan sebaliknya (di pelabuhan utama Palembang dan muara sungai atau kota). Perlu diketahui bahwa Bandar utama Palembang sejak awal memang tidak di muara sungai atau di pantai laut melainkan di pantai sungai Musi kurang lebih berjarak sekitar 70 km ke mulut sungai atau muara (Asnan, 2016; Santun, 2010) -–baru sangat belakangan dibangun fasilitas pelabuhan di pantai laut dekat mulut sungai Musi. Bandar utama ini menjadi bandar perantara bagi aneka komoditi internasional ke muara, mulai dari rempah khususnya lada hitam dan emas. Muara Sungai Musi (Santun dkk., 2010, 2010a) menjadi semacam pusat titik temu antara pedagang dari luar daerah termasuk dari India, China, Arab dan Persia serta dari pulau-pulau lain di Nusantara dengan para pedagang lokal. Padatnya jalur sungai membawa dampak bagi tumbuhnya pemukiman di pinggir sungai (Wolters, 1975; Santun dkk., 2010a). Ini termasuk yang ditemukan antara muara sungai Musi dengan daerah pantai laut (Asnan, 2016; Santun, 2010). 

Salah satu dinamika dan titik temu masyarakat Indonesia dalam suatu perubahan radikal namun damai, termasuk di Palembang, adalah era transisi dari mayoritas Hindu-Budha menjadi mayoritas Islam. Di rentang era itu, terjadi pergeseran yang luas yang melibatkan ketegangan, konflik namun juga titik temu dan sintesis, bahkan –dalam kasus di Jawa–  sintesis itu terjadi  pada level paling tinggi yaitu spiritual (Ricklefs, 2006; Suaedy, 2021). Di pertengahan abad ke-16 atau bahkan di awal, sudah terbangun beberapa kesultanan yang mapan di sejumlah tempat di Jawa maupun di Sumatera, dan sebelumnya pada abad ke-13 sudah ada Samudera Pasai dan juga Barus (Drakard, 1989). Di beberapa tempat ini, pergeseran spiritual terjadi dalam berbagai format, mulai dari kehidupan istana hingga masyarakat biasa. Ini mengindikasikan adanya periode transisi, yang menurut penulis, belum banyak diungkap oleh sejarawan dan penulis sebelumnya. 

Pengaruh pergeseran spiritual di Sumatera bagian Tengah (kini Sumatera Utara) dan bagian Selatan belum tampak besar, untuk kemudian disusul munculnya kerajaan Islam Aceh Darussalam yang beribukota di  Banda Aceh pada akhir abad ke-15. Juga, hampir bersamaan muncul Kesultanan Demak disusul kemudian Cirebon akhir abad ke-15 dan Banten pertengahan abad ke-16. Kerajaan Islam Palembang Darussalam sendiri baru berdiri akhir abad ke-17 di bawah Sultan Abdurrahman pada tahun 1677, namun sebelumnya telah tercatat masuk Islamnya duta atau representasi utusan kerajaan Majapahit yang memeluk Islam Aria Damar yang kemudian mengubah nama menjadi Ario Dillah (1455-1486 ), (Nirwanto & Endrayadi, 2016). 

Setelahnya, muncul kerajaan yang didirikan oleh salah satu bangsawan dari Demak bernama Pangeran Sedo Ing Lautan (-1528) dan kemudian diteruskan Ki Gede ing Suro (1528-1545) sebagai cikal bakal Palembang Darussalam. Namun ada indikasi bahwa sepanjang proses itu dan sebelumnya, terdapat sejumlah komunitas  Islam telah ada di Palembang, baik yang berasal dari pengaruh Samudera Pasai dan Barus serta Demak melalui jalur laut dan darat serta Cheng Ho dari China. Dengan demikian, Islam juga datang langsung dari daerah-daerah kawasan luar Nusantara melalui laut seperti dari India, China, Persia dan Timur Tengah sejak waktu sangat awal baik langsung ke wilayah itu maupun melewati daerah sekitarnya seperti Malaka, Perlak dan Aceh melalui perdagangan. Mereka kemudian bertemu dan relasi antar pulau terutama via laut di Nusantara, tidak terkecuali di Palembang (Wiyana, 2014). 

Perdagangan internasional itu mengikuti kemajuan dan dinamika kesultanan atau dinasti-dinasti  di kawasan-kawasan tersebut. Di era Sriwijaya, bahkan kerajaan Hindu itu oleh sebagian sejarawan dijuluki sebagai “pemerintahan  luat/ruler the sea.” Mengingat pada awalnya tentu saja Islam datang dari luar, apakah diantar atau dibawa oleh para pedagang dan pendakwah dari pusat kesultan-kesultanan Islam atau dari orang Nusantara yang melakukan perjalanan atau belajar ke luar untuk mencari pengetahuan Islam, untuk kemudian membawa ke daerah tertentu di Nusantara (Fatimi, 1963).  

Jadi penelitian ini tidak mencari siapa dan kapan Islam itu masuk atau terjadi islamisasi di daerah-daerah penelitian termasuk di Palembang, melainkan bagaimana pertama-tama transmisi dan transformasi pengetahuan dan kemudian terbangunnya komunitas jika ada tentang Islam di daerah-daerah tersebut dengan peran sungai dan bandar pada era transisi. Bagaimana pola-pola transmisi, dialog dan kemudian terbangun komunitas dan epistemik Islam di Palembang saat itu sebelum berdirinya kesultanan. 

Dalam penelitian tentang Islam klasik di Nusantara, khususnya Palembang, sebagian besar terfokus pada upaya menjawab kapan dan oleh siapa Islam datang atau masuk ke Nusantara atau islamisasi berikutnya. Akhir-akhir ini, muncul wacana bahwa Islam datang ke Nusantara pertama-tama tidak dibawa oleh orang dari luar melainkan dijemput oleh orang Nusantara sendiri sebelum berkembang kemudian. Bahkan spekulasi namun merujuk pada sumber tertentu seperti sumber China dan India, Islam sudah diperkenalkan di Nusantara sejak masa yang sangat awal namun artifisial, yakni di awal abad ke-8 atau bahkan di  akhir abad ke-7, di era Khulafa ar-Rasyidun, para khalifah empat pengganti kepemimpinan Nabi Muhammad dan Dinasti Muawiyah awal (Wolters, 1975; Fatimi, 1963). Kalau tidak, maka kajian Islam lebih fokus pada perkembangan Islam setelah terbangun kesultanan-kesultanan yang memang banyak datanya terutama era kolonial kemudian. 

Kajian ini tidak hendak menonjolkan sifat kepahlawanan baik sebagai pembawa misi Islam itu sendiri maupun keberhasilan mengkonversi pemeluk kepercayaan lain ke dalam Islam serta perlawanan terhadap kolonial, melainkan hendak merekontruksi pada kehidupan interaksi alamiah sehari-hari masyarakat sebagai masyarakat maritim dan tempat sumber komoditi perdagangan internasional dipertukarkan, termasuk rempah dan lainnya seperti emas, kapur barus dan kemenyan serta keramik dari China maupun Timur Tengah dan India. 

Sebagaimana dikemukakan di atas, pada kajian Islam awal hingga runtuhnya Sriwijaya abad ke-12, perkembangan Islam cukup terpantau, meskipun bersifat artifisial, oleh para sejarawan terutama melalui sumber-sumber dari China dan India bersamaan dengan lalu lintas perdagangan internasional tersebut (Wolters, 2019; Manguin, 1993). Dalam temuan-temuan itu Palembang, sebagai ibukota kerajaan Budha Sriwijaya, karena kebesarannya, bisa dikatakan tempat awal komunikasi antara Nusantara dan Dunia Islam di Arab sebelum terbangunnya kesultanan di Aceh Pasai dan Lambri atau Lamuri di abad ke-13 dan disusul kemudian di Jawa dan daerah lain di Nusantara. Namun, sejak runtuhnya Sriwijaya digantikan oleh imperium Majapahit hingga keruntuhannya, kajian tentang dinamika Islam tidak begitu tampak. Di era ini ada semacam kekosongan historiografi Islam, bukan hanya di Palembang melainkan juga di daerah Nusantara lainnya, khususnya di tiga daerah penelitian ini. Historiografi Islam baru muncul dengan kajian yang kaya dengan data dan naskah, pada saat kejayaan atau awal dari kesultanan-kesultanan Islam di berbagai daerah, awalnya dari Aceh Samudera Pasai dan Lambri di abad ke-13. Tentu saja kemudian era kolonial.

Yang mungkin lebih menarik adalah bahwa dalam catatan sejumlah sejarawan, Palembang di era Sriwijaya sempat menjadi pusat perguruan Budha yang bertaraf internasional, yakni Bukit Siguntang, yang peninggalannya masih ada dan cukup besar hingga sekarang, yaitu ketika ibukota Sriwijaya atau pusat perguruan Budha berpusat wilayah di Muara Jambi (Wolters, 2019). Ketika kota ini ditaklukkan oleh Majapahit, sejumlah  bangsawan Sriwijaya  melarikan diri ke pedalaman dan pegunungan kemudian mengambil tempat dan bermukim di sana, untuk membangun komunitas yang tampaknya sebagian terwariskan hingga kini. Sebuah dugaan muncul bahwa di antara yang melarikan diri adalah para pemeluk Islam kemudian terbentuk komunitas sangat terbatas dan sederhana. Bagaimanakah interaksi komunitas Islam tradisional dengan masyarakat Budha ketika itu dan bahkan ketika Majapahit menjadikan Palembang sebagai vasal? belum begitu jelas. Karena itu, tampaknya, meskipun terbangunnya kesultanan Islam awal di Palembang diinisiasi oleh tokoh dari kesultanan Demak, tetapi terbangunnya komunitas-komunitas Muslim yang terbatas tampak  lebih awal dari masa itu.  Sebagaimana diungkap oleh Ricklefs, di ibukota Majapahit ketika kejayaannya di Jawa Timur sudah ada komunitas Muslim lokal yang kini meninggalkan warisan sejarah berupa makam terkenal dan banyak diziarahi masyarakat Muslim, yaitu Makam Trowulan dan Makam Troloyo (Ricklefs, 2003). 

Di awal abad ke-15 (1407), Laksamana Cheng Ho telah mendarat di Palembang dan setelah itu masih mendarat dua kali lagi di lokus yang sama, sehingga seluruhnya ada tiga kali pendaratan di Palembang dari tujuh kali petualangannya ke kawasan Asia Tenggara hingga Afrika (Yuanzhi, 2008). Dalam pendaratan itu, ia membawa sejumlah awak kapal dengan jumlah besar untuk berbagai pekerjaan di kapal (Yuanzhi, 2008; Tan Ta, 2009). Semua awak kapal Cheng Ho adalah laki-laki beretnis Hui dan sebagian besar Muslim. Ketika kapal ini kembali, tidak semua awak kapal, para diplomat  dan pengawal ikut pulang ke China sehingga diduga terjadi pernikahan lintas etnis dan ras menjadi faktor penting dalam penyebaran Islam ketika itu. Maka, terdapat dugaan sebagian dari awak kapal Cheng Ho melakukan dakwah atau transmisi dan bahkan membentuk komunitas China ditandai dengan temuan sejumlah keramik asal China di sejumlah tempat seperti di Kampung Bukit Lama yang ditemukan oleh tim arkeologi Indonesia  pada akhir tahun 1978 (MacKinnon, 1979), juga komunias China yang masih ada yang tinggal di tepi sungai Musi (Wawancara, Hengky Ongko, 11/21). 

Salah satu komunitas yang masih terdengar disebut namun tidak mudah diverifikasi dan dikonfirmasi adalah komunitas Hanafiyah. Komunitas Hanafiyah ini diduga merupakan peninggalan Cheng Ho –karena masyaraat Islam China ketika itu bermazhab Hanafi yang merupakan pengaruh dari Dinasti Mamluk di Mesir dan Mughal di India dan kemudian Dinasti Turki Ustmani (Yuanzhi, 2008). Komunitas itu diduga merupakan pengembangan komunitas yang dilakukan oleh anak buah Cheng Ho yang tertinggal dan kemudian membentuk komunitas –hal yang sama diduga terjadi di daerah-daerah lain yang disinggahi Cheng Ho. Tetapi, karena mazhab Syafii lebih gencar dan hegemonik di kemudian hari, maka mazhab Syafii jauh lebih luas pengaruhnya sedangkan komunitas Hanafiyah kemudian memudar. Dan menurut penuturan tokoh komunitas di Kampung Kapitan Ibu Nurjanah Palembang, juga Hengky Honggo, meskipun tidak begitu yakin dia dengan ingatannya, komunitas Hanfiyah sudah beralih ke mainstream mazhab Syafi’i dalam praktek kesehariannya (Wawancara, 2/8/21).

Problematika Sumber Informasi dan Verifikasi   

Sebagaimana disebutkan di atas, tulisan ini tidak hendak mencari jawaban siapa dan di mana awal mula Islam masuk ke Nusantara, dalam hal ini Palembang. Juga tidak akan mencari awal mula dan proses islamisasi dari dan oleh kesultanan melainkan hendak mencari model transmisi dan komunikasi timbal balik tentang pengetahuan dan mungkin spiritualitas, jika mungkin di dalam komunitas keseharian yang terbangun ketika itu. Tidak mudah untuk mengonstruksi bagaimana transmisi dan terbangunnya komunitas Islam di dalam masyarakat sipil sebelum berdirinya kesultanan, baik Demak, Banten maupun Palembang. Namun, dengan  memperhatikan berbagai kajian di era itu dan sebelumnya terutama dalam lalu lintas perdagangan internasional, juga antar pulau di Nusantara melalui laut dan sungai, tentu saja termasuk darat, komunitas seperti itu sangat mungkin terjadi.  Pesisir atau pantai dan bandar serta muara sungai serta aliran sungai ulu ke ilir dan sebaliknya adalah titik yang paling mungkin tempat bertemu dan transaksi perdagangan tersebut. Selanjutnya, ada indikasi kuat bahwa dalam tukar menukar komoditi itu, mereka tidak hanya terbatas pada transaksi komoditi saja melainkan ada di dalamnya transmisi ilmu pengetahuan dan spiritual dalam berbagai bentuknya. 

Wolters (1986) dan juga Santun dkk. (2010a) menunjukkan adanya pemukiman-pemukiman tua di beberapa wilayah di Palembang termasuk di luar kota Palembang, di pinggiran dan di muara sungai Musi, hingga sekarang yang mengindikasikan terbentuknya secara bertahap pada awal-awal ditemukannya data sejarah di Palembang baik di era Sriwijaya maupun di era Majapahit. Mungkin, komunitas-komunitas itu bukan murni Islam tapi dimungkinkan beberapa di antaranya campuran. Dimungkinkan pula bahwa di era awal Demak juga terbangun komunitas Muslim, baik lewat laut maupun darat, melalui Banten dan Lampung. 

Salah satu indikasi yang juga penting tentang transmisi pengetahuan tentang Islam adalah kota Makkah dan Madinah serta Gujarat di India. Hampir semua tokoh penulis Islam awal di abad ke-16 dan ke-17 terutama Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, kemudian Ar Raniri (bahkan tokoh ini adalah imigran dari India itu sendiri), Abdus Samad Al-Palinbani (Feener, 2015; Wormser, 2015; Peacock, 2018) bersinggungan dengan tiga kota besar itu.  Para ulama tersebut bukanlah sarjana-sarjana domestik melainkan sarjana bereputasi internasional. Mereka berpartisipasi dalam belajar maupun mengajar di pusat-pusat perguruan Islam seperti Madinah, Makkah dan Gujarat India dan juga di Jawa, sekitar Demak, Cirebon  dan Banten (Bruinessen, 1994). Maka denominasi atau aliran Islam menjadi penting untuk mendapatkan perhatian seperti mazhab fiqh, Hanafi dan Syafii, paham tasawuf seperti wujudiyah, martabat tujuh dan ajaran Ghazalian dengan segala dinamika kontestasi dan titik temu serta kombinasi, merupakan bagian dari pola transmisi intelektual dan spiritual Islam tersebut. Berbagai naskah dari para ulama tersebut menunjukkan dinamika, dialektika, kontestasi dan titik temu tersebut. Juga patut diduga bahwa  pemikiran kreatif mereka tidak hanya bersumber dari keilmuan di dunia Islam, melainkan juga menyerap dinamika intelektual dan spiritual lokal (Vikily, 1997; Jhons, 1995). 

Temuan di Palembang ini tentu akan merevisi wawasan kesejarahan yang selama ini terbangun. Jalur rempah yang telah diakui oleh sejarawan sebagai wahana pengumpul kekayaan saudagar dan raja Nusantara, ternyata juga mempunyai dampak signifikan, yakni penyebaran dan pengenalan wacana spiritualitas dan juriprudensi Islam ke penduduk pedalaman. 

Harus diakui, Historiogarafi Indonesia masih malu untuk memberikan panggung bagi aktivitas warga di pedalaman Sumatra. Semoga artikel ini menjadi lilin kecil yang memberikan penerangan atas peran mereka yang juga penting dilihat sebagai bentuk novelti dalam kajian sejarah. Tentu saja, lembaran ini masih membutuhkan banyak pendalaman, seperti berupa konsepsi perpektif sejarah multidisipliner yang lebih konseptual dan relevan dengan kajian, ditambah dengan pengayaan pendekatan dengan menimbang pada model dan jenis aktivitas manusia dan filologis di masa silam. 

Kesimpulan

Dari sisi metodologis, dengan mengambil penulisan sejarah periode era transisi dari mayoritas Hindu-Buddha ke mayoritas Muslim sekitar akhir abad ke-14 hingga akhir abad ke-16, khususnya di Palembang, sangat menantang namun bisa diduga hasilnya akan sangat bermanfaat untuk mencari basis bagi transformasi radikal masyarakat ke Islam secara smooth dan damai. Agama Hindu-Buddha juga kepercayaan lokal memberikan tempat bagi agama dan paham baru untuk masuk dan bergaul namun Islam juga tampak setidaknya melalui tradisi sufistik, dengan menyerap elemen-elemen kebudayaan lokal tanpa canggung. Dari semua proses tersebut, tidak bisa dilepaskan tentang transaksi dan komoditi perdagangan internasional yang dihasilkan oleh bumi dan masyarakat Nusantara. Dari keseluruhan tersebut, di masa itu, peran sungai dan laut, dalam hal ini bandar dan muara Sungai Musi, menjadi kunci utama. Mungkinkah kebudayaan Nusantara kembali menempatkan laut dan sungai sebagai salah satu pusat pergulatan dan titik temu kebudayaan dan sekaligus menghidupkan kembali urat nadi perdagangan dan komoditi lokal untuk pasokan dunia dan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia?

Referensi:

Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.

Abdullah, Taufik & Surjomihardjo, Abdurrachman. 1985. Ilmu Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia, YIIS & LEKNAS-LIPI.

Asnan, Gusti: 2006. Sungai & Sejarah Sumatera. Yogyakarta: Ombak.

Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia.

——–. 2006. “Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pingir. Dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Jakarta: YFI & Mizan, hlm. 3-29.

——–. 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Cet. Ketiga, Jakarta: Kencana.

Burhanudin, Jajat. 2017. Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana.

Bruinessen, Martin van. 1994. “Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150, hlm. 305-329.

Chambert-Lior, Henri. 2019. Naik Haji di Masa Silam, Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji Tahun 1482-1890. Tiga Jilid, Cet. Kedua, Jakarta: KPG, 2019. 

Drakard, Jane. 1989. “An Indian Ocean Port: Sources for the Earlier History of Barus.” Archipel, volume 37, Villes d’Insulinde (II), hlm 53-82.

Fatimi, S.Q. 1963. “Two Letters from Maharaja to the Khalifa: A Study to the Early History of Islam in the East.” Islamic Studies, Vol. 2, No. 1, March, hlm. 121-140. 

Feener, R. Michael. 2015.  “ʿAbd al-Samad in Arabia: The Yemeni Years of a Shaykh from Sumatra.” Southeast Asian Studies, Vol. 4, No. 2, August, pp. 259–277 259.

Feener, R. Michael & Laffan, Michael F.  2005. “Sufi Scents Across the Indian Ocean : Yemeni Hagiography and the Earliest History of Southeast Asian Islam.” Archipel  70, hlm. 185-208

Gonggog, Anhar. 2006. “Salah Kaprah terhadap Pemahaman Sejarah Indonesia: Persatuan Majapahit dan Piagam Jakarta—Kemayoritasan Islam.” Dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Jakarta: YFI & Mizan, hlm. 30-72.

Jaelani, Gani A. “Nasionalisasi Pengetahuan Sejarah: Meninjau Kembali Agenda Penulisan Sejarah Indonesiasentris, 1945-1965,” dalam Jurnal Sejarah. Vol 2, No.1, 2018, hlm.-29.

Johns, Anthony H. 1995. “Sufism in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations.” Vol. 26, No. 1, March, hlm. 169-183.

Kartodirdjo, Sartono. 2019. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta Ombak Dua, Cet. Kedua.

Kartodirdjo, Sartono & Kuntowijoyo & Purwanti Bambang. 2013. Sejarah sosial konseptualisasi, model, dan tantangannya. Yogayakarta, Ombak.

Klein, Dominik dkk. “Agent-based modeling in social science, history, and philosophy. An introduction,” dalam Historical Social Research/Historische Sozialforschung, Vol. 43, No. 1, 2018, hal. 7-27. 

Lapian, Adrian B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu.

Langtree, Tanya, dkk. “Separating” fact” from fiction: strategies to improve rigour in historical research,” dalam Forum Qualitative Sozialforschung/Forum: Qualitative Social Research. Vol. 20. No. 2. 2019.

Lombard, Denys & Salmon, Claudine. 1993. “Islam and Chineseness.” Indonesia  No. 57, April, hlm. 115-131. 

Manguin, Pierre-Yevs. 1993. “Palembang and Sriwijaya: An Early Malay Harbour-City Discovered.” Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society,  Vol. 66, No. 1, (264), hlm. 23-46.

——–. “State-City and City-State Cultures in Pre 15th-Century in Southeast Asia.” In Hansen, M.H. (Ed.) (2000) A Comparative Study of Thirty City-state Cultures. Copenhagen: Kongelige Danske Videnskabernes Selskab, hlm. 409-416.

Marihandono, Djoko & Kanumoyoso, Djoko. tt. Rempah, Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI.

Nordolt, Henk Schulte & Purwanto, Bambang & Saptari, Ratna.  2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan OBOR-KTLV-Jakarta, 2008. 

Nirwanto & Endrayadi, Eko Crys. 2016. Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya. Palembang: TTN.

Peacock, A. C. S. 2018. “Sufi Cosmopolitanism in the Seventeenth-century Indian Ocean: Sharīʿa, Lineage and Royal Power in Southeast Asia and the Maldives.” Dalam Gedacht, Joshua & Feener, R. Michael. Challenging Cosmopolitanism. Edinburgh: Edinburgh University Press, hlm. 53-80. 

Ricklefs, M.C. 2006. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Singapore: Signature Books Series. 

Santun, Dedi Irwanto Muhammad. 2010. Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial Sampai Pascakolonial. Yogyakarta, Ombak.

Santun, Dedi Irwanto Muhammad & Murni & Supriyanto. 2010a. Iliran dan Uluran: Dikotomi dan Dinamika dalam Sejarah Kultural Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher.

Supriyanto. 2013. Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Palembang 1824-1864. Yogyakarta: Ombak. 

Sen, Tan Ta. 2009. Cheng Ho and Islam in Southeast Asia. Singapore: ISEAS.

Turner, Jack. 2011. Sejarah Rempah, Dari Ereotisme Sampe Imperalisme. Terj., Jakarta: Komunitas Bambu.

Usman, Saidina & Sari, Nori Sopita & Adimarta, Tegus. 2000. “Islamization and Socio Economis History of Jambi Malay.” Ijierm, Vol. 2 No. 2, May – July, hlm. 80-99.

Vakily, Abdollah. 1997. “Sufism, Power Politics and Reform: Ar-Raniri’s Opposition to Hamzah Fansuri’s Teaching Reconsidered”. Studia Islamica, Vol. 4, No. 1, hlm. 113-135. 

Wiyana, Budi. 2014.  “Hubungan Perdagangan Antara Pantai Timur Sumatera Selatan dengan Dunia Luar.” Siddhayatra, Vol. 19, No. 2,  November.

Wolters, O.W. 2019. Kebangkitan & Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII. Cet. Kedua, Depok, Komunitas Bambu.

——–. 1986. “Restudying Some Chinese Writings on Sriwijaya.” Indonesia, No. 42, October, hlm. 1-41.

——-. 1975. “Lanfall on the Palembang Coast in Medieval Times.” Indonesia, 20, October, hlm. 1-57. 

Wormser, Paul. 2015. “The Spread of Islam in Asia through Trade and Sufism (ninth–nineteenth centuries).” Dalam Turner, Bryn S. & Salemink, Oscar. Routledge Handbook of Religions in Asia. New York: Routledge. 

Yuanzi, Kong. 2008. “On the Relationship between Cheng Ho and Islam in Southeast Asia.”  https://kyotoreview.org/issue-10/on-the-relationship-between-cheng-ho-and-islam-in-southeast-asia/

Wawancara:

  1. Hengky Honggo, 11/8/21, seorang Chinese, penulis khusus tentang China, bisa berbahasa China dan memiliki akses ke naskah berbahasa China di China.
  2. Ibu Nurjanah atau Ibu Ana, Pemuka Kampong Kapitan di Palembang, 2/8/21.
  3. Wawancara dengan Dedi Irianto, Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya, pada Selasa, 14 Juli 2021.
  4. Wawancara dengan Abdul Ghoni, juru kunci makam Sariman (Arya Penangsang) di Indralaya
  5. Wawancara dengan Baba Azim, Tokoh Muslim Tionghoa di Palembang
  6. Wawancara dengan Haidar, tokoh muda komunitas Arab Palembang

Related posts

Pertanian, Agraria, dan Perubahan Iklim dalam Perspektif Islam Nusantara

Ngatawi El-Zastrow

Islam, Minoritas dan Negara-Bangsa: Pergulatan Dunia Islam Merespons Perubahan Global *

Dr. Ahmad Suaedy MA. Hum.

Sintesis Nusantara: Islam, Kebinekaan dan Tantangan Global

Dr. Ahmad Suaedy MA. Hum.