Penelusuran “wali” perempuan Nusantara kali ini tertuju pada dua sosok perempuan yang memiliki profesi berbeda. Pertama adalah sosok pejabat sekaligus pengusaha yaitu Nyi Gede Pinatih. Dia adalah seorang pejabat Majapahit, sebagai Kepala bea cukai dan Sahbandar pelabuhan Gesik. Selain itu dia juga seorang pengusaha sukses yang banya memiliki kapal dagang. Kedua adalah Nyi Subang Larang, seorang “wali” perempuan yang menjadi istri raja Pajajaran namun tetap memilih hidup sederhana menjadi seorang ulama penyebar Islam di Jawa Barat. Jejak kedua “wali” perempuan dengan profesi yang berbeda ini menarik untuk dilacak.
Nyi Gede Pinatih
Dalam literatur sejarah, Nyai Ageng Pinatih atau Nyai Gede Pinatih dikirim ke tanah Gresik pada abad ke-15 Masehi. Dia dikirim dari Blambangan atau saat ini bernama Banyuwangi untuk misi keagamaan. Mengawali misinya, Nyai Ageng Pinatih menemui saudara perempuannya, permaisuri penguasa Majapahit kala itu, Raja Brawijaya.
Demi memuluskan misi keagamaan tersebut, Raja Brawijaya menghadiahkan sebidang lahan di tanah Gresik. Akhirnya, 1412 Masehi, Nyai Ageng Pinatih memutuskan untuk menetap dan menggarap atas tanah tersebut. Beliau menyadari bahwa untuk memaksimalkan hadiah itu, tidak hanya perlu bekal ilmu agama. Perlu juga ilmu dagang atau ilmu ekonomi.
Untuk mendapatkan itu semua, Nyai Ageng Pinatih memulai dengan nyantri ke beberapa ulama tersohor saat itu. Para ulama yang dijadikan guru untuk belajar agama adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmatullah alias Sunan Ampel di Surabaya. Untungnya, dua dari sembilan Walisongo itu juga mahir tentang ilmu dagang. Selain belajar ilmu agama, Nyi Gede Pinatih juga belajar ilmu dagang dan ekonomi pada kedua tokoh tersebut.
Berkat ilmu agama yang diperoleh dari para gurunya, Nyai Ageng Pinatih mampu menyebarkan Islam kepada warga di tanah Gresik. Dalam menjalankan misi menyebarkan Islam tersebut Nyi Gede Pinatih memandang perlunya peningkatan ekonomi sebagai bekal dan sarana dakwah. Artinya bekal dakwah tidak hanya ilmu agama, tetapi juga perlu kekuatan ekonomi. Untuk itu, berbekal dengan ilmu ekonomi yang diperoleh dari gurunya, Nyi Gede Pinatih membuka usaha perdagangan. Bahkan, juga memanfaatkan tanah Gresik yang memiliki banyak pesisir pantai untuk dijadikan sebagai pusat perdagangan.
Usaha perdagangan yang dirintis Nyai Ageng Pinatih berhasil dan sukses. Dia berhasil memiliki banyak kapal dagang. Kapal-kalap ini digunakan sebagai moda transportasi dagang yang membawa barang dagangan dari Gresik ke wilayah lain, baik di wilayah Majapahit maupun Blambangan serta wilayah lain. Demikian sebaliknya, membawa barang dagangan dari daerah lain untuk dipasarkan di Gresik dan sekitarnya.
Atas keberhasilannya mengembangkan usaha perdagangan, pada 1458, Kerajaan Majapahit mengangkatnya sebagai Syahbandar Pelabuhan Gresik.Menurut Oemar Zainuddin dalam buku Kota Gresik 1896-1916 Sejarah Sosial Budaya Dan Ekonomi, Nyai Ageng Pinatih adalah perempuan pertama di Nusantara yang menjadi pejabat syahbandar yang tugasnya pada memungut bea cukai dan mengawasi pedagang asing. Tugas sebagai pejabat sahbandar ini dijalankan sampai meninggal tahun 1478 Masehi, tepatnya pada 12/13 Syawal tahun 1478 M dan dimakamkan di Desa kebungson (100 meter utara Alun-alun Gresik). Nyai Ageng Pinatih dikenal sebagai ulama perempuan yang juga menjadi kepala pelabuhan dan pengusaha sukses di era Kerajaan Majapahit.
Menurut catatan sejarah, Nyai Ageng Pinatih adalah sosok yang mengasuh dan menyusui Joko Samudro. Hingga saat ini tempat menyusuinya dikenal dengan kampung Pesuson atau lebih dikenal Kebungson. Di kisahkan, pada sekitar tahun 1443 M saat Nyi Gede Pinatih berusia 30 tahun menemukan bayi yang hanyut di lautan. Bayi itu kemudian dipungut dan dirawat kemudian diberi nama Joko Samudro. Selanjutnya Nyai Ageng Pinatih memberikan pendidikan agama melaui Sunan Ampel di Pondok Ampeldenta Surabaya. Oleh Sunan Ampel, Joko Samudro diberi nama Raden Pak yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.
Hampir belum ada naskah yang menceritakan khusus mengenai sosok Nyi Gede Pinatih ini. Tetapi keberadaanya selalu disebut dalam sejarah Sunan Giri. Hampir semua catatan sejarah Sunan Giri selalu menyebut dan mengkaitkan dengan Nyi Gede Pinatih. Ini sukup membuktikan pentingnya peran Nyi Ageng Pinatih dalam perjuangan Islam khususnya yang terkait degan sosok Sunan Giri. Peran penting Nyi Ageng Pinatih terhadap perjuangan penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Giri disebutkan dalam Babad Gresik, Jilid I versi Radya Pustaka Surakarta: Alih tulisan dan Bahasa oleh Soekarman B.Sc (Gresik: Panitia Hari Jadi Kota Gresik, 1990), Umar Hasyim, Sunan Giri dan Pemerintahan Giri Kedhaton (Kudus: Menara Kudus, 1978), A.F. Moh. Erfan, Sejarah Kehidupan Sunan Giri (Penghulu Juru kunci Pesarean Sunan Giri),
Nyi Subang Larang
Kisah Nyai Subang Larang tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) karya Pangeran Arya Cerbon yang dibuat pada tahun 1720. Menurut CPCN, Subang Larang bernama asli Kubang Kencana Ningrum, beliau lahir tahun 1404 dari ayah yang bernama Ki Gedeng Tapa seorang Syahbandar pelabuhan Muara Jati. Ki Gedeng Tapa masuk Islam setelah berguru pada Syech Quro.
Setelah masuk Islam Ki Gendeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Kubang Kencana Ningrum kepada Syekh Quro untuk belajar Islam. Syach Quro adalah seorang ulama dari Campa yang nama aslinya Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik. Dia datang ke Nusantara dengan menumpang perahu dagang dari Campa dan mendarat di bandar Muara Jati tahun 1418. Pada saat itu bandar Muara Jati berada dalam wilayah kekuasaan nagari /kerajaan kecil Singapura. Setibanya di pelabuhan Muara Jati, syekh Hasanudin mendirikan pasantren di daerah Pura, Desa Talagasari, Karawang, dengan nama Pesantren Quro, maka dari itu kemudian ia lebih dikenal dengan nama Syekh Quro.
Di pesantren syech Quro. Nyai Subang Larang belajar Islam terutama ilmu membaca al-qur’an, selama 2 tahun. Di tempat inilah Syeh Quro memberikan gelar Sub Ang larang (Pahlawan berkuda) kepada Kubang Kencana Ningrum. Sejak saat itu dia dikenal dengan sebutan Nyi Subang Larang. Sekitar tahun 1420 Subang Larang Kembali ke Muara Jati. Pada tahun yang sama Nyi Subang Larang menikah dengan Pamanah Roso, Putra raja putra Sunan Prabu Dewa Niskala atau prabu Susuk Tunggal Raja Pajajaran. Pamanah Roso berhasil menikahi Subang Larang setelah berhasil memenangkan sayembara yang diselenggarakan oleh Ki Gedeng Tapa. Pernikahan dilaksanakan di pesantren Syekh Quro.
Pamanah Roso kemudian diangkat menjadi Raja di kraton Pakuan Pajaran (Bogor) menggantikan prabu Susuk Tunggal. Saat menjadi raja inilah Pamanah Roso bergelar Prabu Siliwangi. Meski sudah menjadi istri raja, Nyi Subang Larang terus menjalankan aktifitasnya sebagai penyebar dan pendidik ajaran Islam kepada masyrakat. Posisinya sebagai istri raja membuat gerakan penyebaran Islam di Kawasan Pajajaran menjadi semakin mudah.
Penelusuran sejarah Abah Dasep Arifin menunjukkan peran Subang Larang dalam penyebaran Islam di Pajajran sangat vital. Dia dipercaya mendirikan pesantren dengan nama “Kobong Amparan Alit” di Teluk Agung yg kini berada di Desa Nanggerang Kecamatan, Binong. Di pesantren ini Subang Larang menjadi pengasuh yang mendidik para santri mengenai ajaran Islam. Nama “Kobong Amparan Alit” ini diperkirakan berubah menjadi daerah yang kini disebut “Babakan Alit” yang juga di sekitar kawasan Teluk Agung, desa Nanggerang.
Setelah Nyi Subang Larang meninggal perjuangan menyebarkan dan mengajarkan Islam diteruskan oleh putra-putrinya masing-masing Raden Walangsungsang (1423), Nyai Lara Santang (1426), dan Raja Sangara (1428). Ketiga anaknya inilah yang kemudian memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa Barat sehingga mengubah Jawa Bagian Barat menjadi daerah penyebaran Islam. Data sejarah yang ditemukan Abah Dasep ini menunjukan dua hal penting, pertama mengenai peran perempuan dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dalam konteks ini perempuan tidak hanya menjadi “konco wingking”(pelengkap penyerta) dari para pria yang melakukan penyebaran Islam di Nusantara. Nyi Subang Larang telah membuktikan dirinya sebagai subyek yang melakukan penyebaran Islam yang dilakukan kaum lelaki. Kedua, kasus nyi Subang Larang membuktikan pada era Syech Quro telah terjadi kesetaraan dalam Pendidikan Islam. Kaum perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh Pendidikan Islam dan memiliki kewajiban yang sama untuk mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. (Bersambung)