FIN UNUSIA
Esai

Islam Mazhab Inggris Pasca Brexit

Seorang teman di London yang baru-baru ini mengikuti Munas (Masyawarah Nasional) partai Konservatif  yang bertanggungjawab terhadap lahirnya Brexit (British Exit) atau hasil jajak pendapat yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa menyeritakan, betapa kecenderungan chauvinisme atau nasionalisme sempit di Inggris kini meninggi.

Berbagai teriakan pengusiran terhadap imigran yang dianggap telah merebut lapangan kerja orang-orang negara Ratu Elizabeth itu  mencuat di forum nasional tertinggi partai berkuasa itu. Meskipun tidak setinggi Konservatif, susana yang sama terjadi pada partai Buruh, partai kedua terbesar yang kini sebagai oposisi.

Namun sebulan sebelum refendum Brexit terjadi, terpilih seorang walikota London, ibukota negara Inggris atau UK, seorang Muslim keturunan Pakistan, Sadiq Khan. Politisi muda kelahiran 1970 yang berkarir dari bawah dan sempat menjadi anggota parlemen dan Menteri Transportasi pada kabinet partai Buruh itu mendapat kepercayaan resmi dari partainya untuk menjadi calon Walkot dan memperoleh suara mayoritas dari pilihan rakyat London yang mayoritas Kristen dan kulit putih dalam sutau pemilihan langsung.

Meskipun penulis selama seminggu di London dan Birmingham (18-24 Oktober) bukan khusus untuk mengamati isu ini, tetapi dua hal di atas membuat penulis penasaran dan mencoba menelusurinya. Penulis wawancara dengan beberapa aktivis Muslim dan mengunjungi beberapa masjid di London dan di Birmingham. Surat elektronik permohonan untuk wawancara dengan Sadiq Khan yang dikirim sebulan sebelumnya dibalas dua hari sebelum tiba di London, dengan permintaan maaf masih konsentrasi internal.

Masalah Agama

Diakui oleh hampir semua informan Muslim dan aktivis, juga non Muslim kulit putih, tentang adanya kecenderungan nasionalisme sempit pasca Brexit di sebagian kalangan penduduk terutama kulit putih dan sebagian imigran generasi tua. “Terutama kalangan tua,” ujar John Brownlee, imigran dari AS yang sudah cukup lama tinggal di kota kecil pinggiran London. 

Namun, menurut sebagiannya, hal itu semata politik dan ekonomi tidak ada kaitannya dengan agama dan warna kulit. Anak-anak muda, termasuk keturunan imigran, lebih cenderung tidak setuju Brexit. Kecenderungan rasis dan sentimen anti imigran malah lebih ditujukan kepada imigran yang berasal dari Eropa Timur seperti Polandia dan Rumania yang justeru sesama kulit putih yang memang jumlah imigrannya sangat banyak dan dalam konteks Uni Eropa.

“Kami sebagai Muslim tidak merasakan sentimen itu,” ujar Muhamad Manwar Ali, pria keturunan Pakistan kelahiran London, Direktur Eksekutif www.JIMAS.org, sebuah organisasi charity untuk pendidikan anak-anak untuk pemahaman Islam dan sosial.

Menurut Manwar Ali, hasil Brexit yang memutuskan UK keluar dari Uni Eropa memang mengejutkan dan cukup memberatkan tekanan ekonomi tetapi juga sebaliknya, itu kebahagiaan bagi mereka yang sejak awal menginginkannya. Dampak buruk pun terjadi. Misalnya, harga-harga semakin mahal karena turunnya nilai tukar Poundsterling atas mata uang lainnya terutama USD dan Euro.

Sebelum Brexit 1 Pound sama dengan 1,5 US $ sementara sekarang turun menjadi 1,2 US $.  Hal itu, menurut Ibrahim, akvitis komunitas Muslim di London, sudah menjadi konsekuensi pilihan keluar dari UE, dan “kesulitan ini tidak akan berjalan lama,” ujarnya optimis.

Bagi para aktivis Muslim, UK adalah negara yang memiliki kebebasan penuh dalam hal agama karena itu tidak ada halangan bagi siapapun untuk memeluk agama dan mengembangkannya. Ditanya soal pendirian masjid, baik Ibrahim dan Manwar Ali menjawab, “Kalau anda punya uang dan bisa beli tanah,  kemudian mengurus tanah itu untuk peruntukan Mesjid, pasti bisa,” ujar Manwar Ali. Tentu saja, lanjutnya, “harus memenuhi syarat umum ijin bangunan dan peruntukan tanah tersebut.”

Namun di sisi lain mereka umumnya tidak terlalu bangga, misalnya, dengan terpilihnya Sadiq Khan yang Muslim menjadi walikota London. Hal seperti itu, kata Dr. Afzal Ashraf, “alamiyah dan profesional saja, tidak akan membuat nasib Muslim lebih baik atau lebih jelek.” Lagi pula, ujar Consultant Fellow Internal Diplomacy, Counter Insurgency and Counter Terrorism pada Royal United Services Institute for Defence and Security Studies di London itu, “itu konsekuensi dari ketekunan dan kerja keras Khan,” lanjut PhD di bidang intelejen dan terorisme yang juga bekas tentara itu. “Khan bukanlah orang yang terbaik untuk walikota London. Dia orang yang beruntung dan tekun dengan pekerjaannya,” tukasnya.

Berkarir mulai dari menjadi council estate kemudian menjadi anggota dalam kabinet pemerintahan partai buruh dimana Khan bergabung, dan kemudian diajukan sebagai calon resmi partai Buruh untuk walikota London. Pada tanggal 7 Mei 2016 Khan terpilih sebagai major of London. Melihat usianya yang masih muda, ketika ditanya, “bukan tidak mungkin kelak Khan akan menjadi perdana menteri Inggris jika sukses di London,” ujar Dr. Kurshid Ahmed CBA., mantan Director the Association of British Muslim yang kini menetap di Birmingham.

Islam Mazhab Inggris

Di Inggris, sebagai negara imigran non-kulit putih dan non-Kristen yang cukup besar, rakyatnya sangat plural bukan hanya dari segi etnis, asal-usul bangsa dan agama, warna kulit, melainkan di dalam satu etnis dan satu agama itu sendiri juga sangat plural. Muslim, misalnya, memiliki berbagai asal-usul dan warna kulit yang dari sudut mazhab dalam beragama berbeda-beda.

Mereka mau tidak mau bekerjasama untuk berbagai kepentingan sosial, ekonomi maupun keagamaan. Dari kalangan sunni, misalnya, mereka yang berasal dari Mesir, salah satu asal-usul Muslim yang cukup dominan di Inggris, umumnya bermazhab Hanafi. Sementara dari Afrika dan Asia Selatan banyak yang bermazhab Syafii. Sedangkan dari Saudi Arabia dan sebagian negara Arab lainnya bermazhab Wahabi. Syiah dan Ahmadiya juga cukup signifikan jumlahnya.

Namun umumnya, setidaknya menurut Manwar, Ibrahim, maupun Muhamad Abbasi yang kini sebagai Deputy Director the Association of British Muslim yang juga pengurus Football for Peace, sejalan dengan kebijakan pemerintah Inggris: mereka tidak suka dengan aliran Hizbut Tahrir. Karena, di samping mengusung siste mKhilafah yang berbeda dengan pandangan Muslim pada umumnya, mereka juga berbeda ideologi dan sering menyerang sesama Muslim. 

“Pemerintah Inggris cenderung membatasi gerak mereka. Kami juga tidak suka mereka,” ujar Abbasi dan juga Manwar. Sedangkan Wahabi lebih lunak pandangannya tetang kafir dan musyrik di Inggris sehingga bisa bekerjasama dengan kelompok yang lain. “Hanya Salafi-Wahabi yang cenderugn keras,” ujar Abbasi.

Ada banyak lapangan kegiatan yag mempertemukan mereka, di antaranya kepedulian sebagian aktivis terhadap anak muda dan juga jamaah yang haus akan pengetahuan agama Islam. Anak muda yang lahir di Ingris, menurut Abbasi, tidak seperti orang tunya yang merintis dan bekerja keras untuk menyesuaikan dengan tradisi Inggis untuk bertahan hidup.

Sebaliknya, anak muda cenderung justeru ingin kembali kepada tradisi orang tuanya dan menentang tradisi Inggris meskipun mereka memperoleh pendidikan a la Inggris. “Mereka ini gampang terseret ke arah kenakalan remaja atau ekstrimisme dan bahkan terorisme,” kata bekas anggota Hizbut Tahrir sewaktu masih kuliyah itu.

Football for Peace adalah salah satu gerakan yang menggunakan bintang-bintang bola untuk mempomosikan perdamaian dan anti ekstrimisme oleh kalangan Muslim Inggris. Meskipun Football for Peace diinisasi di Inggris tetapi sekarang sudah mendunia, baik di Eropa maupun di tempat lain, termasuk di Amerika Latin. Beberapa bintang sepak bola dunia seperti Pele dan Ronaldinho pernah diajak untuk mempromosikan perdamaian tersebut.

“Presiden Jokowi juga pernah kami ajak untuk menendang bola dalam serangkaian kegiatan football for peace ketika dia ke London,” ujar Abbasi koordinator public communication Football for Peace yang mengaku sempat bersalaman dan berbincang santai dengan presdien Indonesia ke-7 itu.  Tujuan dari kegiatan tersebut, kata Abbasi, di samping untuk mempromosikan perdamaian Islam juga menyatukan kalangan Islam sendiri yang plural di Inggris.

Upstanding Neighbourhoods adalah salah satu kegiatan sosial aktivis Muslim di bidang kenakalan remaja  di Birmingham. Mereka mendekati remaja-remaja yang terlibat dengan kenakalan remaja seperti drug, kebut-kebutan, juga ekstrimisime dan kriminal lainnya.

Menurut direkturnya, Khasan Amar, mereka melakukan pendekatan kepada para remaja tersebut secara persuasif dan memberikan permainan yang menyenangkan seperti olahraga dan pertunjukan seni serta kebudayaan. Mereka juga bekerjasama dengan sekolah dan kepolisian untuk memberikan pengetahuan tentang ekstrimisme dan terorisme. “Kami sering bekerjasama dengan sekolah untuk memberikan pendidikan ekstrakulikuler bersama dengan kepolisian,” ujar Khasan Amar. 

Masjid di kawasan Regents Park, yang disebut Regents Park Islamic Cultural Centre atau juga London Central Mosque, salah satu masjid terbesar di London, terletak di salah satu kawasan termahal di London,  juga menjadi titik temu antar bangsa, warna kulit dan mazhab-mazhab dalam Islam. Para Imam masjid ini, misalnya, terdiri dari setidaknya ada tiga imam utama yang berbeda mazhab, dari mazhab Hanafi, keturunan Mesir, mazhab Syafii, keturunan Pakistan, dan mazhab Wahabi alumni pedidikan Arab Saudi.

Kegiatan diskusi publik di ruang pertemuan perpustakaan setiap Sabtu sore bakda Ashar hingga jelang Magrib di masjid itu sudah dilaksanakan rutin sejak masjid itu berdiri 1978. Narasumber dan jamaahnya juga plural. “Bahkan sering orang kulit putih yang non-Muslim datang ikut diskusi,” ujar Manwar Ali yang ketika itu sebagai narasumber dalam diskusi rutin tersebut.

“Sama dengan kami ingin menjadi Islam Inggris yang plural, saling menghormati dan bekerjasama untuk kemajuan negara dan masyarakat Inggris,” ujar Abbasi yang diiyakan oleh Manwar dan Khasan.

Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, Abbasi, Manwar maupun Khasan menginginkan terbangunnya semacam Islam mazhab Inggris atau British Islam yang meskipun plural dari segi banyak hal tetapi bekerjasama untuk kemajuan negara dan rakyat Inggris yang juga dimiliki orang Islam. Ketiganya yang pernah menginjakkan kaki di Indonesia mengapresisasi wacana tentang Islam Nusantara dan juga mengakui berbagai mazhab seperti Nahdlatul Ulama yang mengikuti empat mazhab, yang diasosiskan sebagai Islam Indonesia.

* ) artikel ini pertama kali dipublikasikan di www.qureta.com, dimuat ulang atas izin penulisnya.

Related posts

Otoritas Agama VS Republik Gawai: Tantangan bagi Islam Nusantara*

admin

Islam Nusantara sebagai “Cosmopolis”: Sejumlah kritik dan eksplorasi teoritis

Admin FIN

THE SEARCH FOR “AUTHENTIC” SELF: On the Question of Representation in the Discourse of Postcolonial Islam in Indonesia

Admin FIN