Pada hari Jumat (08 Oktober 2021) hingga Selasa (12 Oktober 2021) tim peneliti dari Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama melakukan riset lapangan jalur rempah atas kerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di beberapa tempat di daerah Sumatera Utara bagian Barat. Penelitian lapangan ini bertujuan untuk melakukan verifikasi data di lapangan dari sumber-sumber berbahasa Arab abad 9-13 M yang menginformasikan keberadaan rempah-rempah di baaian barat pulau Sumatera Utara dan wilayah Aceh.
Daerah yang pertama kami kunjungi adalah Singkil yang merupakan salah satu Kabupaten Provinsi Aceh. Di sini kami melakukan penelusuran jejak nama “fansur” yang menjadi nisbat bagi dua ulama Aceh kenamaan: Syekh Hamzah al-Fanshuri (W.1590 M) dan Syekh Abdurrauf al-Fanshuri al-Singkili (W. 1693 M). Nisbat al-Fanshuri yang melekat di dua nama ulama penyebar Islam di kawasan Aceh dan sekitarnya ini mengindikasikan sebuah toponimi yang disebut dalam naskah-naskah para pelancong Arab.
Fanshur terkenal dengan sebuah komoditasnya yang melegenda dan tersohor ke seluruh pelosok dunia, yaitu “kapur” (champora). Kitab suci al-Qur’an menyebut “kapur” sebagai campuran minuman para ahli surga.
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِن كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
(Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. QS. al-Insan: 5)
Salah satu ahli geografi Muslim klasik dari Andalus, bernama Ibn Sa’id al-Maghribi (w. 1286 M), dalam karyanya yang berjudul “Kitab al-Jughrafiya” (The Book of Geography), memberikan deskripsi tentang kota “Fanshur” sebagai berikut:
مدينة فنصور التي ينسب إليها الكافور الفنصوري ….. وجبال الكافور ممتدة من المدينة إلى قرب آخر الجزيرة من غرب إلى شرق
(Kota Fanshur [Barus] yang darinya berasal komoditas “Kapur Fanshur/Barus” ….. Di Fanshur terdapat pegunungan yang ditumbuhi pohon kapur, yang membentang dari kota tersebut hingga ke ujung pulau, dari barat ke timur)

Dari Aceh kami bergerak menuju Barus. Di sini kami menziarahi dua komplek pemakaman lama: Makam Mahligai dan Makam Papan Tinggi. Lokasi keduanya tidak begitu jauh. Di makam Mahligai terdapat banyak jumlah batu nisan yang dari sebagian bentuknya kemungkinan berasal dari masa Dinasti Seljuk (abad 11-14 M). Di komplek pemakaman Mahligai juga terdapat epitaf di batu nisannya tertulis kata “al-Fanshuri”.

Berbeda dengan Makam Mahligai yang menurut penuturan juru kuncinya terdapat sekitar 200-an nisan, di komplek makam Papan Tinggi hanya terdiri tujuh nisan. Enam nisan berjejer rapi dengan batu kali sebagai penandanya, sementara satu buah makam panjang bertipe pipih segi empat. Di makam panjang ini batu nisannya terdapat ukiran kaligrafi Arab yang menandakan nama:
هذا قبر الشیخ الاکبر
العالمین المتعال
شیخ محمود
Hadza Qabr al-Syaikh al-Akbar al-‘Alamin al-Muta’al Syakih Mahmud…

Dari Barus kami menuju Sibolga. Di kota ini terdapat sebuah situs yang ditemukan sejumlah peninggalan masa lalu yang menggambarkan keramaian dunia niaga di masa lalu. Temuan-temuan arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Utara di situs tersebut membuktikan adanya aktivitas dagang di pantai Barat Sumater Utara ini.


Situs Bongal adalah area bersejarah kuno yang berada di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumatra Utara).Secara topografis, kawasan ini merupakan teluk dengan perairan yang tenang. Teluk ini juga dikelilingi oleh wilayah perbukitan yang hijau. Di seberang teluk terdapat pula gugusan kepulauan Mursala. Pada teluk Jago-Jago juga bermuara aliran sungai besar. Para arkeolog yang melakukan penelitian atas situs ini menyimpulkan bahwa Bongal lebih tua sekitar 200 tahun dari situs yang ada di Desa Lobu Tua atau Pelabuhan Tua Barus.Di Situs Bongal ditemukan berbagai macam artefak tua yang menakjubkan. Di antaranya adalah kayu-kayu pecahan kapal kuno yang berasal dari abad ke-7 Masehi.Selain itu, di situs Bongal di Jago-Jago juga ditemukan banyak koin mata uang emas dari masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah di Timur Tengah (abad ke-8 hingga 11 Masehi). Di samping koin emas, beberapa artefak lainnya dari zaman Abbasiah di Timur Tengah juga ditemukan di situs Jago-Jago ini, seperti pecahan piring keramik hias, botol kaca, tembikar, juga alembik (alat penyulingan kimia). Penemuan beberapa artefak dari zaman Abbasiah ini sekaligus mengkonfirmasi data-data historis yang sedang kami teliti, yakni catatan para pelancong, pedagang, ahli geografi dan ilmuwan Timur Tengah dari masa Abbasiah yang merekam jejak kota-kota pelabuhan tua di sepanjang pesisir wilayah Barus Raya.Di antara para pedagang, penjelajah, pelancong dan ilmuan Timur Tengah masa Abbasiah yang mewartakan keberadaan Barus dalam catatan mereka adalah Abu Zaid al-Shirafi, Sulaiman al-Tajir, Ibn Khardadbeh, Ibn al-Faqih, al-Mas’udi, al-Biruni dan lain-lain.Catatan para pelancong Timur Tengah masa Abbasiah di atas menginformasikan keberadaan Barus sebagai pusat niaga interasional yang penting di wilayah kepulauan Nusantara, yang terkoneksi dengan Cina, India, Timur Tengah dan Eropa. Di antara komoditas niaga andalan Barus adalah kafur, gaharu, kemenyan dan rempah-rempah.Meski letak ibu kota pemerintahannya adalah Baghdad di Mesopotamia, imperium Abbasiah adalah pemegang kontrol utama lalu lintas niaga dan aktivitas perdagangan di Samudra India. Karena itu, tidaklah mengherankan kiranya jika di sepanjang kawasan pelabuhan tua di sepanjang wilayah Samudra India banyak ditemukan pelbagai macam artefak yang berasal dari zaman Abbasiah.Termasuk halnya penemuan artefak-artefak kuno zaman Abbasiah di situs Bongal (Jago-Jago) di Tapanuli Tengah ini. Saya jadi berasumsi, jika pada masa lalu kawasan Jago-Jago ini adalah sebuah pelabuhan niaga yang penting, yang terkoneksi dengan Labo Tua di Barus dan Singkil Tua di Aceh Singkil.
*) Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Idris Masudi