St. Sunardi (Universitas Sanata Dharma)
Seperti diamati dan direspon oleh banyak pihak, sejak dideklarasikan oleh NU, Islam Nusantara mendapat berbagai respon, ada yang menyambut baik namun ada yang mengkhawatirkan. Terlepas dari deklarasi tersebut, saya melihat ketegasan pihak NU untuk mengangkat Islam Nusantara sebagai model Islam yang menginspirasi baik umat Islam maupun bukan Islam pada jaman ini, itu suatu keputusan yang tepat dan brilian. Suatu ijtihad kultural – kalau boleh menggunakan istilah ini – yang landasan nilainya cukup transparan: keberanian untuk melintas. Di tengah-tengah banyak kelompok sosial- keagamaan merasa tidak secure dan cenderung memobilisasi massanya untuk kembali ke liang gelapnya, NU dengan berani menghargai pengalaman melintas yang sudah menyejarah dan mengajak untuk memperbaharui keberaniannya untuk melintasi kelompok sosial dan budaya yang de facto semakin beragam dan dinamis di Indonesia saat ini. Secara ideologis dan kultural, Islam Nusantara merupakan suatu tawaran maksimal yang diberikan NU untuk merangkai masyarakat sipil Indonesia yang sedang dalam ancaman tercabik-cabik oleh berbagai ideologi radikal internasional yang dipakai (entah secara terbuka atau diam-diam) oleh sejumlah kelompok sejumlah kelompok untuk kepentingan politik jangka dekat. Tawaran diharapkan mendorong kelompok-kelompok lain menawarkan gagasan melintasnya untuk jaman ini.[1] Akan tetapi, kita semua juga bisa khawatir bahwa wacana ini bisa kurang produktif sejauh kita hanya berhenti pada mereproduksi apa yang kita anggap Islam Nusantara tanpa menangkap jiwa sesungguhnya untuk kemudian melahirkan Islam Nusantara kita sendiri.
Dalam tulisan ini saya mau melihat Islam Nusantara sebagai peristiwa pengalaman melintas dengan berbagai jejak yang berbeda- beda. Saya mengambil hipotesa bahwa apresiasi bahkan kekagumun kita pada Islam Nusantara pertama-tama terletak pada pengalaman melintas secara spirito-kultural yang kemudian meninggalkan jejak yang mengagumkan. Jadi Islam Nusantara adalah Islam Melintas yang hendak menemui berbagai jenis Liyan, yang mula-mula dianggap sebagai ancaman, tapi kemudian menjadi harapan.[2] Penghargaan pada perbedaan, sikap pada toleran, dan semacamnya adalah hasil pembelajaran yang terjadi lewat melintas menemui Liyan. Sebaliknya, fenomena intoleransi yang sangat memalukan yang terjadi beberapa waktu lalu harus dipandang sebagai pengingkaran akan Liyan, dengannya kita akan tumbuh dan dewasa. Panggilan berat kita sekarang tentu saja bukan hanya mengklaim sebagai pengikut Islam Nusantara dengan mengaitkan diri dengan tradisi yang kita hormati melainkan pertama-tama adalah membaca semangat Islam Nusantara dan membiarkan semangat itu hidup di jaman ini. Hipotesa Islam Nusantara sebagai Islam yang melintas adalah usaha saya supaya lebih terpusat dalam pencarian semangat dasar Islam Nusantara.
Tulisan ini dimulai dengan cerita kenikmatan pengalaman melintas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada jaman sekarang, ajakan saya untuk mendefinisikan pengalaman melintas dengan meminjam filsafat naratif Joe Verhaar dan konsep pskoanalisis Lacanian, dan pentingnya seni sebagai salah satu model pengalaman melintas yang terjadi dalam Islam di Indonesia. Tulisan yang bersifat agak abstrak ini pada dasarnya bertumpu pada pengalaman saya bekerja dan belajar bersama dengan teman-teman LKIS yang dengan gigih membuat supaya Islam bukan hanya bau tanah kita sendiri melainkan menancap ke bumi kita sampai tumbuh dan menghasilkan sesuatu yang berharga untuk kita bersama.
I. Menjumpai diri sendiri lewat Liyan
Pada hari Minggu, 6 Juni 2021 saya kedatangan belasan tamu teman alumni SMP Kanisius Girisonta angkatan 1976. Saya bertemu dengan sebagian teman setelah 45 tahun tidak berjumpa! Tentu mengharukan. Semuanya serasa menjadi anak-anak lagi, serasa mensimulasikan apa yang pernah dialami hampir setengah abad lalu. Salah satu dari mereka ada yang hanya sekolah sampai kelas dua, terpaksa dikeluarkan karena nakalnya tidak ketulungan. Singkat cerita, atas saran seorang teman, teman-teman ini saya bawa ke Rumah Petruk Karang Kletak – rumah budaya yang dirintis oleh sahabat saya Rm.
Sindhunata, S.J. yang berada di daerah Kaliurang Yogyakarta. Semula tempat ini kami pilih karena tempat ini sejuk, menghindar sekitar Gn. Merapi yang panas sekali. Saya sempat khawatir bahwa teman-teman ini akan bosan karena di Rumah Petruk hanya ada pohon-pohon dan barang-barang seni. Di luar dugaan mereka girang di taman seni dalam arti yang sebenarnya. Banyak patung dan arsitektur dari berbagai budaya yang membuat taman itu terasa home bagi siapa saja.

Saya sempat kaget kita mereka melihat patung Gus Dur yang sedang duduk dengan wajah terkekeh-kekeh. Mereka semua kelihatan histeris saat melihat patung itu! Satu demi satu kemudian melakukan foto selfie dengan Gus Dus. Salah satu foto yang mengesankan saya adalah foto seorang teman yang dulu dikenal nakal yang sebut di atas. Dengan khidmad dia sungkem seperti lazimnya orang ujung-ujung di saat lebaran. Ketika masuk di grup WA, foto itu kemudian diberi kata- kata “wis sadar to le, jaman biyen gaweane geluut ae” (sekarang sudah insyaf ya, dulu kamu kelahi melulu) – suatu ungkapan yang cocok betul dengan pengalaman orang ini.
Bagi saya, foto ini sangat inspiratif untuk bicara tentang apa yang saya sebut di atas sebagai melintas yang sangat lekat dengan Islam Nusantara. Ada beberapa unsur yang kemudian bisa kita pertimbangkan. Foto atau peristiwa foto ini bukan hanya membantu kita untuk memahami semangat Islam Nusantara melainkan juga merupakan salah satu wajah Islam Nusantara itu sendiri.
- Gus Dur dihadirkan dalam sebuah lingkungan yang identitasnya harus didefinisikan sendiri oleh orang yang datang sesuai dengan pengalamannya. Omah Petruk adalah sebuah nama yang tidak mendekte. Omah Petruk bisa berarti rumah kita bersama, rumah orang kebanyakan, rumah yang bisa dimasuki siapa saja. Soal bagaimana kemudian rumah itu mau dialami, tergantung pada pengalaman setiap pengunjung.
- Dengan demikian Gus Dur sendiri akan didefinisikan sesuai dengan pengalaman orang. Bagaimana Gus Dur dialami atau didefinisikan oleh teman saya tadi? Sebagai mantan presiden? Sebagai kyai? Sebagai wali? Saya tidak tahu. Tapi wajah Gus Dur yang tertawa itu menjadi ciri khas karakter Gus Dus yang memancarkan undangan untuk dikunjungi siapa saja.
- Peristiwa paling penting adalah bahwa pada akhirnya teman saya ini seolah-olah bisa bertemu dengan dirinya lagi secara baru lewat perjumpaannya dengan Gus Dur.
II. Islam Nusantara: mencari landasan teoretis
- Pertemuan. Menemui Liyan. Islam Nusantara pertama-tama bisa kita pahami sebagai berbagai kisah Islam – persisnya Muslim – menemui berbagai jenis Liyan di wilayah Asia Tenggara ini. Kata “menemui” ini bisa sangat ideologis dalam artian seolah-olah kita bisa menemui Liyan tanpa konflik atau bahkan mungkin resistensi. Selama ini orang menggunakan bebagai istilah seperti akulturasi, sampai dengan hibridisasi dan mungkin transkuslturasi.
- Kisah. “Yang kini diperlukan, rasanya, adalah filsafat
naratif yang menceritakan
tentang kisah orang lain tentang pengisah, menghasilkan kisah baru tentang pengisah oleh pengisah, yang kini dapat membebaskan diri dari si lain
sebagai penguasa, dan menemui
yang lain sebagai teman, sebagai pelengkap, sebagai perspektif, dan sebagai harapan”.[3]”
- Momen pertama. Kisah itu harus mulai dengan kisah tentang bagaimana Liyan berpandangan tentang diri saya atau tentang subjek yang sedang membuat kisah. Liyan pada tahap ini masih dipandang sebagai penguasa atau apa saja yang dianggap membahayakan. Justru bagian inilah yang sering diabaikan atau tidak dibicarakan karena seolah-olah tidak elok. Walaupun mungkin tidak mengenakkan, tahap ini harus dilalui. Akan tetapi kalau kita hanya berhenti pada tahap ini kisah kita belum matang.Untuk konteks jaman sekarang, pengalaman ini bisa kita saksikan lewat film 99 Cahaya di Langit Eropa,[4] tapi juga bisa dipakai untuk membaca ornamen pada Masjid Mantingan.[5]
- Momen kedua. Pada momen kedua, pada akhirnya kisah itu harus berkisah tentang diri saya sendiri (sebagai pengisah) sedangkan Liyan yang selama ini mengancam kita tempatkan sebagai sahabat, horison, atau harapan. Melintas dalam arti yang sesungguhnya terjadi pada momen kedua ini, saat seseorang sudah bisa keluar dari bayangan Liyan dan berjumpa dengan dirinya sendiri. Seni dan budaya yang menginspirasi Islam Nusantara kebanyakan sudah mencapai tahap kedua ini. Perdebatan apakah wayang itu Islam atau Hindu atau Jawa menjadi kurang relevan kalau kita lebih fokus pada pengalaman melintas dalam seni wayang. Perdebatan itu muncul karean dorongan klasifikasi dan identifikasi diri.
- Teori wacana. Landasan teoretis yang saya ambil dari filsafat naratif Verhaar di atas memang sudah bisa memberikan alur garis merah tentang logika melintas, akan tetapi landasan teori itu belum memadahi untuk secara metodologis. Untuk melengkapi secara metodologis (bahkan metodis) kita bisa memakai teori empat wacana Lacanian ditambah dengan teorinya tentang act yang untuk konteks tulisan ini sangat cocok dengan terjemahan melintas.
- Tahap pertama: wacana kekuasaan. Tahap pertama sejajar dengan wacana kekuasaan yang oleh Lacan meliputi wacana tuan dan wacana ilmiah atau wacana universitas. Wacana ini hanya mereproduksi wacana yang sudah ada. Hasilnya? Subjek-subjek yang teralienasi.
- Tahap kedua: kritis. Pada tahap ini seseorang tidak lagi bisa menerima wacana kekuasaan (baik berupa hukum maupun pengetahuan standar). Sebaliknya, dia justru mulai menceritakan dirinya sendiri yang menderita (kesepian, terasing, dan terdiskriminasi) di depan apa saja yang ia anggap penguasa (walaupun itu hanya dalam monolog). Hal ini bisa kita saksikan pada diri Kartini yang tidak lagi bisa menerima mentah-mentah pencerahan dari temannya Eropa maupun agama Islam atau tradisi Jawa.
- Tahap melintas. Secara teoretis ini disebut the act. Budaya wayang jelas sudah masuk kategori ini. Namun masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya supaya kita bisa mengapropriasi lagi wayang itu secara kritis karena de facto wayang pasti akan dikuasai Liyan kuat! Saya sendiri belum selesai mengkaji tulisan-tulisan Kartini bagaimana dia melewati tahap kritis memasuki tahap melintas. Fakta bahwa dia sudah melintas, itu jelas tapi masih perlu kita cari jalurnya termasuk bagaimana dia berhubungan dan menghadirkan Islam.
- Neges. Dalam bentuknya yang masih sangat eksperimental, dinamika naratif ini pernah saya ulas dalam bahasan tentang wayang.
III. Islam melintasi Nusantara lewat jalur seni
Jalur seni bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi kita untuk melihat bagaimana Islam melintasi Nusantara dan bagaimana kita sendiri sekarang ini melintasi Nusantara dengan kaki kita sendiri. Jalur seni saya pilih karena jalur ini terasa begitu dinamis dan ada lapisan- lapisan pengalaman yang bisa kita cecap sesuai dengan pengalaman kita masing-masing. Jalur seni juga saya pilih supaya religiositas keislaman yang berkembang di Indonesia ini pada gilirannya bisa memberikan sumbangan menantang pada perkembangan seni jaman sekarang yang sering kali lumpuh tidak kritis oleh komersialisasi yang berlebihan.
[pada bagian tiga ini belum bisa dibagikan]
Penutup
- Islam Nusantara pertama-tama bukanlah sebuah cerita masa lalu melainkan panggilan Islam untuk menemui berbagai Liyan di Nusantara. Panggilan ini tidak lain sebuah panggilan untuk melintasi jalur mendebarkan yang menghubungkan Liyan (yang pada pandangan pertama mungkin mengancam) menuju diri sendiri sambil menggeser Liyan sebagai sahabat dan harapan. Jalur lintasan demikian ini diharapkan menggerakkan dari dalam kekuatan Islam yang transformatif (mempunyai daya mengubah), kultural (mempunyai daya berkomunikasi), dan tekstual (mempunyai daya menafsirkan).
- Sebagus dan seindah apapun Islam Nusantara dari masa lalu perlu kita tempatkan sebagai Liyan yang harus kita kisahkan lagi supaya bisa membantu kita menemui diri kita sendiri lewat Liyan tersebut.
- Untuk konteks sekarang, kita juga bisa berharap bahwa Islam yang berani melintas ini bisa mendinamisasi ulang masyarakat sipil kita yang kian pudar tak bertenaga. Kalau Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah suara hati negara, Islam Nusantara juga bisa kita pahami sebagai suara hati Indonsia.
Pustaka
Hasil-hasil Muktamar Ke-33 Nahdatul Ulama. Lembaga Ta’lif wan
Nasyr PBNU, 2016.
Panduan Acara Muktamar Ke-33 Nahdatul Ulama, Jombang Maula, Jadul. M. Islam Berkebudayaan. (dalam bentuk draft) Verhaar, Jo. Filsafat Yang Berkedusahan.
Disampaikan dalam Seri Webinar Perdebatan Akakademik tentang Islam Nusantara yang diselenggarakan oleh Direktorak
Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, 20 Juni 2021 secara daring.
[1]Tawaran ini senafas dengan tawaran Mangunwijaya dengan teologi diasporanya yang mengajak orang-orang Kristen untuk berani memaknai hidupnya sebagai orang Kristen di tengah-tengah orang bukan-Kisten. Teologi ini tidak mendorong orang keluar kandang, tapi mengingatkan orang-orang Katolik yang de facto sudah keluar kandang namun cara befikirnya terbuka J. B. Mangunwijaya.
[2] Pada bagian ini saya banyak terinspirasi tulisan Joe Verhaar “Impian dan Trans” yang membuka kumpulan tulisannya berjudul Filsafat Yang Berkesudahan.
[3] Jo. Verhaar, Filsafat yang Bekesudahan, 17.
[4] Gerakan renaisans di Eropa juga bertitik tolak dengan mereproduksi berbagai karya seni yang sudah berkembang pada jaman Yunani dan Romawi Klasik. Para seniman mula-mula mengikuti model keindahan klasik kemudian lama kelamaan menemukan sendiri sesuai dengan pengalamannya.
[5] Perdebatan tentang ornamen Masjid Mantingann itu terjadi antar lain dalam disertasi salah seorang mahasiswa ISI Yogyakarta.